Senin, 20 April 2009

Anugerah (kepada Pram....)

Oleh Zen Rachmad Sugito

Beberapa lembar kertas di meja belajar itu mengejutkan saya. Begini salah satu bunyi paragrafnya lengkap dengan salah ketik dan tata bahasanya:

“Penjajahan Belanda mulai dipertanyakan karena pendidikan Belanda itu sendiri. Contohnya Minke yang duduk disekolah yang dibuat oleh Belanda. Selain bisa membaca, menulis, berhitung dan berbahasa Belanda, Minke banyak membaca buku-buku diluar pelajaran dan juga koran-koran yang memberitakan kemajuan yang dialami bangsa Jepang yang juga merupakan bangsa Asia. Akhirnya Minke mulai menyadari penjajahan yang dialami bangsa Indonesia. Walau pun sadarnya Minke itu muncul pelan-pelan.”

Saya menengok ke salah satu sudut kamar. Poster launching 7 buku Pramoedya pada 2003 di Jogja yang didesain oleh Hary “Ong” Wahyu masih menempel di sana. Poster itu sudah terlihat kumal. Ada robekan kecil di ujung kiri bagian bawahnya. Sambil melihat potret Pram, dalam hati saya bilang: “Bung, di rumah ini, sudah lahir pembacamu lagi. Pembaca dari generasi yang masih dini. Adik saya, Bung. Ya, adik saya yang paling kecil!”

Entah dari mana adik kecil saya mendapatkan “Bumi Manusia”. Semua buku-buku Pram milik saya tersimpan rapi di salah satu sudut kota yang jauh dari rumah. Tapi, nyatanya, ia sudah menulis sebuah paper tentang “Bumi Manusia”.

Dari ibu saya tahu kalau adik membelinya sendiri di Gramedia yang ada di kota kecil kami. “Uangnya dari hadiah ikut kegiatan Paskibra. Kemarin pas libur seminggu di rumah kerjaannya cuma baca itu aja,” terang Ibu. Kata Ibu lagi, paper itu ditulis adik untuk diikutkan dalam lomba karya tulis tingkat kabupaten bertemakan “Peran Pendidikan untuk Meningkatkan Daya Saing Bangsa”. Ibu menunjukkan kertas folio berisi pengumuman lomba berikut syarat-syaratnya.

Saya mengirimi adik sepucuk sms dan bertanya sudahkah ia membaca “Anak Semua Bangsa”. Dijawabnya: belum punya. Sorenya, saya menjemput adik dari pesantren kecil tempat ia mengaji. Kuajaknya ia ke toko buku. Dengan suka hati khas remaja, ia membawa “Anak Semua Bangsa”, “Jejak Langkah”, “Rumah Kaca”, “Larasati” dan “Gadis Pantai” ke kasir. Saya menunggunya di sana.

“Yakin nih mau dibaca semua?” tanya saya. Ia mengangguk. “Kan gak harus semua dibaca sekarang. Satu-satu dulu dibacanya,” jawabnya.

Di jalan, saat mengantarnya kembali ke pondok, saya bertanya soal perpustakaan sekolahnya. Dengan gaya remaja masa kini, ia menjawab dengan bahasa Indonesia campur Inggris: “Isinya kebanyakan buku pelajaran. Novel juga ada sih, tapi all about love and i don’t like it. Gak semua, ding. Novel Ronggeng Dukuh Paruk juga ada kok.”

Adik mengaku tetralogi “Laskar Pelangi” juga ada di perpustakaan sekolah. Tapi susah dipinjam, karena antri yang pesan baca. Adik membaca tetralogi “Laskar Pelangi” dari koleksinya sendiri. Ibu yang membelikanya.

Waktu cepat sekali berlari ternyata. Adik saya tiba-tiba sudah besar. Badannya sudah tinggi, nyaris menyamai tinggi badan saya. Usianya belum lagi enambelas. Duduk di kelas 2 Aliyah terbaik di kota kami. Pulang sekolah ia ke pondok. Mengaji. Pulang ke rumah dua pekan sekali. Kadang sebulan sekali. Di sekolah ia ikut Paskibra. Di pondok ia mengawal satu-satunya majalah dinding bersama dua temannya. Terbitnya: sesuka hati adik dan teman-temannya.

Ya, waktu cepat sekali berlari. Rasa-rasanya, baru kemarin saya antri membaca “Bumi Manusia”. Rasanya baru kemarin saya mengedit buku “Sang Pemula”-nya Pramoedya. Tiba-tiba, adik saya sudah membuat paper dengan mengutip “Bumi Manusia”. Sungguh, saya tak pernah menceritakan soal Pramoedya. Yang sudah saya lakukan hanya pernah menempelkan poster Pramoedya di kamarnya. Itu pun lima tahun lalu. Hanya saja, saya agak yakin, ini hanya soal waktu. Suatu saat, saya percaya, adik saya pasti akan memanfaatkan koleksi buku saya, termasuk buku-buku Pramoedya.

Saya tahu ia si kecil yang senang membaca, melanjutkan tradisi yang diwariskan oleh ibunya, ibu saya, yang –sedikit banyak– telah lebih dulu turun ke nadi abangnya, saya ini.

Ibu seorang pembaca yang rajin. Kini ia tak lagi banyak membaca novel. Tapi masa mudanya –juga tahun-tahun pertama pernikahannya– banyak dihabiskan dengan membaca. Ia tahu banyak novel-novel Pujangga Baru. Ia khatam membaca semua novel HAMKA. Koleksi novel HAMKA miliknya lengkap. Tenggelamnya “Kapal Van Der Wijk” adalah novel dewasa pertama yang kubaca dalam usia yang relatif dini: kelas 5 SD.


tentang saya dan ibu yang menularkan minat baca, sila baca catatan perjalanan saya DI SINI

Kini, ibu lebih banyak membaca buku-buku agama. Rutin saya kirimkan biografi-biografi tokoh perempuan dalam sejarah Islam, dari Fatimah hingga Rabiah. Kemarin aku membelikannya satu set tafsir al-Misbah-nya Quraish Shihab. Ibu minta saya mencarikan La-Tahzan versi bahasa Arab-nya. Ibu cukup fasih berbahasa Arab. Saya menyanggupi tapi belum bisa terealisasi.

Ibu dulu bilang pernah membaca Pramoedya, dulu sekali. Tapi Ibu lupa judulnya apa. Ibu hanya ingat novel Pram yang dibacanya itu berlatar Jakarta, ada tokoh bernama Aminah dan Maman. Saya tahu itu novel “Cerita dari Jakarta” yang terbit pertama kali pada 1953. Saya membacanya sekitar 2005, lima tahun setelah “Bumi Manusia” tuntas saya baca.

Ya, pada 1999, saya membaca Pramoedya untuk kali pertama. Bukan “Bumi Manusia” yang saya baca pertama, melainkan “Rumah Kaca”. Setelah itu saya berturut-turut membaca “Bumi Manusia”, “Anak Semua Bangsa” dan “Jejak Langkah”. Waktunya sekitar Desember 1999 atau Januari 2000. Kira-kira sekitar bulan puasa.

Saya tak bisa berdusta kalau sihir Pram begitu mempesona. Buku-buku tetralogi saya baca dengan gairah yang meluap-luap. Saya membacanya bergiliran. Antri dengan beberapa teman. Saya masih ingat, “Jejak Langkah” saya baca setelah setengah hari saya nongkrongin teman saya di kontrakannya, memaksanya sesegera mungkin menghabiskan “Jejak Langkah”. Begitu sorenya teman tadi tuntas membaca, “Jejak Langkah” segera aku baca tanpa henti. Saat membaca, teman lain sudah menunggu saya. Ia juga antri. Begitulah.

Tepat pada pergantian tahun dan milenium, 1 Januari 2000, KOMPAS menurunkan laporan khusus. Salah satu isinya adalah tulisan Th. Sumartana tentang Tirtoadisoerjo, karakter yang dicangkok menjadi Minke oleh Pram. Saya makin penasaran dengan Minke.

2001, saat magang di pers mahasiswa, saya diminta senior mengisi rubrik “Apresiasi” yang isinya profil para intelektual. Saya menulis tentang Tirtoadisoerjo. Susah betul mencari literatur tentang Tirto. Perpustakaan IAIN, Sanata Dharma, UGM juga Ignatitius sudah kuacak-kuacak. Tak kudapat itu buku “Sang Pemula”, buku biografi Tirto yang ditulis Pram. Terpaksalah saya menulis Tirto tanpa “Sang Pemula”. Saya mengandalkan beberapa buku sekunder, di antaranya “Zaman Bergerak” karya Takashi Shiraishi.

Tanpa dinyana, setahun kemudian, Lentera Dipantara –melalui Muhidin dan Bakar Wibowo– meminta saya menyunting “Sang Pemula”. Saya sangat amat tersanjung. Teramat sangat, bahkan. Usia saya baru 20 ketika itu. Itu tepat bulan puasa. Saya mengerjakannya selepas buka puasa hingga menjelang sahur. Saya bekerja tiap malam sampai saya lupa Ramadhan hampir usai dan kontrakan di Jogja sudah benar-benar senyap.

Nyaris satu dekade semuanya terlewat. Tiba-tiba, adik saya sudah membaca “Bumi Manusia”.

Bung Pram, 6 Februari ini mestinya kau berusia 84 tahun. Tak ada kado yang bisa kuberikan, selain kabar indah ini: “Bung, namamu tak akan hilang dari rumah kecil kami, rumah di sebuah kota kecil, di mana Ciremai terlihat jelas dari beranda rumah."

Tidak ada komentar: