Sabtu, 04 Agustus 2007

Para Dokter, Menulislah!

Oleh Muhidin M Dahlan

Pasien ada, dokter (selalu) menulis. Dan setiap pasien di seluruh Indonesia mahfum, semua tulisan dokter dalam secarik resep itu nyaris tak terbaca saking buruknya. Resep itu ditulis dengan spirit kekritingan yang sempurna. Jika ditanya siapa yang tahu persis itu isi resep, maka jawabnya cuma tiga: dokter, apoteker, dan Tuhan.
Lalu muncul joke-joke atau bahkan menjadi alamat, jika tulisan tangan Anda di sekolah atau universiteit buruk dan nyaris tak terbaca, pastilah tulisan tangan Anda itu disebut secara spontan sebagai “Tulisan Dokter”.

Ada lagi istilah lain untuk menunjuk tulisan acakadut itu: “Tulisan cakar ayam”. Kalau ada “Pondasi cakar ayam”, maka ada “tulisan cakar ayam”. Atau Sutami yang menemukan “pondasi cakar ayam” pertama kali untuk pembangunan Jembatan Semanggi di Jakarta Pusat itu terinspirasi oleh “tulisan cakar ayam” seorang dokter? Wallahua’lam.

Lebih dari menulis resep, dunia dokter adalah dunia mulia. Tangan mereka adalah tangan kedua Tuhan yang ‘menentukan’ hidup-mati seorang manusia. Mereka ‘tahu betul’ luar-dalam manusia hanya dengan melihat anatomi keseluruhan tubuhnya dalam ruang periksa atau ruang bedah yang sempit itu.

Pengetahuan yang melimpah tentang manusia itu disertai dengan akurasi catatan yang cermat dan kaya akan detail peristiwa kesehatan seseorang dalam sebuah log book. Kerja detail dan akurasi teruji itu nyaris melampaui kerja seorang novelis.

Maka jika pencatatan yang detail itu menjelma menjadi tulisan yang digarap serius layaknya penulisan novel, maka buku seorang dokter akan terbaca sangat istimewa dan menawan. Kita akan mendapatkan suspens tiada akhir dengan suara getir yang menggetarkan, dan membuat setiap pembacanya akan merenung apa arti diri sendiri, semesta, dan Tuhan.

Bacalah misalnya buku dr John Manangsang yang judulnya sepanjang sepur: Papua Sebuah Fakta dan Tragedi Anak Bangsa, Pergumulan Etika, Moral, Hukum, Sosial, Budaya, Kedokteran, SDM, dan Kemanusiaan; Refleksi 15 Tahun Pasca Kisah Nyata: “Catatan Seorang Dokter dari Belantara Boven Digul dan Komentar Para Pakar Indonesia”.

Buku ini tak hanya meriwayatkan manusia di sepotong kawasan bernama Digul, tapi juga menyeret dan menggodam-godam rasa kemanusiaan kita di meja bedah puskesmas Tanah Merah yang miskin fasilitas itu. Sang dokter begitu lirih, detail, mencatatkan pengalamannya bergelut dengan harapan manusia-manusia Tanah Merah untuk keluar dari kelamnya nasib dan penyakit. Di tangan dr John, neraka Tanah Merah dan seberkas harap berlomba di jalur yang sempit yang terkadang saling menggesek dan menggasak.
Dengan hanya bersenjatakan silet untuk operasi sesar dan anus buntu, martil yang menghantam gagang pahat dan obeng pinjaman tetangga untuk operasi lutut, serta listrik yang byar-pet ketika dinihari tiba, dr John memberitahu betapa kelamnya pedalaman Papua.

Untuk tahu bagaimana dahsyatnya tulisan seorang dokter yang digarap dengan serius, baca pula buku dr Ang Swee Chai, From Beirut to Jerussalem: Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan. Dr Ang Swee adalah dokter orthopedi yang dikirim di medan pembantaian Lebanon: Shabra-Shatila. Sebelum Israel menggempur habis-habisan Lebanon setahun lalu, Shabra-Shatila sudah menjadi uji coba praktik pembantaian yang mahangeri Israel di tahun 1982.

Dengan hanya paspor seorang dokter, dr Ang Swee mampu menguak betapa mengerikannya perlakuan Israel. Perang itu tak hanya mengubah persepsi Ang Swee terhadap apa itu manusia Palestina yang kerap disebut-sebut sebagai “Demolition Man”, melainkan juga menyuarakan kepada dunia bahwa perang hanya menciderai jiwa-jiwa manusia.
Ia memang bukan reporter media massa yang bejibaku di tengah front pertempuran Lebanon. Ia hanya menceritakan apa yang dilihatnya di tenda-tenda darurat rumah sakit dan di antara deretan manusia yang terluka dan mengerangkan maut. Namun dari ceritanya yang menusuk tajam itu, bukunya menjadi saksi tentang pembantaian manusia yang mengiris. Detail-detail yang dipaparkannya membuat pembaca ikut serta dalam setiap momen dan menyadari bahwa orang yang dibela oleh dr Ang Swee sejatinya bukan lagi berdasar atas etnik dan kepercayaan (ia beragama Kristen dan pro-Israel), melainkan atas dasar kemanusiaan.

Selain dua buku itu, tak ada lagi buku tulisan seorang dokter yang memukau. Boleh jadi buku itu begitu menarik karena peristiwa yang melatarinya adalah peristiwa besar seperti perang dan/atau di tengah bencana alam yang luar biasa dan/atau di arena kelaparan akibat infrastruktur yang brengsek.

Tapi sebuah tulisan yang menggetarkan, tak mesti dihasilkan dari arena-arena yang ekstrim, tapi juga bisa di laboratorium yang bersifat sehari-hari. Sebab ketajaman setiap tulisan dokter terletak pada: (1) bahwa mereka memiliki data akan detail peristiwa yang dihadapinya dan (2) bagaimana memperlakukan dan mengolah data itu secara memikat dan bahasa yang liris-naratif.

Di zaman revolusi, Soedjatmoko adalah kampiun penulis dan intelektual Indonesia yang pernah dilahirkan Ika Daigaku (sekarang Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Salemba). Ia adalah aktivis Prapatan 10, asrama mahasiswa para juru suntik. Bersama aktivis Menteng 31, Cikini 71, Gang Bluntas, mereka turut mengambil peran signifikan dalam peristiwa Proklamasi 1945.

Namun kini, dokter kita tinggal segumpil yang mau menyandingkan antara profesinya sebagai dokter dan penulis yang tekun. Betapa jarang dokter yang menulis buku tentang kesaksiannya, baik sebagai manusia maupun sebagai seorang dokter ketika berhadapan dengan peristiwa kesehatan (sehari-hari).

Yang menulis di media massa pun hanya sedikit. Paling itu-itu saja. Sebut saja dr T Jacob, Kartono Muhamad, dan Hermawan Nadesul.

Dokter gigi dan peneliti terdepan asal UGM, Ika Dewi Ana, mengatakan buku bacaan dokter itu merentang dari buku ilmiah sampai buku porno. Tapi tak sedikit jumlah dokter yang tak mau lagi membaca. Sebuah penelitian yang dilakukan Australia-Indonesia didapatkan hasil bahwa nyaris semua responden yang terdiri dari dokter dan perawat tak pernah merujuk pada buku referensi saat ditanya cara pemakaian jarum suntik. Semua bersandar pada kata ini, diajari oleh ini, dan sebagainya. Padahal buku bisa memberi jawaban lebih memuaskan.

Kalau dokter tak mau lagi membaca, tak mau lagi bertanya pada buku, lalu bagaimana mereka tergerak menulis (yang baik).



[+baca-]

‘Malpraktik’ dari Digul

Oleh Muhidin M Dahlan

Digul adalah ingatan tentang gelap sejarah politik Indonesia. Ia adalah—pinjam istilah mantan digulis Hatta—adalah ‘neraka dunia’ yang diciptakan penguasa Hindia Belanda, Gubernur Jenderal De Graeff di awal-awal 1927 sebagai tempat buangan para aktivis.

Memang tak ada tembok-tembok besar yang mengurung di sini. Sebab rimba dan paya-paya kaya nyamuk cukup menebar horor yang menggetarkan bagi siapa pun; walau ia seorang aktivis pergerakan keras kepala sekokoh Marco Kartodikromo. Menurut kabar, hanya satu orang berhasil lolos dari tangkaran dataran terpencil di udik Papua ini. Dia adalah Sanjoyo, murid Dr Tjipmangoenkoesoemo di Indistje Partij, yang kemudian menjadi tukang cukur di Australia.

Digul memang bukan Gulag yang penuh dengan lampu sorot, para sipir siaga siang malam memegang pecut dan mengokang senapan, serta tembok-tembok raksasa. Di Digul justru rumah ibadat, warung-warung, ‘rumah sakit’, bahkan bioskop, tersedia. Jika kemudian Digul menjadi sangat menakutkan, tiada lain, karena pembunuh terbuas di sana adalah rasa bosan yang membunuh harapan. Setiap orang yang berada di sana mesti berjuang mati-matian menjaga kewarasan agar tak jatuh menjadi gila. Di Digul menjadi pelamun adalah alamat dekat disesap gangguan jiwa. Keterpencilannya itulah yang menciutkan nyali.

Jika kemudian ada orang mampu berbuat sesuatu di tanah yang dikurung rimba dan gunung-gunung ini, pastilah dia adalah pribadi-pribadi papilon. Dr John Manangsang adalah salah satu papilon yang bukan hanya luput dari ‘gangguan jiwa’, namun dengan kedua tangannya bisa membangkitkan inspirasi bagi siapa pun yang bersetia bagi kemanusiaan.

Jangan membayangkan dr John Manangsang seangkatan dengan dr Tjipto Mangoenkoesoemo yang hidup di Digul ketika Indonesia masih dalam embrio. John Manangsang adalah dokter muda sebuah puskesmas saat Indonesia berada di puncak-puncak pertumbuhan ekonominya atau kerap disuarakan aparatus Orde Baru dengan keyakinan membulat: “Tahun-Tahun Emas Indonesia”.

Dr John sejatinya adalah dokter ‘lugu’ dengan satu keyakinan: “dokter adalah mereka yang disumpah dan bersumpah untuk membaktikan hidup mereka guna kepentingan kemanusiaan; menjalankan tugas dengan cara terhormat, bersusila sesuai martabat pekerjaan mereka; kesehatan penderita akan senantiasa diutamakan,... setelah itu para dokter pun pergi menyebar ke pelosok-pelosok nusantara, bahkan sampai pada tempat yang tak terbayang oleh manusia lain...”

Dalam riwayat termutakhir ilmu kedokteran yang tunduk pada hukum-hukum ekonomi dan teknologi supracanggih, tindakan yang diambil dr John adalah sebuah anakronisme dari humanisme kedokteran klasik.

Dr John sebetulnya bisa mencecap kehidupan yang lebih baik sebagai dokter di RS Tjipto Mangoenkoesoemo karena ia alumni kedokteran di Universitas Indonesia dengan tingkat ketekunan di atas rata-rata bagi teman-teman sealmamaternya. Namun dr John memilih untuk kembali ke Digul, ‘neraka dunia’ di mana dr Tjipto pernah dipendam pemerintahan kolonial karena sepak terjang politiknya bersama Indistje Partij.

Jakarta dan Digul adalah langit dan bumi. Tapi praktik-praktik kedokteran dipraktikkan dalam komposisi dan ilmu yang sama karena sama-sama melayani manusia yang sama sebagai pasien. Kesederhanaan, kehangatan, kesetiaan, serta keberanian dr John mengambil tindakan-tindakan medis selama 2 tahun (1990-1991) di Digul menjadi teror bagi siapa pun yang memihak pada kemanusiaan.

Teror itu kemudian dibagi dr John dalam buku berjudul luar biasa panjang ini: Papua Sebuah Fakta dan Tragedi Anak Bangsa, Pergumulan Etika, Moral, Hukum, Sosial, Budaya, Kedokteran, SDM, dan Kemanusiaan; Refleksi 15 Tahun Pasca Kisah Nyata: “Catatan Seorang Dokter dari Belantara Boven Digul dan Komentar Para Pakar Indonesia”.

Seperti seorang novelis yang telaten merinci detail yang mengguncang, dr John mamapas dengan sangat rinci setiap detik dalam sebuah operasi darurat pasien-pasiennya di puskesmas sederhana dengan alat-alat operasi yang membuat bulu kuduk berdiri, seperti silet untuk membelah perut dalam operasi sesar dan mencocor anus yang buntu; atau tang dan pahat untuk mamapas tulang lutut.

Buku ini juga bercerita dengan sangat efektif dan membius tentang perjalanan panjang 90 hari dalam sebuah ‘pawai pengabdian’ yang oleh dr John dinamai: Program Puskesmas Keliling Jalan Kaki ke semua desa di Kecamatan Mandobo, Boven Digul.


SETELAH BERJALAN kaki seharian mengelilingi punggung bukit, menyeberangi sungai-sungai kecil, melewati titian kayu, tanah basah yang berlintah, sampailah dr John bersama aparat kecamatan di Desa Patriot, sebuah desa-tua yang kurang terurus. Dari Patriot, dr John mendapati seorang pasien, Nyonya Basilia namanya, yang sudah bertahun-tahun hanya terbaring di atas bale-bale dengan mendekamkan penyakit kista ovarioum permagna. Orang Papua, apalagi orang gunung seperti keluarga Nyonya Basilia, tentu tak tahu penyakit apa itu, selain kutukan. Bertambah lagi heran mereka ketika dr John bilang, penyakit itu hanya bisa diobati dengan jalan operasi. Mereka tak tahu operasi. Setelah dijelaskan bahwa operasi adalah membelah perut dengan pisau tajam untuk mencauk penyakit besar yang ada di dalamnya, sontak semuanya pada begidik.

Dr John lalu memberitahu jika mereka setuju, turunlah ke Tanah Merah. Dan benar, setelah sepekan kunjungan itu, tepatnya hari Jumat, sekeluarga warga itu turun gunung menandu Nyonya Basilia dengan berjalan kaki selama dua hari. Dr John mengatur jadwal agar operasi dijalankan pada malam minggu karena listrik bisa menyala sampai jam dua dini hari. Dengan begitu mereka mendapati banyak waktu bekerja dengan alat-alat yang butuh bantuan daya listrik. Mental perawat dan alat-alat operasi pun disiapkan.

Namun pada siang itu pasien yang mau melahirkan anak pertamanya datang. Di sinilah dilema dan sekaligus ‘malpraktik’ itu dimulai. Kedatangan Nyonya Maria Pinem yang diantar suaminya membawa kegawatan yang lain. Setelah melalui serangkaian pemeriksaan, ditemukan kepala bayi yang mau lahir cephallopelvic dysproportion, yakni kepala janin terlalu besar untuk lahir melalui panggul guru SMP Negeri Tanah Merah yang kecil itu.

Dr John pun lemas dan untuk kemudian ia berterus terang kepada suami Nyonya Maria bahwa operasi sesar harus dilakukan sekarang juga kalau ibu dan bayi yang dikandung selamat. Maka tanpa banyak waktu lagi, operasi sesar pun dimulai. Karena mungkin khawatir fisik istrinya lemah, diam-diam Pak Sinurat mengambil beberapa butir telur ayam dan mengocoknya dengan susu kental untuk diminum istrinya.
Sementara tim dr John mempersiapkan kamar operasi. Daun jendela kamar operasi dibuka lebar-lebar untuk mendapatkan oksigen alam sebanyak-banyaknya. Alat-alat operasi yang rencananya buat Nyonya Basilia, dialihkan untuk sesar. Beberapa perawat puskesmas seperti Bidan Anotneta, Suster Bernadina, Mantri Petrus, Mantri Adrianus, Ancelina, Hermina, Lidia, dibagi dr John dalam beberapa satuan tugas. Tapi jangan bayangkan asisten operasi ini setrampil dengan suster dan perawat di mkota-kota besar. Mereka yang membantu operasi ini sangat asing dengan ilmu dan dengan prosedur operasi. Pendeknya, ini adalah pengalaman pertama. Namun dr John mau tak mau mempercayakan mereka karena cuma ini pembantu-pembantunya yang disediakan Digul, sementara pasien harus mendapat penanganan cepat. Pemeriksaan kondisi pasien dilakukan. Dan operasi pun dimulai.

Perut dibelah. Uterus tampak menggelembung. Plika vesikouterina disayat melengkung membentuk bulan sabit dan kandung kencing disisihkan dengan jari ke bawah. Uterus lalu disayat dengan jalur membentuk U, ditembus dan dilebarkan secara tajam. Tampak seorang bayi bergerak-gerak. Bayi yang beratnya 3,8 kg dan nilai apgar 5/10 ditarik keluar bersama ular-ularan plasenta. Setelah perut itu bolong, giliran penjahitan tiba. Bekas sayatan dijepit dengan 3 buah klem jaringan (dan hanya 3 itu yang tersedia)untuk mengatasi pendarahan melimpah dan menghalangiproses penjahitan. Beberapa kali dr John menciduk darah dengan kedua tangannya dan berburu dengan waktu dengan beberapa jahitan penghentian sumber pendarahan. Terbatasnya klem membuat dr John memerintahkan tangan-tangan asistennya untuk menjepit sambil menunggu giliran dijahit.


Berhasil. Nyonya Maria kemudian sadar pada 20 menit kemudian dengan tekanan darah 100/60/mmHg, nadi 110 kali per menit, frekuensi napas 28 kali per menit dan hemoglobin darah 7gr%.

Sabtu esoknya, dr John mengunjungi pasiennya di ruang nifas. Nyaris semuanya berjalan normal. Soalnya tinggal satu, Nyonya Maria belum juga kentut. Karena itu dr John izinkan minum air hangat sedikit-sedikit. Sorenya, Nyonya Maria tak juga kentut yang membuatnya mengizinkan untuk diberi makan bubur karena pasien sudah lapar.

Perawat-perawat yang sebelumnya dicucuk ketegangan dan kelelahan yang luar biasa, kini harus mempersiapkan kembali operasi Nyonya Basilia. Awan bergulung-gulung di cakrawala Digul. Curah hujan turun tiada tentu. Baju steril operasi yang terpakai hari kemarin tak juga kering. Dr John pun memutuskan untuk pakai baju biasa saja. Sebab jangan sampai hanya gara-gara baju operasi tak kering, operasi ditunda. Sebab bagi orang Papua janji yang ditepati adalah kata kunci untuk merebut kepercayaan mereka. Sekali ingkar seumur-umur mereka memandangmu asing dan penuh syak.

Sebagai upaya sterilisasi, kain duk besar dan berlubang diseterika. Tim seksio kembali berkumpul jam 7 malam. Kali ini mereka hanya berpakaian biasa, sementara dr John hanya memakai kaus oblong berleher bulat dan bercelana pendek. Tak ada kendala dalam proses pengangkatan tumor Nyonya Basilia. Tumor itu tampak putih dengan bagian-bagian transparan yang dialiri pembuluh-pembuluh darah besar dan kecil bagaikan cabang-cabang akar bahar di permukaan tumor yang telah mengisi seluruh rongga abdomen.

Tubuh Nyonya Basilia pun terasa sangat ringan setelah operasi selesai.

Badai sudah berlalu? Justru di sinilah drama itu dimulai setelah semuanya digaruk rasa lelah yang teramat sangat. Ini diketahu setelah dr John menengok kembali Nyonya Maria yang tampak menjerit-jerit kesakitan. Perutnya kembung. Benang-benang jahitan menegang dan seakan mau putus.

Waktu menunjuk pukul 22.05 WITA. Di kota-kota besar, jam segitu tak ada masalah. Tapi di Digul, saat-saat itu adalah pertanda listrik akan segera padam (jam 12malam!!). Pembantu-pembantunya pun semuanya istirahat di rumah masing-masing. Dengan gugup, dr John memberitahu pasien malang itu, bahwa operasi ulang harus dilakukan karena dalam perut sang pasien ditemukan sesuatu yang tak beres. Suami pasien hanya bisa bercucuran air mata mendengar keputusan itu, sementara Nyonya Maria hanya terlentang sakit dan kepayahan.

Berpacu dengan waktu, dr John menyuruh perawat piket membangunkan semua pembantunya. Perawat yang lain diperintahkannya mencuci alat-alat operasi dan kain duk. Dr John sendiri bergegas menghubungi kepala PLN agar memanjangkan waktu pemadaman. Apalagi yang dioperasi adalah keponakannya sendiri.
“Apa tidak bisa operasi itu ditunda besok pagi?”
“Tidak bisa, harus sekarang!”
“Kalau begitu jam berapa operasi dimulai dan berapa jam butuhnya?”
“Pertanyaan Bapak tak bisa saya jawab sekarang, sebab alat-alat operasi baru diterilkan dan tenaga medis baru dibangunkan satu per satu. Itu pun kalau mereka mau. Sementara apa dalam perut itu baru diketahui setelah perut terbuka.”

Negosiasi itu menghasilkan keputusan: PLN memperpanjang nyala listrik satu jamhingga jam satu dini hari. Apa boleh buat, dr John pun bergegas menyiapkan apa saja yang bisa disiapkan. Walau sudah bersicepat, ternyata persiapan itu baru ‘selesai’ pada pukul 12.20 menit.

Sebelum prosedur anestasi dan operasi dimulai,dr John menelpon Kepala PLN yang memberitahu bahwa operasi baru saja dimulai yang justru Kepala PLN itu mengira operasi sudah selesai. Dengan gusar, Kepala PLN itu bertanya: “Apa bisa operasi dalam sejam?”

Dengan dongkol, dr John menjawab: “Bisa!”

Dan ini berarti lampu menyala sampai pukul dua dini hari. Operasi pun dimulai pada pukul 00.50.

Dan inilah adegan menegangkan di ruang operasi yang sama sekali jauh dari ruang operasi yang distandarkan ilmu kedokteran di helai-helai buku utama.

Baca catatan dr John berikut ini:

- Pukul 00.50 kami memberikan suntikan premedikasi dengan valium dan sulfat atropin. Tujuh menit kemudian disusul dengan ketalar 1 mg/kg berat badan. Pasien pun terlelap.
- Dalam keadaan a dan antisepsis, kubuka kembali jahitan-jahitan dari benang silk dikulit perutnya dengan menggunakan sebuah gunting berujung tumpul. Saat itu tepat pukul 01.00 dinihari.
- Tatkala membuka benang-benang di selaput peritoneum, seketika itu juga sebagian usus yang telah penuh berisi udara dan sedikit cairan melejit keluar, berhamburan ke atas kain duk yang menutupi tubuhnya.
- Secara sistematis kutelusuri dan kekeluarkan usus ke atas pertunya, mulai dari usus 12 jari, usus halus sepanjang hampir 5 meter, membelok ke daerah usus buntu, naik menelusuri usus besar kanan, membelok lagi ke kiri menyususri usus besar trasversum, dan terakhir turun menyusuri usus besar kiri. Ternyata... pada sepertiga tengah dari usus besar kiri (colon descenden) terjadi puntiran usus yang nyaris saja mendatangkan maut itu! Di situ ngendon kuning telur yang telah membatu.
- Puntiran usus itu baru saja terjadi bersama dengan gejala yang datang tiba-tiba beberapa jam yang lalu.puntiran usus itu tampak berwarna pucat dan merah seperti terlah terjadi pendarahan dalam selaput usus. Aliran dinding dalam dinding usus terjepit, terhambat, dan serbaut-serabut saraf tak lagi mendapat oksigen dan darah (ischemia) sehingga menimbulkan rasa nyeri yang tak tertahankan dan menjalar ke seluruh tubuh sampai ke ujung rambut dan sumsum tulangnya.
- Segera puntiran usus tersebut dilepaskan dengan mengenakan kedua tangan secara hati-hati.
- Beberapa menit kemudian warna usus di bagian puntiran kembali mendekati normal, yang tadinya pucat kini tampak merah muda,sedangkan yang tadinya merah gelap kebiruan berangsur-angsur menjadi merah muda pula. Sayangnya saya tak memperhatikan skibala (beluran feses) yang menjadi penyebab puntiran usus itu.
- Seketika itu hatiku lega kembali di tengah-tengah keletihan yang amat sangat, ditambah lagi rasa stres lantaran diburu-buru datangnya gelap gulita deadline PLN padahal pekerjaan belum selesai.
- Sebelum usus-usu itu kumasukkan kembali ke tempatnya, kuperiksa sekali lagi keadaan uterus untuk memastikan apakah ada juga masalah di sana. Ternyata tidak ada. Uterus dalamkeadaan baik dan aman.
- Kini tiba saatnya memasukkan usus-susu yang telah kembung berisi udara dan air itu ke tempatnya masing-masing.dengan sedikit tekanan saya berusaha memasukkan satu per satu sambil menutup kembali luka operasi hingga tinggal beberapa sentimeter untuk memasukkan sisa usu yang masih berada di luar.
- Tetapi ternyata udara dalam usus begitu membandel ditambah dengan stadium serta relaksasi usus oleh anestasi yang sudah tak bisa dibuat lebih dalam lagi. Ini membuat sebagian usus besar tak dapat dimasukkan kembali sama sekali. Rongga abdomen sudah penuh sesak!
- Tiba-tiba Suster Vin berteriak, “Tekanan darah turun, Dok! Dari 90/60 menjadi 60/30.”
- Kutanya lagi, ”Jantung?” “Lup-duk, lup-duk, lup-duk,” tiru Mantri Adrianus mengikuti bunyi jantung, terdengar pelan dan agak jauh. Astaga! Ini bahaya! Rasanya ingin saya lepas sarung tangan untuk mengecek langsung, tetapi niat ini segera saya urungkan karena mengingat tidak akan ada alagi sarung tangan steril cadangan yang dapat dipakai nanti apabila hal ini kulakukan.
- Karena itu saya hanya dapat berkata, “Guyor infusnya! Yang lain coba pergi keluar minta donor sukarela golongan darah O dari pihak keluarga!”
- Beberapa saat setelah penambahan kecepatan tetesan infus NaCl 0,9%, tekanan darah naik lagi menjadi 80/40.
- Melihat tekanan darah kembali naik, saya bermaksud melanjutkan pekerjaan memasukkan usus yang masih tertinggal di luar. Namun karena usus yang masih di luar cukup banyak dan tidak memungkinkan, maka saya berpikir untuk melakukan decompresi usus lewat hidung. Tapi masalahnya, para pembantu setiaku ini belum mahir melakukan itu. Lagi pula saya khawatir hal itu dapat merangsang serabut saraf vagus yang bisa-bisa menyebabkan jantung berhenti secara tiba-tiba.
- Dalam keadaan amat genting seperti ini, saya betul-betul bingung dan kehabisan akal. Keringat dingin mengalir dengan deras. Mau melakukan decompresi lewat lubang anus? Praktiknya sulit dilakukan pada posisi dan keadaan seperti ini. akhirnya diputuskan untuk memasukkan sisa usus yang masih tertinggal di luar dengan sedikit paksa, siapa tahu bisa berhasil.
- Kedua tangan Mantri Petrus menahan usus yang sudah berada di dalam perut agar jangan sampai keluar lagi, sedangkan saya berusaha memasukkan usus-usus itu. Usaha ini pun tidak berhasil, usus tetap membandel.
- Perasaanku semakin tidak enak. Jantungku berdebar-debar kuat sementara para pembantu setia yang semuanya penuh dedikasi itu terus memperhatikan ekspresi wajahku. Ini dikarenakan waktu itu aku teringat batas waktu untuk kami bekerja di bawah terang lampu listrik hanya satu jam. Sekarang tinggal 5 menit dari batas waktu dijanjikan, padahal pekerjaan masih jauh dari selesai, dan pasien pun terancam keselamatannya.hati kecilku mencoba untuk menghibur diri, “Ah tak mungkin PLN memadamkan lampu dan sentral sebelum ada kabar dari kami.” Tetapi untuk berjaga-jaga, Agus dan Thomas kuminta untuk menyalakan lampu petromaks.
- Sekali lagi, kami coba memaksakan usus yang tinggal sedikit di luar tubuh untuk masuk ke dalam perut. Tetapi tiba-tiba saja tubuhku terasa lemas;lututku terasa ngilu dan longgar. Saya hampir tak berdaya lagi untuk berdiri... karena melihat bagian usus yang mengalami puntiran dan rapuh itu bocor! Tak ayal lagi, feses keluar dan mencemari rongga perut.
- Tiba-tiba Suster Vin berteriak lagi, “Dokter! Tensinya turun lagi, 50/30 mm Hg!”
- Saya sambar dengan jawaban cepat, “Suntikkan adrenalin 0,5 ml ke dalam kolf NaCI 0,9% dan tetesan infus dipercepat, diguyur!”
- Di saat-saat penuh pergumulan yang sangat menegangkan itu bagai ‘berpacu dalammelodi maut’, tiba-tiba seluruh ruangan pet: menjadi gelap gulita. PLN benar-benar memegang janji,tanpa kompromi mematikan lampu tepat pukul 02:05 dini hari.
- Hati saya benar-benar sedih dan emosiku naik sampai ke puncak ubun-ubun... saya pun tertunduk dan coba merendahkan kesesakan hati dengan memanjatkan doa yang bisa didengar oleh semua yang hadir di ruang operasi itu....
- Saya bangkit lagi saat lampu petromaks telah menyala terang di atas tangan, di samping atas-belakang medan operasi. Kini dapat kami lihat lagi usus yang robek itu, dibantu sorotan dua buah lampu senter di samping kanan-kiri saya. Pekerjaan dapat dilanjutkan lagi. Sementara tekanan darah berkisar antara 70/50-80/60 mmHg.
- Mantri Alex diberi tugas menghangatkan beberapa kolf cairan NaCI 0,9% dan RL dalam air rebusan di dapur puskesmas, sedang saya sendiri dan Petrus mengurut-urut udara dan feses dalam tabung usus untuk dikeluarkan melalui luka robek yang ada. Dengan demikian volume usus menjadi sangat berkurang dan mengecil sehingga semua usus dapat dimasukkan kembali ke dalam perut di tempatnya masing-masing tanpa ada kesulitan. Memang, inilah yang disebut blessing in disguise, bahwa muncul masalah baru, yakni bocornya usus dan keluarnya feses. Tetapi kebocoran justru memberi jalan keluar atas masalah yang hampir membuat kami frustasi berat,yaitu membandelnya usus!
- Setelah isis usus dikeluarkan secukupnya,kami melakukan pencucian rongga perut dengan larutan NaCl dan RL hingga bersih.
- Pekerjaan berikut adalah melakukan sayatan luka baru pada luka robek itu, kemudian menjahit kembali dengan beberapa jahitan benang cut gut halus. Kemudian dilakukan pengetesan apakah masih ada kebocoran ataukah memang sudah rapat betul.
- Setelah yakin betul bahwa pekerjaan menambal usus sudah tuntas,sekali lagi kami mencuci usus dengan sisa larutan antibiotikdalam NaCl 0,9%.
- Tubuh saya basah kayup oleh keringat mentah dan air cucian usus yang bau busuk menusuk. Kami berdiri di atas genangan air cucian usus itu. Terasa dingin sekali ditambah hembusan angin dingin di pagi buta masuk melalui jendela yang sengaja dibuka lebar,sebagai sumber O2 dan AC alam.
- Dan operasi selesai pukul 04.10 subuh.
- Tapi itu belum selesai. Ancaman lain adalah infeksi bakteri E Coli yang harus ditangani dengan antibiotika tingkat tinggi. Penisilin dan streptomisin tidak cukup.
- Namun untunglah Nyonya Dokter Dresser di Senggo beberapa waktu lalu memberi 5 ampul gentamisin.
- Sepulang dari mengantongi gentamisin, Suster Vince datang dan berkata: “Dok, suhu badan Ibu Sinurat 39 derajat Celcius, badannya menggigil dan tampak amat payah.”
- Saya bergegas menghampiri pasien dan langsung menyuntikkan ylomidan 2 cc dan gentamisin.dari situlah Nyonya Maria berbisik lirih: “Saya tak tahan dokter, tolong anak dan suamiku.” Dia sungguh membutuhkan darah dan antibiotika.
- Tapi ini subuh hari. Dan sungguh panjang menanti pagi.... Lalu datanglah Bapak Tambunan, rekan guru Nyonya Maria, yang sengaja datang menjenguk. Saya segera menanyainya, “Apa Bapak bergolongan darah O?” Jawab: “Ya, dokter!” Saya sambung lagi: “Apa Bapak bersedia memebri sedikit darah untuk Nyonya Maria? Ia sangat membutuhkan darah!” Beliau sangat kaget dan tampak di wajahnya rasa takut, “Saya belum biasa, ... saya takut.” Dan tanpa banyak berbasa-basi, ia cepat keluar dan pergi...
- Dan saya pun memutuskan untuk membawa Nyonya Maria ke RSUD Kabupaten Merauke. Dan kebetulan hari ini Senin di mana akan datang pesawat Twin Otter dari Jayapura-Tanah Merah-Merauke.
- Namun untuk naik pesawat diketinggian tertentu butuh hemoglobin (Hb) yang cukup untuk keperluan transpor oksigen dari paru-paru ke sel-selotak. Karena itu mutlak diperlukan darah.
- Dengan berat hati saya memaksa para perawat yang berdarah O untuk donor. Dan Bidan Vince menyanggupi itu, walau saya tahu dia sangat lelah karena sudah 4 hari nonstop terbenam di kamar operasi ini. Kini kami mencari satu kantong darah lagi yang kemudian kami peroleh dari Mantri Hans yang Jumat sebelumnya sudah menyumbangkan darah untuk Nyonya Suruto.
- Dengan persiapan yang serbacepat dan tanpa ada jeda istirahat sama sekali, akhirnya Nyonya Maria bisa diangkut.
- Singkat cerita, Nyonya Maria bisa selamat dari maut.



LAIN WAKTU, lain pasien, di kamar yang sama. Operasi sesar dimulai dengan kepanikan serupa. Stok peralatan puskesmas di bawah minimum. Kasa steril tak punya dan harus meminjam dari kesusteran sementara pisau operasi habis terpakai. Mobil ambulance keluaran zaman prasejarah sudah lama mangkrak karena terbalik sehabis menubruk tebing dalam sebuah program puskesmas “keliling jalan kaki”. Sterilisator memang sudah dibawa ke perumtel untuk dipanaskan, namun listrik di perumtel tak cukup kuat untuk memanaskan. Jalan darurat pun diambil: sterilisator itu direbus manual di belakang puskesmas.

Tampaknya semua sudah siap di meja operasi. Namun dr John dikagetkan oleh teriakan perawat: “Pisau operasi habis dan tak ada satu pun yang tersisa untuk operasi ini.” Karena tak boleh menunda operasi hanya karena soal pisau, dengan spontan dr John merogoh sakunya dan mengeluarkan uang seratus rupiah.”Tolong belikan silet Tiger di salah satu kios terdekat.” Silet itulah yang dipakai untuk membelah perut pasien.

Saat operasi atresia ani atau lahir tanpa lubang anus, dr John pun dihadapkan pada fasilitas yang minimum. Ia sudah menghubungi rekan-rekannya yang berada di kota untuk mendapatkan secuil informasi dan kalau bisa sekaligus dengan alat, namun jawaban yang diterima adalah pasien mesti dirujuk. Namun dr John tak mau merujuk pasiennya lantaran keterbatasan ekonomi. Maka ia pun mengambil jalan nekat dalam sebuah operasi buta. Bermodal sepotong patahan silet yang berbentuk segitiga yang dijepit pada ujung klem, sebuah obeng pencongkel gigi, sebuah trokar besi tajam penembus otot, sebatang sonde pengukur dalamnya dan posisi kandungan, sebuah spekulumk hidung, sebuah tabung spuit besi penyemprot gliserin ke dalam lubang anus, dan sebuah gunting. Dan operasi itu pun dimulai tatkala mata silet itu mencocor lubang anus yang buntu itu.

Dalam kesempatan operasi yang lain, pahat yang biasa untuk pertukangan pun hadir sebagai “tamu kehormatan” di kamar bedah dr. John. Pahat—dan juga palu—digunakan untuk pasiennya yang terkena artodesis atau kekakuan sendi. Alat itu digunakan dr John untuk sebuah operasi memahat sendi lutut manusia. Inspirasi memahat lutut itu justru muncul ketika operasi sudah separuh jalan dan ia menemui jalan buntu. Di saat putus asa itulah ‘kreativitas’nya muncul. Ia memerintahkan perawatnya mencari pahat, obeng, dan martil di tetangga puskesmas lalu direbus serta disirami alkohol 70%. Setelah itu ujungnya dibakar. Untuk letak yang sempit, pahat diganti dengan obeng. Dan operasi ‘kreatif’ itu berhasil membuat senyum pasiennya merekah dan ia bisa berjalan lagi.

Dr John Managsang mengerjakan semua pekerjaan penyelamatan jiwa manusia yang bertarung dengan penyakit-penyakit mematikan itu tanpa buku penuntun. Ia kerap hanya mengandalkan imajinasinya dengan mencoret-coret garis yang dilewati pisau pada secarik kertas atau di tubuh pasien. Menghadapi situasi minimnya peralatan kedokteran dan ilmu yang pas-pasan, dr John lalu mengandalkan insting, keberanian,dan harapan yang dipacu pasiennya bahwa dr John adalah dewa penolong. Ia adalah wakil Tuhan yang bisa membantu mereka bisa tawar-menawar dengan maut, walau tak setiap usaha yang dilakukan dr John membuahkan hasil alias banyak juga pasiennya yang meninggal dunia akibat kegagalan operasi yang dilakukan.

Sayatan silet, hentakan martil yang menghantam gagang pahat dan obeng, serta listrik yang byar-pet yang berada di jantung puskesmas Tanah Merah adalah simbol sempurna bahwa Papua tetaplah pedalaman gelap. Lewat alat-alat operasi yang sangat sederhana itu, kita diberitahu begitu memprihatinkannya kawasan yang pernah menjadi sengketa dengan Malaysia pada 1964 itu yang kemudian dikenal dengan istilah “Ganjang Malaysia. Di Papua itu pula lahir traktat bersejarah bertitel: “Dwikora”.

Tapi dr John bukan sosiolog atau sejarawan atau antropolog yang perlu melumat serigit-rigitnya data-data kondisi kemakmuran di pedalaman Papua dan memberitahu bahwa Papua betul-betul gelap dan gersang. Ia hanya cukup menceritakan kisahnya di ruang operasi sempit dengan segala anakronismenya. Di sana, bertumbuh harapan dan daya hidup yang sekaligus berdiri rapet bersisian dengan penyakit dan kuntitan maut.

Kesaksian yang coba dituturkan dengan rinci oleh buku ini—disertai sekira 50 gambar-gambar pasien yang berdarah-darah di meja operasi—adalah teror mental dan pedalaman kemanusiaan. Bukan saja kepada para dokter muda yang ingin mengabdi di pojok-pojok Nusantara yang bahkan kondisinya tak terjangkau oleh nalar, hingga pemangku-pemangku kebijakan publik di pusat-pusat kekuasaan.

Dan memang Digul tetap menjadi teror dan ‘neraka dunia’. Namun bedanya kini adalah anakronisme, sebab ‘neraka dunia’ itu justru berlanjut ketika Indonesia merdeka dan mencicipi bagaimana melwati tahun-tahun emas.

Digul adalah medan pertaruhan kreativitas menyiasati semua keterbatasan; dan semua itu sudah cukup bagi masyarakat sekitarnya untuk menaruh rasa hormat yang sungguh dalam kepada dr John. Ia memang tak mengibakan rasa hormat yang telah hidup di hati masyarakat sekitar. Karena hal itu didapatkannya dari sebuah akrobat keberanian dan kejernihan kaca manusiawi. Dari kisah ‘malpraktik’ dr John kita lalu menemukan apa arti dan hakikat seorang dokter di tengah masyarakat.

Dr John adalah sebuah oase di tengah industri kedokteran yang berada di titik gawat setelah digerus dan dicundangi habis-habisan oleh kekuatan kapitalisme farmasi. Di sini, kemanusiaan digorok, sebab yang menentukan semuanya adalah kapital, kapital, dan kapital.

[+baca-]

Nasionalisme Para Juru Suntik

Oleh Muhidin M Dahlan

Revolusi Indonesia pada akhirnya lahir di jalanan bersama pekik kerumunan massa, pidato-pidato yang membakar, dan disertai serangkaian adu bedil. Dan di antara semua itu, kaum muda berada di pusat bandul pergolakan. Hampir setiap babakan penting menuju Indonesia Merdeka, semisal pendirian Boedi Oetomo yang secara umum dipahami sebagai tonggak kebangkitan nasional, sumpah pemuda 1928, penggumpalan aspirasi pendirian politik 1938 di Volksraad, hingga Proklamasi 1945, semuanya dipunggungi kaum intelegensi muda usia.

Ketuban dekrit Proklamasi Kemerdekaan, misalnya, tak akan pecah seandainya tak ada elemen intelegensi muda yang memandunya di mana pada saat yang sama Bung Karno dan Bung Hatta dalam posisi “bingung” hendak melakukan tindakan apa di tengah simpang siur berita kalahnya Jepang dalam Perang Pasifik.

Salah satu kelompok pemuda yang aktif dalam persiapan Proklamasi itu, selain kelompok Menteng 31, Cikini 71, Gang Bluntas, adalah Prapatan 10. Penamaan ini diambil dari nama jalan di mana kelompok ini tinggal. Prapatan 10 sejatinya adalah asrama mahasiswa Ika Daigaku (sekarang Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Salemba).

Ide perguruan tabib modern ini datang pada Agustus 1942 dibawa Soejono Martosewojo dari Surabaya ke Jakarta guna mencari kerja. Ia bersama Eri Soedewo dan juga mahasiswa Jakarta seperti Koestedjo, Kaligis, Imam Soedjoedi, mendesak Mr Soewandi agar Jepang membuka Perguruan Tinggi Kedokteran.

Setelah disetujui, panitia dibelah dua. Satunya mengurus kurikulum, sementara lainnya mengurus pembentukan asrama untuk pondokan mahasiswa baru yang berdatangan dari luar Jakarta dan luar Jawa. Panitia lalu menunjuk bekas gedung Dienst van Volksgezondheid di Prapatan 10—dekat Pasar Senen pada jalan dua arah Prapatan Kwitang—yang bisa menampung 250 mahasiswa.

Di asrama inilah pembangkangan kepada Jepang dan perumusan konsepsi bentuk negara Indonesia digodok mahasiswa.

Buku yang sebelumnya berjudul Mahasiswa ’45 Prapatan 10: Pengabdiannya I ini lumayan mampu mendeskripsikan secara detail suasana dan gerak dalam asrama itu. Di sana tak hanya tumbuh mahasiswa-mahasiswa garang yang kelak menjadi petinggi-petinggi militer, tapi juga intelektual-intelektual berkelas internasional. Dan uniknya, mereka adalah para juru suntik yang dicambuk zaman untuk turut dalam badai revolusi. Mereka memang banyak berkecimpung di lab-lab kimia atau kamar-kamar bedah, tapi juga aktif bertukar pikir masalah politik dan merumuskan bentuk negara Indonesia, rajin menggelar rapat-rapat pembangkangan di selasar-selasar gelap asrama, dan bahkan para juru suntik belia ini turut mempelopori gerakan mahasiswa memanggul bedil.

Di asrama inilah Soedjatmoko yang kelak menjadi salah satu milestones intelektual Indonesia lahir. Ia menjadi salah satu pemikir yang menonjol di antara rekannya. Dan juga keras kepala. Selain menggalang sikap menolak saikeirei, Soedjatmoko—juga Soedarpo—memandu mogok kuliah massal setelah tentara Kompetai secara brutal melakukan penggundulan kepala mahasiswa di ruang-ruang kelas. Sampai-sampai Bung Karno, Bung Hatta, Mas Mansyur, dan Ki Hajar Dewantoro turun tangan menasehati mahasiswa untuk kembali ke kelas. Bung Karno mengingatkan, kalau pemogokan itu diteruskan, akibatnya akan merugikan, bukan saja mahasiswa, tapi nusa dan bangsa.

Namun mahasiswa Prapatan 10 bergeming. Terutama Soedjatmoko dan Soedarpo. Menanggapi dua mahasiswa yang keras kepala ini Bung Karno sempat sewot dan harus menjelaskan panjang lebar kenapa bersikap ko kepada Jepang dan bukan nonko saat menghadapi Belanda. Tak lupa saat hendak pulang, Bung Karno melontarkan pujian kecil kepada kedua mahasiswa Prapatan itu bahwa kelak keduanya menjadi “orang besar”.

Radikalisme mahasiswa itu ternyata sudah lama tercium Jepang. Sewaktu diadakan latihan kemiliteran di Box-laan (sekarang Jalan Prambanan, Menteng), mahasiswa lari kocar-kacir tanpa perintah untuk berteduh dari hujan. Tiga hari setelah peristiwa lari dari barisan itu, belasan aktivis Prapatan ditangkap. Tuduhannya bertambah: turut menyiarkan keluar negeri ulah kejam Jepang menghadapi pemogokan mahasiswa. Separuh boleh melanjutkan kuliah setelah bebas, atau hanya kena skors berhenti kuliah setahun seperti Eri Soedewo. Tapi yang lainnya langsung diusir dari kampus. Termasuk rombongan terakhir ini adalah Soedjatmoko, Soedarpo, dan Koento.

Peristiwa itu begitu memukul Perguruan Tinggi. Namun bukannya mengendurkan radikalisme, malah kian memadatkan dan memupuk kebencian mahasiswa kepada Kompetai. Adalah Dokter Abdulrachman Saleh—kelak gugur dalam kecelakaan pesawat di Lapangan Maguwo Jogjakarta—yang sadar betul “bahaya kuning” itu. Maka secara diam-diam ia menjadi katalisator semangat para pemuda dan mahasiswa agar tetap membina mental dan fisik. Mahasiswa kedokteran menjulukinya “Karbol”. Jika Karbol sebagai bahan kimia digunakan untuk membersihkan benda, maka Abdulrachman Saleh adalah karbol untuk mencuci otak.

Abdurachman Saleh juga yang mengajak mahasiswa suntik itu turun ke kampung-kampung rombeng di Banten Selatan yang menjadi salah cikal program Kuliah Kerja Nyata Universitas. Selain menyebarkan virus nasionalisme, di kampung-kampung itu juga mereka mengajarkan masyarakat untuk hidup sehat dengan persediaan makanan seadanya. Termasuk mencontohkan mengolah bekicot secara sederhana menjadi makanan lezat tanpa bahan kimia.

Namun ada juga yang heboh ketika puluhan ribu romusha dari Bekasi membawa tetanus dan penyakit kejang ke CBZ (sekarang RS Cipto Mangunkusumo), tempat mahasiswa tingkat lanjut kuliah. Ternyata telah terjadi salah suntik (atau istilah kerennya medical crime=malpraktik) yang menyebabkan beberapa dokter yang sekaligus petinggi Ika Daigaku ditahan hingga beberapa di antaranya meninggal dalam penjara.

Kurir Proklamasi dan Konstitusi

Hanya selang dua pekan setelah PM Koisho 7 September 1944 menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia, pentolan-pentolan Prapatan 10 sudah membincangkan bakal bentuk negara, apakah dominion, kerajaan, republik, statenbond, bobdstaat, atau negara kesatuan. Dan mahasiswa ini memilih Negara Kesatuan yang mereka tahu berseberangan dengan pandangan Bung Hatta yang lebih condong pada statenbond.

Maka ketika diadakan ceramah terbuka Bung Hatta ihwal bentuk Negara Indonesia di Deutsches Haus, Gambir Barat (Jl Merdeka Barat sekarang), salah seorang mahasiswa Prapatan 10 mendebatnya sengit dan sinis. Saking dongkolnya sampai-sampai Bung Hatta melontarkan ucapan: “Lebih baik saudara kembali dulu ke bangku sekolah, sudah itu baru debat saya.”

Namun Bung Hatta luluh juga ketika beberapa pentolan aktivis mendatangi kediamannya tengah malam ihwal sikap mayoritas mahasiswa dan pemuda yang menginginkan Negara Kesatuan. “Kalau tidak diambil bentuk negara kesatuan, nanti terulang lagi politik dan taktik devide et impera Belanda,” ujar aktivis Prapatan 10, M Kamal, yang ditunjuk pentolan Menteng 31, Chairul Saleh.

Mahasiswa Prapatan kemudian tak hanya trampil dalam suntik-menyuntik, tapi juga piawai dalam berdiplomasi, membangun kesepahaman dengan pelbagai elemen pemuda lewat sidang-sidang kongres maupun rapat-rapat umum. Sebelum Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) dibentuk, elemen-elemen pemuda sudah melakukan Kongres Pemuda se-Jawa yang menyerukan persiapan diri bagi pelaksanaan Proklamasi. Bersama pemuda Menteng 31, eksponen Prapatan itu melakukan serangkaian rapat gelap dan mencetuskan Gerakan Angkatan Baru Indonesia.

Pada 7 Juni 1945 mahasiswa Ika Daigaku, Yakugaku (Akademi Farmasi), dan Kenkoku Gakuin (Akademi Pemerintahan) menggelar rapat seluruh pemuda pelajar Sekolah menengah Tinggi untuk kemerdekaan Indonesia. Dan atas prakarsa pentolan-pentolan Prapatan rapat itu mengeluarkan tuntutan, selain “Indonesia Merdeka Sekarang Juga”, juga “diadakan latihan militer sempurna bagi pemuda-pelajar.”

Maka mahasiswa juru suntik itu pun memanggul bedil di Daidan I Jagamonyet yang dipimpin Daidancho MR Kasman Singodimedjo. Dan kelak banyak dari mahasiswa ini berpangkat mayor jenderal seperti Eri Soedewo yang juga sekaligus dokter ahli bedah.

Tatkala para pemimpin ragu dalam memproklamasikan kemerdekaan setelah Jepang takluk, dengan caranya sendiri justru mahasiswa dan pemuda-pemuda ini mengambil inisiatif untuk “memaksa” dwitunggal Bung Karno dan Bung Hatta mengambil sikap secepat-cepatnya. Mereka menjadi kurir Proklamasi atau penghubung dengan berkendara Onthel menghubungi setiap pucuk pimpinan yang dicekau was-was oleh suasana tak menentu. Dengan wataknya yang meledak-ledak, eksperimentatif, dan tak banyak pertimbangan, mereka “menyekap” Bung Karno dan Bung Hatta ke luar kota.
Barangkali mereka tak sadar sama sekali bahwa upaya-upaya “nekad” mereka itu telah membangkitkan gairah serupa di Asia dan Afrika dalam membebaskan diri dari belenggu penjajahan.

Buku ini—dan juga buku-buku serupa—adalah album yang merekam bagaimana cara-cara yang dilakukan elemen-elemen di dalamnya tatkala Indonesia berada di tengah jembatan peralihan yang sangat genting.

Sebagaimana diketahui, usai ketegangan jelang Proklamasi dikumandangkan, jam 12.00 siang muncul kekhawatiran yang tak kalah seriusnya, yakni bakal meledaknya friksi dan perpecahan tatkala wakil-wakil PPKI dari Indonesia Timur seperti Dr Ratulangi (Sulawesi), Tadjoedin Noer (Kalimantan), Latuharhary (Maluku), I Ketut Pudja (Bali dan Nusa Tenggara) yang berkumpul di Hotel Des Indes merasa heran dan tak terima dengan beberapa frase dalam konstitusi seperti kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya dan Presiden harus Muslim. Mahasiswa-mahasiswa ini juga yang rela menjadi kurir konstitusi yang memediasi perselisihan di luar perdebatan parlemen.

Bung Hatta berhasil diyakinkan setelah utusan-utusan Indonesia Timur itu mengadakan pertemuan di asrama mahasiswa Prapatan 10. Pada akhirnya sebelum rapat dimulai 18 Agustus, Bung Hatta meminta Mr T Moh Hasan, utusan dari Sumatera, meyakinkan Ki Bagus Hadikusumo supaya “7 kata” dalam Preambule itu diganti. Ki Bagus ternyata bisa diyakinkan Mr Hasan hingga kemudian UUD disahkan.

Buku ini memang berpotensi membesar-besarkan peran mahasiswa yang mangkal di asrama Prapatan 10. Tapi sejarah juga seperti perspektif mata burung; tergantung dari posisi mana mata melihat. Maka sungguh sayang buku ini dinafikan lantaran menyumbang banyak, terutama sekali memperkenalkan kontur-kontur detail di seputar jelang dan sesudah kemerdekaan, atau paling tidak suasana revolusi sedasawarsa (1940-1945) dari sebuah profesi, yakni para juru suntik yang ternyata sangat mahir, jeli, dan cerdas berpolitik, juga kuat memanggul bedil di medan pertempuran.

Judul: Lahirnya Satu Bangsa dan Negara
Penulis: OE Engelen, Aboe Bakar Lubis, dkk
Penerbit: UIP, 1997
Tebal: 483 halaman
[+baca-]

Misteri Tulisan Buruk di Secarik Resep Dokter

Oleh Fadila Fikriani Armadita

Suatu waktu Anda sakit dan pergi ke dokter. Pasti si dokter memberi selembar kertas yang berisi daftar obat apa saja yang harus kita tebus di apotek. Anda mengenalnya dengan resep dokter. Soalnya kemudian nyaris sama yang dihadapi setiap pasien, di mana pun dia berada, bahwa semua tulisan dokter itu tak terbaca saking buruknya.

Maka muncul joke-joke atau bahkan menjadi alamat, jika tulisan tangan Anda di sekolah atau universiteit buruk dan nyaris tak terbaca, pastilah tulisan tangan Anda itu disebut secara spontan sebagai “Tulisan Dokter”. Ada lagi istilah lain untuk menunjuk tulisan acakadut itu: “Tulisan cakar ayam”. Kalau ada “Pondasi cakar ayam”, maka ada “tulisan cakar ayam”. Atau Sulami yang menemukan “pondasi cakar ayam” pertama kali untuk pembangunan Jembatan Semanggi di Jakarta Pusat itu terinspirasi oleh “tulisan cakar ayam” seorang dokter ya? Boleh jadi. Tapi boleh jadi juga ini ‘malpraktik’ karena menghubung-hubungkan sesuatu yang tak berhubungan sama sekali.

Memang tak pernah ada yang tahu penyebab pastinya mengapa ‘tulisan buruk’ itu sudah mentradisi dan siapa pula yang pertama kali dengan ‘jenius’ memperkenalkannya.

dr Ika Dewi Ana, dokter gigi dan staf pengajar di Kedokteran Gigi UGM, menolak disebut tulisannya sangat buruk (ia mengaku tulisannya nyaris sama dengan tulisan arsitek karena rapinya… lho, kok nyerempet ke Pak Sulami). Menurutnya, seumur-umur dia belajar kedokteran, tak pernah ada pelajaran bagaimana trik menulis resep yang buruk di secarik kertas. Yang diketahuinya bahwa semua dokter harus memberikan informasi yang benar, jelas, dan terbuka kepada setiap pasien. Itu saja.

Apa pihak apoteker bisa membaca tulisan resep yang kriting itu? Hmmm bertahun-tahun mereka sudah berhubungan. Pastilah apoteker sudah hapal mati anatomi tulisan yang nyaris tak terbaca itu. Dan penjaga apoteker yang biasanya tulisan tangannya rapi, kerap juga ikut-ikutan buruk.

Ini namanya koinsidensi yang buruk. Untunglah sudah zaman komputer. Tapi salah. Soalnya yang dicetak di komputer hanyalah kuitansi pembayaran. Adapun resep tetap saja ditulis dengan spirit kekritingan yang sempurna.

Atau ini sebuah siasat si dokter dan sudah menjadi legasi tak tertulis agar resep yang ditulisnya tak dipalsu pasien untuk menebus obat tanpa sepengetahunnya; dan jika dipalsu pastilah pihak apoteker yang sudah mengetahui anatomi tulisan cakar ayam dokter itu akan mencium gelagatnya seperti petugas bank yang mengenali betul mana uang palsu dan mana yang asli.

Dan menjadi kian lucu pada suatu saat seorang dokter lulusan luar negeri akan menulis resep dengan tulisan tangan yang sangat bagus malah dicurigai sebagai penipu oleh apoteker karena menyalahi ‘kesepakatan’ yang sudah berurat akar. Hwarakadah.

Nah, ngomong-ngomong soal kesepakatan, di secarik kecil kertas resep itu juga sudah ada ‘aturan’ atau ‘struktur baku’ penulisannya. Dan yang tahu ‘aturan baku’ ini, ya cuma dokter dan apoteker yang ditunjuknya.

Baris pertama resep itu akan tertulis nama obat yang akan diberikan oleh si dokter, tentunya nama obat yang akan diberikan juga disesuaikan dengan penyakit dan baris selanjutnya tertulis petunjuk penggunaan obat: berapa kali obat itu harus diminum, sesudah atau sebelum makan atau berapa banyak obat tersebut harus dikonsumsi, jenis obat; puyer, tablet, sirup, kapsul, atau lainnya. Biasanya jenis obat disebutkan menggunakan kode-kode tertentu yang arti atau maknanya si dokter dan si apoteker sudah sama-sama tahu. Ada lagi beberapa perintah tersembunyi kepada apoteker. Miriplah sandi-sandi dari sebuah ‘gerakan mafia’.

Untuk perintah dan jenis obat biasanya ditulis agak menjaorok dari baris pertama yag berisi nama obat. Itu ditujukan untuk membedakan satu macam obat dengan lainnya. Itulah rahasia di balik penulisan resep.

Namun bukannya penjaga apoteker nyaris tahu semua apa yang dituliskan dokter itu. Apalagi penjaga apotekernya masih culun-culun. Dalam beberapa kali kasus misalnya, tulisan dokter tak jarang mendapat komplain dari apoteker lantaran ‘perintah’ tak jelas. Mereka takut jika ada nama obat yang mirip dan salah-salah mereka memberi obat yang keliru pada pasien bisa fatal akibatnya. Pasti si apoteker ini kelupaan ‘ditraining’ dalam ‘kelas membaca resep’.

Ya, dari komunikasi kedua pihak inilah, si pasien ngeloyor dari apotek dengan menjinjing sekantong plastik obat. Persoalan apa si pasien tahu apa obat yang dibawanya itu sudah sesuai dengan diagnosis penyakit, hanya tiga orang yang tahu: Tuhan, dokter, dan apoteker.
[+baca-]

Jejak Langkahku di Antara Hikayat Diktat Kuliah Dokter

Oleh Mita Hafsah Saraswati

Dua setengah tahun sudah aku belajar menjadi seorang dokter. Tepatnya di salah satu kampus tertua di Indonesia. Selama itu pula aku akrab dengan anatomi tubuh manusia, praktikum, fisiologi, metabolisme, dan banyak lagi. Tak ayal SOBOTTA , buku babonnya anak kedokteran jadi buku rutin yang ku baca. Buku sebanyak dua jilid itu kini berjajar rapi di kamar kosku, bersama buku-buku lainnya.

Sewaktu kecil aku bercita-cita menjadi seorang dokter. Namanya juga anak-anak, keinginan itu sirna begitu saja seiring laju usiaku. Duduk di bangku Sekolah Menengah, cita-citaku berubah. Aku ingin menjadi seorang akuntan, kuliah di jurusan Akuntansi, jika tidak aku ingin menjadi seorang dosen seperti ibuku. Kebetulan ibuku adalah seorang pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI). Sempat juga aku bertekad bersekolah di Fakultas Kedokteran Gigi. Namun keinginanku lagi-lagi kugantung. Cukup unik barangkali seorang dokter gigi justru mencegahku untuk bersekolah sama dengannya. Pelbagai alasan dikemukakannya, yang pada akhirnya membuatku luruh.

Akhir kelas tiga SMU, kebetulan ibuku menggelar sebuah acara di kampusnya semacam promosi jurusan dan memang bidikannya adalah siswa SMU. Ibu sudah wanti-wanti supaya aku bisa datang pada acara di kampusnya. Aku mengiyakan. Bersamaan dengan acara ibuku itu, aku disibukkan dengan kegiatan sekolah. Bukan lupa, hanya saja aku tak bisa meninggalkan kegiatan sekolah. Kawan-kawanku pun demikian, mereka punya kesibukan lain. Akhirnya aku tak datang ke acara ibuku.

Tak kuduga ibu marah besar. Aku hanya bisa diam, tak berani melawan. Sebagai penebusan dosa aku mengalah, biar ibu yang memilih jurusan apa yang kelak aku masuki nanti. Langsung ibu meyuruhku memilih jurusan Akuntansi dan Manajemen, keduanya di UI, tempat ibuku mengajar. Untuk pilihan pertama ibu memintaku memilih Fakultas Kedokteran. Aku turuti mau ibu. Meski aku sempat ragu juga.

Dan sekarang aku diterima dan sudah nyaris tiga tahun aku kuliah di UGM. Kali ini adalah minggu kedua pekuliahanku di blok 16. Di fakultas kami, pelajaran kami tempuh dengan sistem blok. Setiap blok biasanya langsung dihadapkan pada masalah real atau penyakit tertentu. Dari satu penyakit itu, kemudian penanganannya diusahakan dari pelbagai disiplin mata kuliah. Dan itu kami cari sendiri di pelbagai literatur dan bahkan ngelayap ke internet.

Ada tujuh sks di setiap bloknya. Minggu ketiga perkuliahan kami, ujian pun digelar. Saat-saat seperti itulah yang terkadang membuatku pusing tujuh keliling. Buntutnya seusai ujian aku pergi dengan kawan-kawanku. Kebanyakan aku berwisata kuliner, mencoba makanan satu dengan lainnya. Setiap ada warung makan baru, aku tak mau ketinggalan mencobanya.

Pagi biasanya aku pergi ke kampus. Minggu-minggu ini setiap harinya aku masuk pukul tujuh pagi, kecuali hari sabtu. Itu artinya sebelum pukul tujuh aku harus bersiaga. Seperti hari ini, tepat pukul tujuh pagi dosen memasuki ruang kelas. Aku mendengar penjelasan dari dosen. Pagi ini kami belajar tentang metabolisme.

Usai kuliah pagi, aku dan kawan-kawan bertolak menuju Puskesmas Catur Tunggal. Jumlah kami 12 orang. Di sana kami praktek untuk berhadapan langsung dengan pasien. Aku menanyakan tentang keluhan seorang pasien perempuan paruh baya. Kepadaku ia mengeluh kepalanya acapkali gatal-gatal. Aku hanya terbengong mendengar keluhannya. Usut punya usut ternyata si ibu memakai cat rambut, dan itulah yang menjadi penyebab gatal di kepalanya.

Ada-ada saja polah tingkah pasien di puskesmas siang itu. Aku dan kawan-kawan tak kuasa menahan geli tatkala seorang pasien yang sudah masuk ruang periksa, langsung keluar lantaran enggan jika ‘dokternya’ lebih dari satu orang. Di puskesmas kami hanya menanyakan kepada pasien apa keluhannya. Kami melihat dan mencoba meraba bagian yang dirasa sakit, memeriksa dengan menggunakan stetoskop dan kemudian hasil ‘pemeriksaan’ lalu kami serahkan kepada dokter jaga. Kami belum sampai pada tahap memberikan obat. Anehnya si dokter percaya-percaya saja pada hasil pemeriksaan kami tanpa adanya pemeriksaan ulang.

Aku dan kawan-kawanku yang pergi bersama ke puskesmas adalah kawan satu kelompok tutorial. Itu semacam kelompok diskusi resmi yang dibentuk untuk membahas perkuliahan, praktikum, bahkan tak jarang kami pergi bersama untuk sekadar berwisata kuliner. Tak heran keakraban terjalin di antara kami. Bagaimana tidak dalam satu tahun kami ditakdirkan untuk selalu bersama.

Sejak duduk di bangku sekolah menengah aku terbiasa dengan aktivitas di luar kegiatan akademis. Sampai kuliah aku tak bisa menghilangkan begitu saja kebiasaanku itu. Aku tercatat pernah aktif di beberapa organisasi intra kampus. Bahkan sampai sekarang. Meski bukan lagi pengurus, aku masih seringkali bolak-balik mengurusi organisasi yang telah banyak menempa ilmuku selain ilmu-ilmu kedokteran tentunya. Dari organisasi itulah banyak hal yang aku dapatkan. Hari-hariku pun penuh dengan agenda kegiatan. Melelahkan memang. Rasanya aneh jika aku pulang ke kos lebih awal dari biasanya.

Aku juga bergiat di salah satu kelompok studi di kampus. Kami sering menyebutnya Health Study Club (HSC). Di kelompok studi itu aku dan kawan-kawan bergiat menuliskan kembali catatan perkuliahan yang diberikan oleh dosen. Tak jarang kami mengopi transparasi atau power point yang diberikan dosen. Kemudian kami menulis kembali dan membagikannya kepada kawan-kawan yang membutuhkan tentu saja dengan ongkos sebagai ganti photocopy.

Sungguh menyenangkan belajar bersama dengan cara demikian. Tak jarang ketika membuat catatan ulang tersebut aku menggunakan bahasaku sendiri. Bukankah belajar dengan bahasa sendiri membuat kita lebih mudah memahami sesuatu? Paling tidak dari situlah aku belajar menulis.

Meski awalnya berat akhirnya bisa juga aku menjalani kehidupan sebagai seorang calon dokter. Aku bisa juga menikmatinya, meski belum usai jejak langkahku. Setidaknya aku bisa mensyukuri apa yang aku terima saat ini. Seperti yang pernah dijelaskan oleh salah seorang dosenku, dia berkata bahwa bayi yang lahir terbelakang mental, adalah satu di antara seribu bayi yang lahir di Indonesia. Aku bergumam dalam hati seraya bersyukur, aku terlahir normal.

Memang bersekolah di Fakultas Kedokteran sungguh melelahkan. Kurasakan hal itu. Bagaimana tidak, kami dijejali dengan hapalan-hapalan, yang terkadang kami tak tahu apa artinya. Belum lagi kebanyakan dari referensi yang ada berbahasa Inggris. Itulah yang membuat beberapa mahasiswa kedokteran tak tahu dengan lingkungan. Misalnya saja hanya beberapa gelintir mahasiswa kedokteran saja yang tahu soal PP 37 yang diributkan itu.

Aku berusaha untuk mengimbanginya dengan mengikuti berita di televisi. Sembari makan aku mengikuti berita dari televisi. Agar seimbang itu saja. Aku punya tergetan, setidaknya dalam satu bulan aku harus bisa menyelesaikan dua buah buku di luar diktat kuliah.

Keseharianku memang melelahkan tapi setidaknya ada kepuasan terselip di antara lelah. Aku bisa berbuat sesuatu untuk sesama. Aku cukup terharu, ketika gempa 27 Mei lalu, aku menangani beberapa pasien, rata-rata mereka mengucapkan terimakasih dan aku menangkap pancaran kepuasan dari matanya. Meski tugasku hanya mengganti infus.

* Mahasiswa Kedokteran Umum UGM Angkatan 2004 (sebagaimana dituturkannya kepada kontributor I:BOEKOE, Fadila Fikriani Armadita)

[+baca-]

Kalau Miskin, Jangan Coba-coba Sakit

Oleh Muhidin M Dahlan

Buku Orang Miskin Dilarang Sakit ini ditulis dengan tujuan bukan sekadar ancaman, tapi sebuah seruan yang coba membelah sistem dan praktik kapitalisme yang nyaris menggerogoti dunia kedokteran. Dunia ini tak lagi nyaman untuk kredo tempat berhimpunnya wakil Tuhan penolong manusia yang dijerang penyakit, tapi telah mengubah diri menjadi industri niaga raksasa. Karena telah menjadi firma, maka semua aktor dan produk-produknya dinilai semata oleh dua hal: untung dan rugi. Kalau menguntungkan, ambil. Kalau merugikan, buang.

Pasien tak lagi dipandang sebagai manusia, melainkan objek dagang. Darwinisme sosial-ekonomi berlaku di sini. Yang hidup panjang bukanlah yang kuat, tapi yang adaptif. Karena hukum ini, maka dunia kedokteran beradabtasi dengan neoliberalisme yang sedang berkuasa. Karena neoliberalisme kesehatan, maka orang miskin adalah manusia pertama yang akan merasakan pecutannya.

Kesimpulan-kesimpulan itu dipacalkan Eko Prasetyo dengan bahasa seperti orang gila yang berteriak,memukul, dan meracau marah. Miriplah sumpah serapah atau lelangut orang miskin yang ditolak oleh rumah sakit karena petugas jaga yang sudah diseting sedemikian rupa bertanya pertama kali di pintu UGD, bukan kau sakit apa, tapi kau punya uang berapa untuk penyakit kau.

Katakanlah pasien bisa masuk. Namun di sinilah malapetaka itu akan sempurna dialami. Karena pasien akan berhadapan dengan harga-harga obat, biaya kamar, biaya dokter periksa, biaya kamar mandi, dan bahkan kentut pun harus bayar. Bukan saja nyawa hilang karena diserang penyakit jantung dadakan setelah melihat nota bon yang diserahkan kasir, tapi juga kerbau, sawah untuk penyakit yang juga tak pernah sembuh.

Buku ini merangsang orang untuk melihat rumah sakit telah beralih fungsi sedemikian rupa. Jika dulunya rumah sakit adalah seperti rumah ibadah di mana setiap orang masuk ke sana tanpa pandang bulu menjadi tenang oleh karena jiwanya diberkati dan diselamatkan, maka sekarang rumah sakit telah menjadi rumah yang menakutkan. Pada titimangsa inilah kesyahduan yang terpancar dari rumah sakit dan integritas seorang dokter tergadaikan.

Dalam praktik farmasi misalnya, seorang dokter berkomplot sedemikian rupa dan membagi keuntungan dengan perusahaan-perusahaan farmasi yang bersaing ketat dengan catatan sang dokter memberi rekomendasi kepada pasien untuk menebus obat di apoteknya. Praktik seperti itu miriplah kerjasama makelar tanah dengan petugas notaris.

Tugas buku ini adalah berteriak dan mengiba-iba kepada negara agar melindungi warganya yang dicekik sistem kedokteran yang diktator seperti ini. Sebab konstitusi mengamanatkan bahwa hak-hak publik atas warganya yang tak mampu seperti pendidikan dan kesehatan menjadi tanggungan negara. Sementara negara sendiri oleh aparatus pemerintah dan aparatus-aparatus intelektual neoliberal yang mengurung istana dikebiri dan membiarka orang miskin diinjak-injakoleh persaingan yang bukan hanya tak sehat tapi juga tak berimbang.

Dalam teriaknya itu Eko membeberkan data dan fakta-fakta bagaimana brengseknya dunia kedokteran kita dan betapa gagalnya pemerintah mengelola kesehatan masyarakatnya. Entah karena buku ini atau karena desakan kesadaran untuk menjaga vitalitas tubuh masyarakatnya, beberapa kawasan seperti Jakarta terdorong untuk menggratiskan biaya pengobatan bagi warganya.

Tentu itu bukan hanya kebijakan populer sesaat, tapi berkelanjutan dan bisa meluas hingga ke pelosok-pelosok Nusantara. Sebab jika sistem kesehatan ini terus dibiarkan tak beres, itu artinya kita membiarkan penyakit rutin masuk dan leluasa. Dari demam berdarah, malaria, TBC, flu burung, bahkan AIDS. Apalagi penyakit saat ini ternyata menjadi sangat efektif melindungi para koruptor. Tiap sidang akan digelar, dengan cepat mereka sodorkan secarik surat dokter ke para hakim. Secarik tulisan dokter itu sama nilainya dengan surat pengampunan.

Dan orang miskin adalah piramida yang paling sakit dalam sistem kesehatan yang diskriminatif dan diktator seperti ini. Maka Eko mengajak Anda yang pernah jadi korban penanganan salah urus dari dokter atau rumah sakit, untuk: “Ayo, lawan sistem kesehatan yang menindas ini!!!”

Judul: Orang Miskin Dilarang Sakit
Penulis: Eko Prasetyo
Cetakan: I, November 2004
Penerbit: Resist Book, Jogjakarta
Tebal: 145 halaman
[+baca-]

Tahajud Sehat ala Dokter Sholeh

Oleh Muhidin M Dahlan


Nyaris dalam hidupnya, Nabi Muhammad SAW tak pernah ‘berteman’ dengan penyakit-penyakit mematikan yang pernah dikenal manusia seperti jantung, stroke, dan sebagainya. Padahal boleh dibilang ia sangat jarang istirahat. Paling penyakit-penyakit ’sepele’ dan musiman seperti sakit kepala dan demam.

Untuk mengurus umat yang bertebaran banyaknya dan kerap masih saja banyak gangguan oleh kabilah-kabilah yang tak mau akur satu sama lainnya, tidurnya hanyalah beberapa saat saja. Siang jelang salat duhur, ia akan tidur satu jam. Dan malamnya Muhammad akan tidur jam 9 (setelah salat isya, berwasila, dan bercengkerama dengan keluarga) dan bangun jam 2 dini hari untuk mendirikan tahajud hingga subuh. Lalu ia tidur sejenak sampai matahari benar-benar terbit.

Rupanya, fenomena kuatnya fisik Nabi Muhammad ini (bukan hanya berperang di padang pasir, tapi juga bergumul dengan istri-istrinya di atas ranjang) ini yang merangsang dr Sholeh untuk meneliti. Nah, kajian buku ini berusaha menyingkap pola hidup sehat dan kuat ala padang pasir yang dipraktikkan Sang Nabi.

Dokter Sholeh ini memiliki riwayat pendidikan yang tak linier dan fokus. Ia memulai debut pendidikan tingginya dari Fakultas Tarbiyah Universitas IslamTribakti Kediri dan Universitas Muhammadiyah Malang. Lalu magisternya diselesaikan di Fakultas Psikologi IKIP Malang. Adapun program doktoralnya ia ampuh di Fakultas Kedokteran Jurusan Psikoneuromunologi Universitat Airlangga Surabaya.

Sekilas riwayat pendidikan itu tak berhubungan. Nanti relasi itu terlihat berkait erat setelah membaca buku ini. Buku yang menggugah—dan memang berimplikasi pragmatis ini—menautkan tiga disiplin ilmu sekaligus: agama (salat tahajud), psikologi (konstantasi jiwa sewaktu melakukan salat atau buku ini mengistilahkannya ‘niat ikhlas’), dan kedokteran (ketahanan tubuh akibat pengaturan darah yang efektif dan berkelanjutan).

Ketiga ilmu itu kemudian bertemu dalam sebuah laku spiritual yang setiap Muslim pasti tahu dan barangkali pernah melakukannya, walau tak intensif: TAHAJUD. Dari penelitiannya yang dilakukan kepada 19 santri yang sudah terpilih di Pesantren Hidayatullah Surabaya, dr Sholeh mendapatkan bahwa salat tahajud sangat efektif membangun benteng imunologi dan homoeostatis. Namun salat tahajud seperti apa yang bisa demikian itu?

Salat tahajud yang dilandasi—dalam sebuah perkataan Sang Nabi—dengan niat yang ikhlas serta pasrah. Itu bukan retorika agama belaka, melainkan memiliki dampak yang praktis di antara para pengamal tahajud.

Keikhlasan dan ketenangan dalam mendirikan salat berkait erat dengan irama sirkadian yang merupakan elemen penting dalam fisiologis tubuh. Komponen-komponen yang terkait langsung dengan sirkadian adalah pola tidur-bangun, kesiapan bekerja, pengaturan autonomik (sekresi adrenalin, kortisol), proses vegetasi (metabolisme) temperatur tubuh, denyut jantung, dan tekanan darah. Jam kerja biologis irama sirkadian ini secara endogen berjalan 24 jam sehari. Dan akan meningkat pada siang hari (free ergotrofic) dan menurun pada malam hari (fase tropotrofic)

Jika irama ini tak terkelola, biasanya gejala yang muncul adalah gangguan tidur, nyeri perut, nyeri ulu hati, tidak ada nafsu makan, badan terasa lemah, merasa sangat lelah, gangguan saluran pernapasan. Gejala itu biasanya dialami para pekerja shift malam. Gejala serupa juga dirasakan beberapa pengamal salat tahajud.

Hal itu terjadi dikarenakan para pengamal tahajud tak berhasil beradabtasi dengan perubahan irama sirkadian. Gangguan adaptasi ini ditunjukkan dari gambaran kortisol yang seharusnya menurun pada malam hari, namun karena malam hari melakukan aktivitas tahajud, maka hormon kortisol tetap tinggi. Ketakstabilan homeostatis itu kemudian memicu stres diakibatkan meningkatnya ACTH.

Sudah dari sono-nya irama biologis dari ACTH dan kortisol berkolerasi dengan suasana terang dan gelap. Pada malam hari di mana kondisi gelap, maka terjadi penurunan ACTH dan kortisol. Biasanya kadar terendahnya antara jam 00.00-02.00. Dan pada jam-jam itu juga tahajud dianjurkan.

Dalam konteks kerja-kerja adabtasi, dr Sholeh mengatakan bahwa dalam sistem tubuh manusia dikaruniai kerja-kerja prevensi. Upaya itu di antaranya melalui coping mechanism. Proses terjadinya coping ini dapat dilihat dari upaya penyesuaian diri dan proses belajar dan mengingat. Dalam proses penyesuaian diri ini akan timbul suatu bentuk habituasi atau sensitasi.

Bila pengamal salat tahajud itu bisa beradabtasi dan memiliki coping yang efektif, maka perubahan irama sirkadian diterima sebagai simulator untuk berprestasi. Sebaliknya jika gagal beradabtasi dan coping tak efektif, perubahan irama sirkadian akan diterima sebagai tekanan yang rentan terhadap infeksi dan kanker.

Nah, salat tahajud yang dijalankan dengan penuh kesungguhan, khusuk, tepat, ikhlas, dan berkelanjutan, diduga dapat menumbuhkan persepsi dan motivasi positif serta mengefektifkan coping. Gejala yang bisa dilihat adalah bahwa pengamal salat tahajud itu akan menghadapi hidup secara realistis dan optimis serta tetap bersikap konstruktif. Sebaliknya, ketakikhlasan hanya akan menimbulkan kekecewaan, kecemasan, presepsi negatif, dan rasa tertekan.

Ketenangan atau racauan atau negatif atau positifnya persepsi bisa diukur dari besaran kortisol darah yang bekerja. Jika kortisol darahnya tetap rendah dan stabil, maka dipastikan bahwa kekhusukan salat tahajud tercapai. Begitu pula sebaliknya. Jadi, tolak ukur dari niat ikhlas itu adalah bilangan kortisol.

Dan makna ikhlas itu sudah tersirat abadi dari sebuah pasase kitab suci: “Salatku, ibadahku, hidupku dan matiku,hanya diperuntukkan kepada Allah SWT” (Qs 6:162)

Mau hidup sehat dan kuat ala Sang Nabi, dirikanlah tahajud. Tapi syaratnya ya itu tadi, ikhlas, khusyuk, dan berkelanjutan.

Judul: Tahajud, Manfaat Praktis Ditinjau dari Ilmu Kedokteran
Penulis: Moh Sholeh
Cetakan: April 2001
Penerbit: Pustaka Pelajar, Jogjakarta
Tebal: xxvii+250 halaman
[+baca-]

Membelah Perut Pun Ada Seninya

Oleh Fadila Fikriani Armadita

Ini bukan pelajaran praktik bagaimana membunuh dengan sebilah pisau dan mencincang peurt sang korban. Ini adalah buku ajar seorang calon dokter bagaimana seni melakukan bedah terhadap tubuh manusia. Sama-sama melakukan ‘mutilasi’ atau mencincang tubuh manusia, namun pembunuh melakukannya dengan cara yang sembrono, sementara sang (calon) dokter melakukannya dengan prosedur dan aturan yang ketat.

Ilmu bedah memiliki sejarah kemunculannya bersamaan dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan. Itulah yang ditulis dalam bagian awal buku ini. Fielding H. Barisson dalam buku ini mencatat setidaknya ada tiga nama yang pantas disebut dalam sejarah ilmu beda mula-mula. Mereka adalah Ambroise Pare, John Hunter, dan Joseph Lister. Dari ketiganya ilmu bedah di kenal di seluruh dunia.

Bagian awal buku ini menyoroti dan meriwayatkan para ahli bedah terkemuka serta mereka yang punya andil besar pada asal mula sampai pada perkembangan ilmu bedah itu sendiri.

Natal 1809, di sebuah pedesaan yang lengang Kentucky Mc Dowwel berhasil mengeluarkan tumor ovarium yang ukurannya lumayan besar dari rahim seorang pasien, dan operasi itu cukup berhasil. Tebukti dengan pulihnya si pasien tanpa adanya gangguan dan dapat bertahan hidup bertahun-tahun kemudian. Mc Dowwel adalah contoh dari dokter yang berhasil melakukan praktek bedah pada masa awal kemunculannya.

Selain bercerita tentang sejarah dan perkembangan ilmu bedah dalam buku ini juga dijelaskan berbagai hal yang terkait dengan pembedahan sebelum masuk pada praktek atau tatacara pembedahan itu sendiri.

Sudah semestinya dokter mengetahu setiap inchi tubuh manusia. Pun buku ini menjelaskan secara detail setiap inci tubuh manusia sampai pada bagian yang tak tertangkap oleh mata telanjang. Mereka juga mesti tahu berapa volume cairan normal yang semestinya ada dalam tubuh manusia; bukan saja yang berbentuk air tetapi ada batas normal volume darah yang dimiliki. Di situ baru diketahui apa seseorang bisa menjalani operasi atau tidak. Jika ada yang tidak sesuai dengan jumlah volume, maka seseorang bisa gagal menjalani pembedahan.

Barangkali ada benarnya pepatah yang mengatakan kalau pengalaman adalah guru terbaik. Beberapa hal yang dilakukan praoperasi bukan saja persiapan secara fisik saja, pemeriksaan secara mental pun mutlak diperlukan. Itulah yang kemudian disebut komunikasi antardokter dan pasien. Jika fase ini tak dilakukan bisa fatal akibatnya.

Bedah adalah pelajaran ‘seni’ bagi orang kedokteran. Yang diperlukan bukan hanya ketelitian dan pengetahuan tentangnya tetapi juga komunikasi antar dokter dan pasien, salah-salah bisa terjadi kekeliruan atau kesalahpahaman. Pasien haruslah benar-benar mengerti apa penyakitnya dan kenapa ia harus menjalani pembedahan.

Ibaratnya jika kita hendak mengganti sparepart motor, kita harus benar-benar tahu pasti bagian mana yang mesti diganti atau diservis. Jika harus diganti kita harus benar-benar tahu apa yang membuat bagian tersebut diganti.

Penderita anemia, atau kekurangan darah misalnya. Pasien yang mengidap anemia tak bisa langsung menjalankan pembedahan tanpa adanya persiapan khusus. Penderita anemia memiliki risiko yang cukup tinggi, maka diperlukan persediaan darah yang cukup banyak.

Buku Ajar Bedah ini juga memberikan secara jelas bagian-bagian tubuh manusia, serta pengobatannya. Disertai beberapa gambar selaku penguat pada uraian tentang proses bedah dan bagian-bagian apa saja yang dibisa dibedah. Buku ini juga menjelaskan setiap bagian tubuh yang dibedah beserta pengobatan, dan langkah-langkah apa saja yang seharusnya dilakukan pascaoperasi.

Dalam dunia bedah bukan saja ilmu yang harus dikuasai akan tetapi juga pengalaman, yang lebih penting dari semuanya Tuhan yang menentukan. Seperti yang diujarkan oleh Joseph Lister, satu di antara tiga ahli bedah yang cukup mendunia. Ahli bedah Prancis ini berkata dalam bahasa Prancis, “ Je le pansay,m Dieu le Guarit (Saya yang membaut, Tuhan yang menyembuhkannya).

Judul: Buku Ajar Bedah
Penulis : Sabiston
Penerbit: EGC Penerbit Buku Kedokteran
Cetakan: Kedua, 1995
[+baca-]

Peta Dunia di Sekujur Tubuh Manusia

Oleh Fadila Fikriani Armadita

Buku Sobotta adalah kitab wajib mahasiswa kedokteran. Hampir semua mahasiswa kedokteran memiliki dan menggunakannya sebagai buku babon dari awal perkuliahan sampai selesai. Bahkan mereka yang sudah menjadi seorang dokter pun masih menggunakan buku ini.

Berbicara tentang atlas pikiran kita akan melayang pada sebuah buku yang menggambarkan peta dunia, atau suatu kawasan secara detail dan terperinci.

Anda pasti sudah pernah melihat peta, atau mungkin mempelajarinya. Apa yang ada lihat? Suatu daerah lengkap dengan ibukota, kabupaten, kotamadya, sungai, gunung, atau mungkin ada danau, pantai barangkali. Bahkan peta sebuah kota, di sana akan lengkap dengan jalan-jalan protokol, kecamatan, kelurahan, dan sampai ke tingkat kampung atau dusun.

Ilustrasi di atas hanya suatu perumpaan, tentunya Sobotta tak akan berbicara mengenai letak kota, kabupaten, ataupun sungai. Sebab Sobotta bukan berisi mata pelajaran geografi. Membuka Sobotta seolah kita dituntun menyusun seluruh bagian tubuh manusia mulai dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.

Buku ini terdiri atas dua bagian. Bagian pertama kita akan diajak menyusur bagian Kepala, Leher, dan Ekstrimitas Atas. Pada bagian kepala misalnya, kita akan tahu secara detail apa saja isi kepala manusia. Syaraf-syaraf yang menghubungkan antara satu bagian dengan bagian lainnya. Syaraf-syaraf itu bisa diibaratkan jalan pada peta yang seringkali kita lihat. Sementara bagian-bagian kepala adalah kota-kota yang ada pada suatu daerah. Pun tulang-tulang tempat melekatnya daging digambarkn jelas pada buku ini.

Kepala dalam buku ini tak hanya digambarkan sebuah kepala yang utuh, tetapi sampai pada hidung, mata, mulut, dan juga telinga. Pada bagian mulut misalnya, digambarkan mirip dengan asliya demikian pula dengan warna yang digunakan. Apa saja isi mulut, lidah, gigi, bahkan sampai ke bagian gusi. Mata dan hidung pun digambarkan secara detail, sampai ke bagian paling kecil sekalipun.

Tak cuma bagian ataupun syaraf yang menghubungkan antar bagian, buku ini juga berisi tentang penjelasan dari gambar yang ada serta fungsi-fungsi dari setiap bagian yang ada.

Sementara pada bagian kedua buku ini, menggambarkan bagian tubuh mulai dari batang badan, panggul, sampai pada ekstrimitas bawah. Tak lupa peredaran darah pun digambarkan sejak dipompa pertama kali oleh jantung.

Proses pengeluaran kotoran pun dijelaskan secara detail di buku ini. Pencernaan makanan melalui usus-usus yang melilit di bagian tubuh manusia. Apalagi buku ini sengaja di buat berwarna dan pewarnaannya pun hampir sama dengan bagian tubuh manusia. Kulit misalnya, pada buku itu kulit digambarkan sesuai warna kulit pada umumnya.

Barangkali ini memang buku wajibnya anak kedokteran, sudah selayaknya seorang dokter mengetahu detail setiap inci tubuh manusia, bahkan yang tersembunyi sekalipun.

Judul: Atlas Anatomi Tubuh Manusia SOBOTTA
Penyunting: R. Putz dan R. Pabst
Penerbit: EGC Penerbit Buku Kedokteran
Cetakan: 2000
[+baca-]

Dokter Juga Punya Kamus

Oleh Fadila Fikriani Armadita

Ilmu pengetahuan terus berkembang. Pun istilah-istilah di setiap bidang garap. Dunia medis tentunya tak ketinggalan beranjak menuju perkembangan zaman. Banyak istilah yang hampir setiap zaman muncul mulai dari istilah bedah, anatomi, kedokteran klinis, kedokteran laboratorium. Istilah kedokteran kebanyakan muncul dari bahasa Yunani dan Latin.

Istilah kedokteran yang banyak diambil dari bahasa Yunani, menggabungkan dua suku kata menjadi satu dan memiliki satu arti. Misalnya istilah adenomalacia, yang berasal dari kata adeno+mala yang memiliki arti pelunakan abnormal pada kelenjar.

Secara universal, kamus kedokteran tak jauh berbeda dari kamus-kamus lainnya. Tentu saja kamus ini memuat hal-ihwal yang terkait dengan dunia kedokteran dari zaman tradisional sampai istilah kedokteran zaman modern. Seperti halnya kamus lainnya, lema kamus kedokteran disusun berdasarkan abjad, berurutan dari A sampai Z. Hanya saja yang membedakan kamus ini dengan kamus lainnya, seperti kamus Bahasa Indonesia, di kamus ini terdapat gambar untuk menunjukkan istilah yang termaktub dalam kamus. Tak semua bagian diberi gambar. Hanya beberapa lema yang memang menjadi kunci dan menarik banyak lema lainnya.

Pada kamus kedokteran ini suatu istilah dijabarkan sampai pada bagian terkecil istilah tersebut. Misalnya saja lema area. Dalam kamus area diartikan suatu ruang tertentu; istilah umum yang digunakan dalam tata nama anatomi untuk menunjukkan permukaan atau daerah fungsional yang spesifik.

Kemudian di bawah kata area dijelaskan lebih rinci hal-hal yang memiliki keterkaitan dengan area, lengkap mulai dari A-Z.

Kamus kedokteran tampaknya wajib dipakai oleh mereka yang berkutat pada dunia kedehatan. Meski pada buku-buku kedokteran atau kesehatan sudah dijelaskan secara runtut pengertian dari suatu istilah, kamus kedokteran selalu dibutuhkan. Bukan saja oleh mereka yang berkecimpung di dunia kedokteran, mereka yang tertarik ingin mengetahui dunia kedokteran pun bisa menggunakan kamus ini sebagai referensi.

Setidaknya kamus ini mempermudah bagi mereka merasa kesulitan ketika belajar tentang teori kedokteran atau menemukan kata sukar dan istilah yang asing. Kitab yang tebalnya bukan kepalang ini akan membantu dalam pembelajaran dunia kesehatan secara umum. Di sini, alamat bahasa semesta kedokteran dihampar.


Judul: Kamus Kedokteran
Penulis : Dorland
Penerbit: EGC Penerbit Buku Kedokteran
Cetakan: ke-29, 2000
[+baca-]

“Dokter tak Mau Lagi Membaca, Tak Mau Lagi Bertanya Pada Buku”

Oleh Fadila Fikriani Armadita, Muhidin M Dahlan, Rhoma Arya Dwi Yuliantri

Ika Dewi Ana adalah doktor lulusan Universitas Kyushu, Jepang, dengan bidang keilmuan Teknologi dan Rekayasa Susbstitusi Tulang yang secara khusus konsentrasi pada Nanobioceramics. Pernah mendapatkan penghargaan sebagai The Most Outstanding Research Presentation” dalam Pertemuan Ahli Biokeramik se-Asia di Jepang (2003) dan penghargaan sebagai “Peneliti Inovatif Terbaik Universitas Gadjah Mada” (2004).

Selain mengajar di Fakultas Kedokteran Gigi, UGM, Ika Dewi Ana juga melakukan penelitian tentang sel dan tulang setelah proposalnya disetujui dalam Scientific Program Indonesia-Netherlands yang diselenggarakan The Royal Netherlands Academie of Arts and Science. Dalam program saban tahun ini, ada 6 proposal yang dipilih untuk Award Spin dari semua bidang ilmu untuk melakukan riset selama dua tahun. Judul yang diajukan Ika Dewi Ana dan diterima adalah “Development of Injectable Carbonate Apatite based on Phasetransformation of Gypsum and Calcium Hydroxide”.

Walau seorang dokter, Ika Dewi Ana adalah seorang penulis dengan minat pusparagam. Semasa mahasiswa ia pernah ikut bergiat di Majalah Mahasiswa UGM Balairung dan selama menyelesaikan program doktornya di Universitas Kyushu, Jepang, ia merintis penerbitan InFos,majalah mahasiswa asing di Fukuoka.

Pada 2002 Ika diminta secara khusus menjadi kontributor situs berita detik.com sebagai peliput sepakbola Piala Dunia 2002. Disela-sela kesibukannya sebagai dokter, Ika Dewi masih bisa menulis cerita-cerita pendek dan beberapa kisar perjalanan studinya. Buku catatan pengalaman belajarnya yang sudah terbit adalah: Tuntutlah Ilmu sampai ke Nippon (2006)

I : Pentingkah seorang dokter menulis?
IDA: Saya kira tidak hanya seorang dokter tetapi setiap orang yang berkecimpung dalam suatu profesi dia penting untuk mengkomunikasikan apa yang dihadapinya sehari-hari. Apalagi kalau itu menyangkut hal yang kira-kira jadi pertanyaan bagi orang banyak yang bermanfaat bagi orang banyak, saya kira perlu dan saya pikir di negara kita sepertinya kita lebih banyak pada budaya dengar daripada menulis yang mestinya harus dikembangkan.Dengan menulis itu kan kita dilatih untuk cermat, hari-hati, daripada budaya bicara atau budaya dengar. Itu kalau menurut saya pribadi.

I: Kalau di laboratorium apa saja yang dilakukan seorang dokter?
IDA: Itu beda-beda. Kalau saya sendiri sepulang dari Jepang, saya mengembangkan 4 macam bahan yang saya buat di lab, yang intinya digunakan untuk sementasi tengkorak seperti lem, untuk keretakan tulang, tengkorak, jaringan keras. Seperti gitulah. Di Indonesia saya coba kembangkan bahan pengganti tulang itu sendiri. Nah yang saya lakukan pertama jelas uji bahan itu sendiri bagaimana sih bahan tersebut bisa menjadi bahan pengganti tulang kemudian kalau sudah berhasil, saya harus menguji sel-sel itu dan mencari yang cocok. Waktu itu saya membeli sel dari Amerika, tapi ternyata hidupnya nggak bagus. Lalu saya mencoba mengambilnya dari tikus. Pertama-tama tikus itu saya bius pelan-pelan dengan cara yang sangat halus dia tidak boleh merasakan sakit. Setelah kita bius dibuka bagian kaki, kita potong, ambil tulangnya, kemudian kita cocok-cocokan. Lalu dari situ keluarlah yang namanya sel-sel pembentuk tulang. Dari sel itulah kita kembangkan. Setelah berkembang sedemikian rupa, sel itu kita pakai untuk mencoba bahan yang sudah dibuat apakah sel tersebut cocok tidak, apakah sel-sel tersebut bisa berkembang tidak, apakah bisa mengalami mineralisasi membentuk sel-sel tulang, membentuk sesuatu yang persis dengan tulang. Kira-kira kerja di lab semacam itu. Tentunya bidang satu dengan dengan bidang lainnya berbeda seperti uji kanker, cloning, dsb.

I: Dengan cara apa dokter mempublikasikan hasil penelitiannya?
IDA: Yang namanya penelitian tentu saja untuk dikomunikasikan. Bentuk publikasinya macam-macam.Pertama lewat tahap ceramah, tapi nantinya harus dengan publikasi ilmiah, levelnya harus meningkat terus dari hari ke hari.

I: Setelah meneliti apakah setiap dokter memiliki catatan kerja. Maksud saya dengan cara apa seorang dokter mencatat hasil-hasil penelitiannya?
IDA: Saya kira ada. Catatan riset itu bernama log book. Ini catatan rinci dari hari ke hari bahkan jamnya harus jelas. Kita tuliskan, misalnya tanggal 15 November 2006, saya melakukan apa mencampurkan zat apa dengan apa, berakhir pukul berapa. Semuanya ini harus kita catat, cara kerjanya bagaimana, apa yang terjadi dan ini ggak boleh disobek.

I: Siapa yang melarang menyobek?
IDA: Biasanya pemberi dana akan mensyaratkan log book. Kalau ada kesalahan, kita hanya boleh mencoret saja kita gak boleh menyobeknya. Ini semua akan digunakan untuk proses pematenan penemuan. Para penguji akan tahu dari sini apa saya mengerjakan semua itu dengan prosedur yang betul. Untuk orang lain ini untuk pertanggungjawaban. Kesalahan apa yang pernah terjadi harus tercatat secara rinci. Ini untuk saya pribadi karena saya harus menulis publikasi berdasarkan ini.

I: Semua peneliti harus punya?
IDA: Seharusnya punya.

I: Seberapa banyak peneliti khususnya di lingkungan kedokteran yang mempublikasikan hasil penelitian dengan cara yang mudah dipahami?
IDA: Saya rasa sekarang ini kebanyakn peneliti masih berbicara di lingkungan sendiri, belum ada yang menuliskannya secara popular dipahami orang lain. Sangat sedikit.

I: Kira-kira siapa saja itu?
IDA: Misalnya Pak Bambang Hidayat. Beliau itu astronom. Dia menjelaskan tentang fenomena alam secara popular. Kalau dulu ada Otto Sumarwoto. Di dunia kedokteran ada Teuku Jacob. Saya paling senang tulisan Pak Jacob. Dia menjelaskan dunia kedokteran dengan gaya populer.

I: Bisa Bu Ika sebut sebuah pengalaman bagaimana Anda pertama kali dilatih oleh seseorang menulis?
IDA: Sejak SMP saya memang sudah menulis. Kalau sewaktu mahasiswa saya ingat betul pada seorang fisikawan di UGM. Dia Pak Seno. Itu guru saya. Kalau saya ke lab-nya biasanya untuk pinjam bukunya. Maklum, saya adalah ‘murid’ kesayangannya. Nah, kalau mau pinjam buku saya disuruh nyapu dulu. Setelah nyapu barulah bisa pinjam bukunya. Tak lupa Pak Seno berpesan: Kamu harus menulis. Tunjukan tulisanmu kalau kamu ke sini lagi. Dari situ akhirnya saya mencoba menulis di Harian Bernas. Meski dulunya sudah pernah menulis, tapi sekarang mulai agak terarah. Itu dari Pak Seno. Dia itu bisa menjelaskan fenomena fisika dengan wayang. Jadi mislanya ketika Bima mencari air purwitasari yang dijelaskannya dengan melihat keterkaitan musim, cuaca, dan ketersediaan debit air.

I: Kembali lagi ke titik semula. Mengapa jumlah dokter menulis sangat sedikit. Letak soalnya ada di mana?
IDA: Saya susah juga menganalisisnya. Seperti yang saya kemukakan tadi budaya kita masih budaya dengar, bukan budaya menulis. Di kalangan mahasiswa saja untuk menulis sepertinya berat sekali. Saya pernah mencoba di satu kelas yang saya ampuh. Oh ya, di kedokteran gigi itu saya mengajar mata kuliah Pengecoran Logam. Di situ saya suruh mereka untuk menganalisis apa penyebab kegagalan, mengapa begini dan mengapa begitu. Tulisannya saya bebaskan bentuknya. Dan hasilnya bagus lho. Jadi menurut saya memang ini soal lingkungan yang tak merangsang orang untuk menulis dan menuangkan apa yang dilihatnya secara bebas.

I: Terkait dengan kultur dan lingkungan pendidikan, barangkali baik juga kalau kita melongok sebentar ke seberang. Bisa diterangkan secara ringkas, bagaimana tradisi pendidikan di Jepang setelah sebelumnya lima tahun Bu Ika belajar di sana?
IDA: Ya, kultur menulis dan meneliti itu memang soal pendidikan. Dan itu sudah dimulai sejak di bangku SD. Di Jepang, anak-anak SD ketika libur musim panas diberi bibit bunga yang sama kemudian ditanam dalam sebuah pot. Masing-masing anak disuruh membawa tanaman itu ke rumah untuk menyiram dan merawatnya. Mereka tidak hanya mengukur tinggi tanaman, tapi juga mencatat apa saja yang terjadi. O, pada hari ini, tanggal sekian, hari libur ke berapa, dilihat o yang tumbuh bunganya warnanya ungu; yang lain menulis: o… bunganya putih. Padahal benih yang diberi benih yang sama. Dari situ mereka bisa belajar mengamati dan sekaligus menuliskan apa yang mereka lihat di atas kertas. Saya masih punya contohnya yang punya anak pertama saya, Neta. Tapi huruf kanji semua lho tulisannya. Nah, sewaktu tiba hari sekolah mereka diminta untuk bercerita. Jadi, tradisi itu memang harus dipupuk sedari SD. Kalau di sekolah dasar di sini kan sangat jauh berbeda. Di sini banyak hapalnya. Pengalaman anak saya Neta misalnya setelah pindah di sini. Pada pelajaran PPKN ada pertanyaan di ulangan umum: Apa yang kamu lakukan kalau kawanmu jadi juara kelas. Dijawab oleh anak saya: Belajar lebih giat. Eh, disalahkan oleh gurunya. Yang benar jawabannya, kata gurunya, memberi ucapan selamat. Di Jepang itu, kalau melihat orang yang lebih maju kita dituntut untuk belajar lebih giat. Ada lagi pertanyaan yang lain: Kapan kamu memakai baju bagus. Nah,pengertian anak saya baju yang bagus itu adalah bersih, rapi, sopan. Dijawablah oleh anak saya: Saya akan memakai baju bagus setiap saat. Jawaban itu disalahkan oleh gurunya. Kata gurunya, baju bagus dikenakan saat ke pesta. Itu sesuatu yang mematikan kreatiitas, olah rasa. Semuanya serba mekanistis.

I: Kalau di Eropa sendiri?
IDA: Hampir sama dengan di Jepang, mereka di ajari untuk mengamati berbagai hal yang kecil-kecil. Mengamati dan menulis kondisi kawannya dan peristiwa yang ada di sekitarnya. Saya melihat mahasiswa di Eropa, bukan hanya menulis, tapi juga melukis. Seni itu penting sekali di sana. Jadi otak kiri dan kanan itu sama-sama dikembangkan.

I: Kembali ke soal log book tadi. Dari melihat buku yang disusun dengan jaringan yang sangat detail itu, bisa disimpulkan bahwa kerja seorang dokter adalah juga seperti kerja seorang novelis yang membeber detail-detail dalam semesta penceritaan. Kalau di tangan seorang dokter, apa tak bisa log book yang berbahasa ilmiah murni itu dikembangkan dalam bentuk tulisan esai misalnya?
IDA: Kalau saya sebenarnya yang biasa saya lakukan selalu ada dua. Pertama publikasi untuk lingkungan saya sendiri, yang sudah ada patokannya mulai dari pengantar, metode, hasil. Tapi saya juga mencoba untuk mempublikasikannya secara populer.

I: Di lingkungan kerja Bu Ika seberapa besar jumlah dokter yang juga peneliti?
IDA: Banyak.

I: Kalau dokter yang peneliti plus yang penulis?
IDA: Wah kalau itu saya nggak tahu jumlah pastinya, tapi sepertinya sedikit sekali.

I: Itu apa penyebabnya?
IDA: Wah saya nggak tahu juga. Barangkali itu tadi karena kita terbiasa segala sesuatunya serba mekanistis dan tidak berani untuk melawan arus.

I: Sebenarnya apa yang dibaca oleh dokter?
IDA: Wah banyak sekali, dari buku ilmiah sampai buku porno. Tapi ada juga dokter yang tidak mau lagi membaca lho. Ini ada kisah nyata yang bagus ayng dilakukan tahun-tahun sebelum saya ke Jepang. Penelitian itu adalah kerjasama Indonesia dan Australia. Dari Indonesia diwakili oleh Clinical Epidemiology and Biostatistics Unit (CEBU) yang dipusatkan di RS Sardjito Jogjakarta, sementara Australia diwakili oleh Australian National University (ANU). Penelitian tersebut ditujukan kepada dokter dan perawat. Salah satu pertanyaannya adalah tentang pemakaian jarum suntik. Dan jawaban yang diperoleh berbeda-beda. Ada yang bilang dibuka plastiknya, tutupnya yang kencang dibuka, obatnya diambil, lalu ditutup lagi, disuntikkan, ditutup lagi, lalu setelah itu dibuang. Macam-macam jawabannya. Setelah itu dikelompokkan untuk focus group discussion. Di situ dipanggil setiap perwakilan kelompok dan ditanya dari mana tahunya jawaban itu. Mengapa bisa berbeda satu dengan lainnya. Lalu ada yang bilang dari seniornya, ada yang menyebut dari dosennya, bahkan ada yang mengatakan karena dia biasa melihat orang melakukan seperti itu. Tak ada seorang pun dari dokter itu yang merujuk pada buku referensi. Fasilitator lalu bertanya kepada semuanya pernahkah membaca buku WHO Precaution. Mereka semua hanya melongo dan tak satu pun tahu buku itu; apalagi isinya. Lalu peneliti itu menerangkan bahwa di dalam buku itu ada petunjuk cara pemakaian jarum suntik yang benar. Caranya, setelah dipakai jarum itu tak boleh ditutup lagi tapi dibuang pada tempat yang berbeda-beda. Soalnya, kalau ditutup lagi dan Anda berada di ruang gawat darurat, sedangkan yang datang itu barangkali mengidap penyakit berbahaya, kan jarum suntik itu bisa terpakai lagi gara-gara Anda buru-buru. Jadi, semua petunjuk itu ada pada buku. Jadi, dokter tak mau lagi membaca, tak mau lagi bertanya pada buku.

I: Bu Ika, ini pertanyaan kecil tentang sesuatu yang sepele. Kenapa tulisan dokter jelek?
IDA: Tulisan saya bagus lho! Hehehehe. Malahan karena tulisan saya ada teman yang ngeledek bahwa Bu Ika ini tak cocok jadi dokter, tapi seorang arsitek, gara-gara tulisan tangan saya. Kalau tulisan dokter itu jelek, saya nggak tahu pasti ya. Namun sebenernya nggak ada aturan untuk menjelek-jelekan tulisan. Saya kira itu mitos. Kuncinya yang pasti adalah bahwa seorang pasien harus tahu betul apa yang diberikan kepada dia.

I: Jika Bu Ika menulis tentang kedokteran, jenis tulisan apa yang akan dipilih?
IDA: Saya akan menulis feature. Tentu saja itu berdasarkan referensi, catatan harian, atau apalah. Mungkin jurnalisme ketaksadaran. Jurnalisme jenis ketika menulis seperti orang mabuk. Tapi orang mabuk yang bisa dipahami orang. Sesuatu yang sedang kita tulis tapi melahirkan sesuatu yang lainnya. Kejadian itu berlangsung tanpa kita sendiri menyadarinya. Itulah jurnalisme ketaksadaran yang saya pahami. Misalnya, ketika saya menjelaskan tentang tulang, tentang sel, tentang dunia kedokteran, sebetulnya saya sedang menjelaskan tentang eksistensi manusia. Hal-hal seperti itulah yang masuk dalam jurnalisme ketaksadaran. Menangkap koneksi-koneksi tersembunyi yang terjadi di alam.

I: Lima buku yang paling disukai Bu Ika?
IDA: Pergolakan Pemikiran Islam-nya Ahmad Wahib. Buku itu saya sudah baca pada saat saya duduk di SMP V Jogja. Nah, dari buku itu saya bisa tahu tentang keseharian kita ternyata bisa juga berguna bagi orang lain. Kemudian Emak karyanya Daoed Jusuf. Dia bisa menceritakan pemikiran emaknya yang sederhana melalui cara yang sangat filosofis. Ada juga triloginya James Redfield: The Celestine Prophecy, The Tenth Insight, dan The Secret of Shambala. Dia itu seorang psikiater dan menuliskan petualangan tokohnya dengan sangat menarik dan menjelaskan secara baik pula apa yang disebut pemikiran significant coinsidence.

I: Penulis yang paling disukai?
IDA: Teuku Jacob, dia sangat bagus menjelaskan fenomena sosial, fenomena alam, dan sebagainya.

I: Kalau buku ilmu pengetahuan?
IDA: Saya kira buku The Turning Point-nya Fritjof Capra. Ada lagi Mandelbrot, penulis buku Fractal Geometry.

I: Oke Bu Ika San. Terimakasih banyak atas percakapannya.
IDA: Sama-sama. Silakan… silakan dicicipi kuenya.

[+baca-]