Sabtu, 21 Juli 2007

Omi Rebah di Keharibaan Sunyi

Oleh Muhidin M Dahlan


Song of Silence. Judul artikel yang ditulisnya sekira 2004 itu menjadi kunci dari keseluruhan putaran hidup Omi Intan Naomi. Ia tutup buku tutup katalog di Rumah Sakit Bethesda Jogjakarta pada 5 November 2006 pukul 19.40.

Nama yang lahir pada 26 Oktober 1970 di Denpasar ini memang pernah menghentak publik dan deretan penulis kebudayaan Indonesia. Tulisan-tulisannya tajam. Ia munculkan kosakata kebudayaan yang diasupnya dari bacaan luas. Tatkala menerjemahkan, penulis buku asli seakan lenyap; karena kita membaca buku terjemahan itu seperti membaca buku dan karakter tulis/pikir keseluruhan Omi sendiri. Dan Omi, suka sekali mengurung dan membubuh tanda petik pada banyak kata bersayap. Ciri itu menandai bahwa Omi adalah salah satu anak kandung (wacana) kebudayaan pascamodernisme.

Omi adalah penulis budaya yang tangguh dan bertalenta. Mungkin titisan ayahnya yang juga seorang budayawan dan penyair terkemuka, Darmanto Jatman. Tapi sekiranya ini kita tanyakan kepadanya, Omi pasti berontak. Karena menulis bukan soal genitas melainkan usaha berdarah-darah, walau tak bisa dimungkiri faktor lingkungan turut membesarkannya.

Ia pilih jurusan komunikasi di Universitas Gadjah Mada. Ia memang kemudian tak menjadi wartawan profesional atau pegawai telekomunikasi yang memungkinkan bisa hidup gentayangan di negeri-negeri orang. Ia menjadi penulis kebudayaan dalam arti yang luas. Dirambahnya apa saja yang memungkinkan ia bebas mengepakkan sayapnya.

Ia mamah ilmu komunikasi politik, disusurnya ilmu sejarah, ditakziminya budaya Jepang, budaya samurai, animasi, dan komik manga, dan ditekuninya studi semiotika budaya. Lalu dengan kefasihannya berbahasa asing, terutama bahasa Inggris, ia menjadi penerjemah.

Ini pun bukan profesi Omi sesungguhnya. Sebab yang ia cari adalah bagaimana melingkupi dunia dan sekaligus mengabarkan kepada dunia apa yang terjadi dalam kebudayaannya.

Tapi Omi tak memilih jalan ramai. Jalan selebritas. Jalan berkoar-koar menepuk dada siapa aku, siapa saya. Sebab sedari kecil hingga remaja sampai mahasiswa tingkat pertama ia sudah lewati jalan keramaian, jalan kegairahan meluap-luap di dunia gemerlap, di cafe-cafe Jogja yang jumlahnya masih itungan sebelah jari tangan.

Omi sejatinya punya potensi menjadi penulis seleb. Wajah cantik. Daya intelek dan keterampilan menulis di atas rata-rata. Menulis fiksi, baik puisi dan prosa, juga tangguh, walau tak intensif. Esai oke. Ditambah lagi kemampuan berbahasa Inggris nyaris sempurna, baik lisan maupun tulisan, yang merupakan hasil rintisan dirinya sendiri dan sumbangsih dari ibu terkasihnya di Manahan Solo.

Jika Omi mau, tentu ia bisa menikmati seluruh glamour dan fantasi-fantasi yang digerakkan industri media. Dan glamour itu akan berbinar-binar jika ditambah dia sadar dan sudi tinggal di ibukota.

Namun Omi tidak memilih jalan itu. Ia tetap tinggal di sebuah pojok dusun di gang lengang Sidorejo Jogjakarta; yang mungkin tak terjamah peta. Di kamarnya yang tak terlalu besar ia berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun menempa suluk dan jalani hayat tirakat. Hanya sesekali ia keluar untuk beli sayur atau jalan-jalan sejenak melepas penat ke mall. Tapi setelah itu si wiku muda ini kembali tenggelam dalam arus sepi kamar.

Hanya tulisannya yang hadir, tapi raganya menghilang. Ia bukan pembicara seminar, walau ia mula-mula sering. Ia bukanlah aktivis yang selalu memaksakan diri memantap diri di ruang publik. Ia berkelana di bilik pedalamannya sendiri. Hanya orang dekatnya yang jumlahnya sangat terbatas yang tahu apa yang sedang dilakukannya.

Jika buku-buku terjemahannya tiada hadir, pasti ia sudah dilupa. Jika esai-esai dan puisi-puisinya tiada hadir, pasti orang sudah tak mau tahu tentang dia. Namanya terkutip di buku Sastrawan Angkatan 2000 yang disusun Korrie Layun Rampan. Tapi cuma itu. Omi tak jua muncul di permukaan dan menjadi pemberi komentar lisan dan bercuap-cuap atas perkembangan dunia susastra dan budaya di pementasan-pemenatasan atau koran-koran nasional. Mereka yang akrab dengan katalog-katalog pameran seni sesekali akan menemukan sepenggal nama Omi di sana sebagai penerjemah.

Nyaris semua hidup Omi sedasawarsa terakhir tinggal sendiri memeluk sunyi satu-satu. Entah pengalaman apa yang menyentuh dan membantingnya hingga ia memilih jalan sunyi nyenyat ini sebagai pilihan kreatif.

Di usianya yang perlahan merambat melewati 30, ia tak memilih berkeluarga yang langgeng. Pada 1999 ia sempat memutuskan nikah dengan seorang berkebangsaan Jerman. Namun betah hanya 2 tahun. Lalu ia kembali menikmati dunia sunyinya dalam kamar.

Hingga sunyi itu pun datang pada dini hari yang menyumpal napasnya hingga koma hingga titik habis di umur 36 tahun. “Ibu, aku duluan meninggal,” katanya pada ibunya, Noel Susenowati, setengah bercanda seperti dituturkan kembali Bunga Jeruk, adiknya, kepada Ibuku.

Orang pun kaget. Tak ada yang menyangka bahwa Omi akan pergi secepat itu. Orang kaget bukan hanya kepergiannya, tapi begitu lama mereka tak mendengar kabar Omi, namun kabar yang datang tiba-tiba itu—dan satunya-satunya—adalah kabar bahwa ia sudah berangkat sendiri untuk selamanya.

Kalau bukan karena kematian itu, orang tak akan tahu bahwa dalam sunyinya Omi mencari jalan keluar dan berkelana sendiri menerobos belantara dunia.

Kalau bukan karena kematian itu, saya, yang sejak mahasiswa selalu berusaha mencari dan menemuinya, tapi tak pernah bertemu akibat kekaguman atas pengantar-pengantar buku terjemahannya, tak akan tahu bahwa sejak 1996 Omi sudah bertugu di dunia maya, di dunia alus.

Jangan bayangkan saat itu gairah berinternet dan ber-blog ria atau ber-friendster ria muncrat ke mana-mana seperti sekarang ini. Di tahun itu internet sungguh mewah, serupa privelese orang punya ponsel. Hanya segelintir aktivis yang mengakrabi dunia internet. Semuanya pingin beradu otak dalam diskusi, semuanya ingin berlaga di jalan demonstrasi. Dan Omi berada di kamarnya mengisi setiap saat situs-situs peliharaannya, seperti "nobukaze" "rainforestwind". Untuk kebudayaan Jawa ada "omimachi".

Di dunia alus itu Omi punya nama: Nina Wilhelmina atau dipanggil NIN. Di dunia alus itu ia mencari dan membincangkan banyak hal dengan teman-temannya di seluruh dunia dengan bermodal pada saling percaya saja.

O, dengan kematian itu pula, saya kemudian tahu bahwa Omi berdoa tiap malam hingga pagi di situs-situs itu. Setiap hari. Di sini rupanya Omi mengabarkan budaya Jawa dan huruf-hurufnya dan tari-tarinya dan dandanannya, mengabarkan Indonesia beserta makanan-makanan tradisionalnya yang dilapis daun pisang. Juga tentu saja sastra-sastra dan politik budayanya.

Segala remeh-temeh tentang Indonesia dia tulis. Mungkin ini usaha diam-diam yang dilakukan Omi bagaimana “menjual” penemuan-penemuan budaya Indonesia itu ke dunia.

Omi memang bukan duta wisata maupun budaya yang ditunjuk Departemen Pariwisata DIY. Dia melakukan itu dengan kesadaran individu yang liat. Bahwa bukan cuma tugas negara yang berusaha memperkenalkan Indonesia, tapi seluruh warga. Dan ia melakukannya sendiri dalam sunyi yang tak diganggu hiruk-pikuk aktivis sastra dan budaya yang tiap hari menyebarkan gosip dan berantem satu sama lainnya di koran maupun di forum-forum pertemuan.

Omi adalah perempuan yang menghikmati benar apa arti hening apa arti sirep. Lebih-lebih lagi bagaimana memperlakukan hening itu untuk terus berkarya walau ia sepenuh sadar bahwa usianya hanya sebentar. Radang selaput otak atau miningitis mengirim Omi berangkat selama-lamanya.
[+baca-]

Ensiklopedi Maya Omi tentang Indonesia

Oleh AN Ismanto

Situs piaraan Omi Intan Naomi itu bernama rainforestwind/indonesia. Sekilas, jika melihat seluruh tulisannya yang berbahasa Inggris, situs ini tampak seperti brosur untuk turis. Terlebih jika melihat pernik-pernik pada frontpage-nya yang “eksotik” dan “oriental”. Namun, sebelum berenang-renang lebih dalam, pengunjung situs ini akan diperingatkan oleh tulisan di sudut kanan atas: THIS PAGE IS NOT MADE BY A TOURIST, EXPATRIATE, TOUR GUIDE, OR AIRLINE STEWARD.



Nuansa yang menguar dari situs ini memang bukan turistik, apalagi curhat a la blog biasa. Yang tercium justru kucuran peluh, dan mungkin airmata dan kemarahan yang tertahan—Omi memang menulis dengan sense of humor yang akut, tetapi kerap terasa runcing, bahkan sinis. Situs ini bisa dimaknai sebagai upaya Omi untuk mempromosikan Indonesia kepada khalayak internasional—masuk akal jika bahasa yang digunakan adalah bahasa Inggris.

Pembaca yang mengenal Omi sebagai seorang penerjemah buku-buku babon feminisme (Gegar Gender) dan etika pers (Anjing Penjaga) atau sebagai penyair dan kolomnis Kakikata di harian Suara Merdeka, juga akan mendapati bahwa Omi adalah seorang pecinta kucing (ia memberi nama kucingnya Totti-merujuk kepada Francisco Totti), kritikus dan pemerhati seni rupa, tari, musik, sosial, dan lingkungan.

Di situs ini, Omi merangkum lokus-lokus kebudayaan dan lanskap-lanskap penting Indonesia, yang didominasi tradisionalisme Jawa dan Yogya (mungkin karena ia begitu mencintai Yogya), dan memajangnya kepada publik maya dengan gaya menulisnya yang berani dan pretensius. Yang tercakup antara lain asal mula dan variasi nama Yogyakarta, Kraton, alfabet dan lingustika (bukan hanya gramatika) bahasa Jawa, pakaian pengantin, Malioboro, dangdut, Tuhan dan pembantaian, sejarah Jawa dan Indonesia, Komunitas Tionghoa, etnisitas Indonesia, sejarah seni, film, dan kesusasteraan Indonesia, etcetera.

Kebudayaan Jawa ia bahas habis-habisan, terutama Yogya. Ia menulis: Other Indonesian provinces might have oil, timber, goldmines, etc. to tap; Yogya has never been that lucky. Its residents are mostly college students, poets, novelists, painters, sculptors, event organisers, and the like—although as a matter of course there also exist laundrypersons and plumbers. Its economy is mainly sustained by tourism and cultural activities, such as running colleges, holding poetry-readings, selling paintings and sculptures, organising events, and the like—in which laundry and plumbing contribute much.

Tentang Borobudur, lanskap Jawa yang paling paling tenar di kalangan publik luar negeri, Omi menjadi satiris. Di bawah foto khas candi raksasa itu, ia menulis: The largest Buddhist monument on this planet is in Central Java: the Borobudur temple. Made of carved stone blocks, it remains an awesome architectural job after two thousand years, although it doesn't really impress the locals.

Frasa although it doesn’t really impress the locals menyiratkan kritik Omi bagi, baik warga awam maupun pemerintah, tentang atensi kepada relik identitas diri dan budaya yang sungguh-sungguh tidak memadai.
Tentang kehidupan kesenian, ia mengurutkan tiga lokus kebudayaan penting di Indonesia menurut “ketenaran” masing-masing di kancah internasional, yaitu Bali, Yogyakarta, dan Bandung, lengkap dengan daftar galeri seni, seniman, dan kolektor. Tentang Jakarta, ia menulis dengan sinis: setelah ketiga kota itu, ada Jakarta. Kota ini tidak begitu penting dari segi kesenian, tetapi di sanalah uang bergentayangan (diterjemahkan dengan bebas).

Pada seksi Personal Writing on Java and Indonesia, Omi berjuang membenahi salah paham tentang Indonesia. Salah satunya adalah artikel yang merupakan balasan dalam korespondensinya dengan Gordon Stanton pada 1999. Di sini, Omi dengan garang menjawab tuduhan stereotipik Stanton, tuduhan yang juga mendekam di kepala individu-individu Barat terhadap Indonesia, bahwa orang Indonesia adalah orang-orang yang hipokrit.

Sikap hipokrit, tulis Omi, adalah sikap yang dipelajari dan dimunculkan oleh proses sosialisasi dan dibentuk oleh keadaan. Menurut teori ini, tidak ada yang terlahir sebagai seorang hipokrit. Kesan itu kerap dinisbatkan kepada orang Jawa karena tuntutan keadaan. Kesan itu bersumber pada pandangan dunia Jawa, yaitu keharusan untuk menjaga ketenteraman dan perdamaian dengan semua orang dan semua hal.
Menyembunyikan emosi-emosi tertentu dari pandangan mata publik dan mengumbarnya hanya pada ranah privat sangat dibutuhkan agar tidak terjadi goncangan dalam tertib sosial dan kosmos. Orang Jawa dapat berkata “ya” ketika ia sebenarnya bermaksud mengatakan “tidak” agar ketenangan dan ketenteraman orang lain tetap terjaga. Mengungkapkan langsung inti pembicaraan juga dianggap sebagai tindakan yang barbar. Seseorang bisa saja bertamu ke rumah tetangganya, menanyakan kesehatan, rematik mertua, prestasi anak di sekolah, dan usia kehamilan istri tetangga tersebut, sebelum mengungkapkan maksud sebenarnya—untuk meminjam uang.

Menyombongkan diri adalah dosa besar bagi orang Jawa. Tidak pantas bagi seseorang untuk berkata “Saya penulis yang baik”, sehingga hal itu harus dihindari. Hal ini juga terbawa-bawa dalam surat lamaran kerja, yang jika menuruti kebiasaan melamar kerja di Barat akan menyantumkan promosi diri. Ini menimbulkan ketegangan budaya tersendiri.

Mencintai istri sendiri adalah urusan privat, sehingga suami tidak boleh memamerkan cintanya di hadapan orang lain. Karena itu, di Jawa tidak banyak suami istri yang berciuman di depan publik.
Omi menuliskan semua yang terbersit dalam pikirannya, merangkum apa saja yang ada, dan menegasi semua yang berpretensi merendahkan Indonesia. Situs ini seolah-olah sebagian dari diri Omi sendiri, yang tetap merayakan Indonesia dan terus berjuang meski telah tiada. Jika melihat isinya yang meruah-ruah, ia bisa dianggap sebagai semacam ensiklopedia kecil tentang Indonesia, atau strategi silent struggle untuk menegakkan kebudayaan Indonesia.

* AN Ismanto, kontributor Indonesia Buku di Bantul


[+baca-]

Ngintip Omi dari Lubang Kecil Puisinya

Oleh Binhad Nurrohmat

berapa umur bumi ketika Kutulis
cintaKu padamu?
Omi Intan Naomi (1970-2006)

Tak terkecuali penyair Omi Intan Naomi, cinta dan kesedihan menjadi urusan semua orang dan jelmaan “bentuk rasa” fundamental dan universal bagi umat manusia. Rasa cinta dan kesedihan merupakan naluri amat tua dan primitif dalam diri manusia. Dengan cinta dan kesedihan, setidaknya, manusia yang sebusuk dan seburuk apa pun bisa membedakan eksistensi kemakhlukannya yang “lebih tinggi” ketimbang seonggok robot manusia yang termolek dan tercanggih sekalipun, sebab robot tak bisa jatuh cinta kepada gadis tetangga atau merasa nelangsa.

Kepenyairan di belahan dunia mana dan kapan pun, tak terkecuali Omi Intan Naomi, tak kuasa mengelak dari “bentuk rasa” fundamental dan universal maupun naluri amat tua dan primitif dalam diri manusia itu. Bahkan rasa cinta dan kesedihan menjadi urusan abadi kepenyairan yang tak habis-habisnya dilibati, direnungkan, dan ditafsirkan dalam pengertian personal, sosial, spiritual, maupun teologis.

Rasa cinta dan kesedihan menjadi kata-kata kunci kodrati yang tak terceraikan dari kesadaran dan kepekaan kepenyairan dan kemanusiaan, tak terhegemoni aliran politik atau agama dan tak terbatasi warna kulit atau jenis kelamin. Dan, dalam agama dan kepercayaan, Tuhan diyakini sebagai lambang dan hakikat Cinta tertinggi.

Tak terkecuali Omi Intan Naomi, kepenyairan di negeri ini dari masa ke masa, dari generasi penyair sebelum dan setelah Kemerdekaan, tak pernah absen dari urusan cinta dan kesedihan. Cinta yang nasionalistik (Muhamad Yamin), cinta yang ketuhanan (Amir Hamzah), maupun cinta yang kemanusiaan (Chairil Anwar) menjadi urusan yang mengilhami lahirnya puisi-puisi cemerlang dalam khazanah perpuisian modern Indonesia.

Bahkan puisi dan cinta dicap dengan semacam “mitos” tersendiri yang sulit dihapuskan: puisi dianggap sebagai ekspresi paling menyentuh untuk menyatakan perasaan cinta. Cinta adalah puitis, begitulah kira-kira.

Sedangkan urusan kesedihan (spiritual, sosial, maupun personal) merupakan warna utama khazanah perpuisian modern Indonesia sejak masa Balai Pustaka, Pujangga Baru, hingga hari ini. Saya kira kepenyairan modern Indonesia merupakan gambaran dunia yang jauh dari rasa bahagia, cenderung murung dan muram. Bahkan ketika sedang bicara urusan cinta sekalipun.

Puisi Chairil Anwar “Senja di Pelabuhan Kecil” agaknya menjadi “suara pendahulu” yang terus terngiang dalam telinga kepenyairan modern Indonesia hingga kini tentang cinta kepada seseorang yang lekat dengan keseduan mendalam dan mencekam. Misalnya puisi Nirwan Dewanto ini: Cinta adalah teror yang mengambang malam hari/Menggembungkan baju dan selimutmu waktu kau tidur./Telah kaudengar pasangan-pasangan bersumpah/Demi laut dan planet/Sampai bibir-bibir mereka terbakar./

Tapi cinta dalam puisi Omi Intan Naomi tak diperuntukkan kepada yang bukan semata kepada seseorang:

SAJAK CINTA SOLO II

aku mencintaimu tanpa pernah berpaling
dan membandingkan kamu dengan yang lain.
sebab udara yang kuhirupi itu ada di sini
air yang mengalir itu di sini
dan nyawaku tertanam di sini
entah kapan - tapi pasti.

aku mencintaimu tanpa pernah berhenti
mencintai setiap sudut jalan
dan segala jenis kere kota ini.
mencintai segala jenis makhluk yang ada –
dari pelacur sampai walikota
dari pengusaha sampai sopir biskota
aku mencintai karena aku mengerti

1987

Puisi itu menampakan cinta yang melampaui urusan personal, meluas, dan merengkuh tak sebatas untuk seseorang, bahkan “mencintai segala makhluk yang ada”. Cinta itu ditujukan untuk “setiap sudut jalan dan segala kere kota ini” juga “pelacur sampai walikota” dan “pengusaha sampai sopir biskota”. Kota dan seisinya menjadi sesosok makhluk hidup yang “udara yang kuhirupi itu ada di sini/air yang mengalir itu di sini/dan nyawaku tertanam di sini/entah kapan - tapi pasti.

Cinta dalam puisi Omi Intan Naomi itu semacam wujud rasa terima kasih lantaran adanya kesadaran dan kepekaan cinta yang tak sempit dan menjadi sebentuk rasa cinta yang total: aku mencintaimu tanpa pernah berpaling/dan membandingkan kamu dengan yang lain. Cinta yang total itu serupa puisi Muhammad Yamin “Indonesia Tumpah Darahku” yang mengagungkan bangsa melalui alam dan manusianya itu: Semenjak diri lahir ke ke bumi/Sampai bercerai badan dan nyawa,/Karena kita sedarah-sebangsa/Bertanah air Indonesia.
Rasa cinta yang total itu rawan mengundang kesedihan, sebab ikatan rasa yang tertanam begitu kuat dan dalam membuat—meminjam puisi Sutardji Calzoum Bacri—yang tertusuk padamu berdarah padaku. Omi Intan Naomi pun menuliskan pengakuan kesedihannya untuk kota yang dicintainya: tak pernah berubah cintaku padamu/walau kamu tak pernah lebih cantik dari lagu-lagu./aku di sini menyumpahi keruh sungai-sungaimu/mengumpat timbunan lalat di sampahmu/memaki sesak asap udaramu./tapi bila aku jauh,/astaga: di manapun/ ternyata aku kehilangan kamu. (“Sajak Cinta Solo I, 1987)

Kesedihan karena adanya rasa cinta yang total bisa terasa sangat tragis dan meluapkan amarah yang “menyumpahi keruh sungai-sungaimu mengumpat timbunan lalat di sampahmu memaki sesak asap udaramu.” Bahkan kesedihan semacam itu sanggup berubah menjelma kesinisan yang mencengangkan dalam puisi Omi Intan Naomi:

DI TUGU

sedang dijual: sebuah kota
saat mataku sedang dirampok
dari cakrawala yang biasa
makin benarlah yang dibenarkan!

umbul-umbul sebuah obrolan::
dunia lagi cuci gudang. aku tak akrab!
pak dirman kepanasan dalam jas hujan
aku sedang kapan? waktu mogok di musium.

habisi! habisi!
belilah kota kami.

yogya, 1991: senisono

Urusan cinta dan kesedihan yang “diintip” dari sebagian kecil puisi Omi Intan Naomi itu menampakkan kecenderungan yang ekstrim karena ironi-ironi yang tak terenyahkan dan mengeram di dalamnya serta memantik kesadaran dan kepekaan kepenyairannya lantaran “aku mencintaimu karena aku mengerti”.

* Binhad Nurrohmat, penyair


[+baca-]

Omi, Ben, dan Riwayat Imagined Communites

Oleh Muhidin M Dahlan

Hampir dipastikan buku Benedict R O’Gorman Anderson berjudul Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism menjadi buku klasik yang menjelaskan hal-ihwal persebaran nasionalisme di dunia. Buku itu tak hanya mendedah sumber-sumber yang kompleks, tapi juga nyaris menjelaskan semua bagaimana ide nasionalisme itu menyebar dalam kereta cepat bernama revolusi cetak (print revolution).

Kehadirannya di Indonesia sebetulnya sudah lama ditunggu para cendekiawan maupun aktivis. Ada 16 tahun rentang waktu dibutuhkan hingga buku itu bisa dibaca secara luas di Indonesia sejak terbit pertama kali pada 1983 oleh sebuah penerbit di New York dan London.



Dan revolusi cetak juga yang mengantarkan buku itu sampai ke Indonesia pada 1999 setelah melewati samudera waktu yang begitu panjang. Judulnya: Komunitas-Komunitas Imajiner: Renungan tentang Asal-Usul dan Penyebaran Nasionalisme.

Buku edisi Indonesia bersampul kuning dengan sepotong leher onta yang nyembul itu tak hanya mengukuhkan kecendekiaan Benedict Anderson, tapi juga memperkenalkan Omi Intan Naomi sebagai penerjemah terbaik yang dipilih Insist Press dan Pustaka Pelajar—dua penerbit yang dipercayakan Ben untuk menerbitkan bukunya.

Bagi Pustaka Pelajar, Omi adalah penerjemah terbaik dengan bahasa terenyah yang pernah mereka miliki dan satu-satunya. Pertemuan penerjemah terbaik dan penulis terbaik dari buku klasik terbaik meniscayakan suatu hasil yang terbaik dan memuaskan. Apalagi Omi mewakili penerbit membubuhkan pengantar yang panjang atas buku itu dengan judul: “Candra Kebangsaan”.

Pasca buku kuning itu terbit, resensi bertebaran di media massa. Dan benar, nyaris tak ada satu pun resensi yang melihat cacat buku itu. Sempurna. Sip deh pokoknya. Puji dan puja menguar dan bising, seakan para pengulas baru saja ketemu dengan harta karun yang sudah lama terpendam.

Tapi tak lama berselang. Kala hujan puji itu mereda, publik dikejutkan ketika pada 2001 terbit buku yang sama dengan judul berbeda dari sebelumnya: Imagined Communities, Komunitas-Komunitas Terbayang.

Kata “Imajiner” dari judul sebelumnya diganti dengan “Terbayang”. Pengantar Omi pun menghilang di edisi buku bersampul cokelat itu dan berganti dengan Daniel Dhakidae yang panjangnya nyaris dua kali lipat dari panjang tulisan Omi. Tapi nama Omi masih tercantum di halaman credit tittle sebagai penerjemah.

Rupanya, kata Eko Prasetyo, editor Insist Press kala itu, setelah buku edisi pertama dan aslinya dikirimkan ke Ben sesaat setelah terbit, Ben masygul. Dia menemukan banyak sekali konsep nasionalisme yang kabur. Beberapa lagi mesti ditambahkan Ben, misalnya catatan kaki. Dan yang pasti, Ben rupanya tak berkenan dengan gaya bahasa Omi yang cenderung ngepop—atau dalam ungkapan tim editor Pustaka Pelajar, renyah dikunyah. Mungkin kekurangberkenan Ben itu disebabkan oleh gaya tulis Ben sendiri yang memang akademis.

Maka Ben pun mengambil langkah menyelaraskan kembali terjemahan itu. Alasannya, ada beberapa hal yang mesti dikontekstualisasikan dengan perkembangan politik pasca Orde Baru.

Salah satu muridnya, Rizal Malik, juga turut membantu. Rizal Malik ini yang pertama kali, bersama Mansoer Faqih (alm.) dari Insist Press, yang mengusahakan penerbitannya ke Pustaka Pelajar.

Hasil keroyokan para pakar seperti Daniel dan Rizal atas terjemahan Omi Intan Naomi itu tentu saja menguntungkan pembaca karena kualitas buku yang mereka beli lebih terjamin kualitasnya. Di luar itu, karya “yang ditunggu-tunggu ini” melibatkan sepotong nama yang raganya nyaris tak pernah muncul di publik, yakni Omi Intan Naomi.

Jadi, membaca riwayat hadirnya Imagined Communites di Indonesia adalah juga berarti membaca riwayat Omi Intan Naomi sebagai penerjemah; terlepas dari kelebihan dan kekurangan yang sudah disampaikan Pak Ben.

[+baca-]

Agak2 Nyablak juga Omi Kalo Ngomong

Oleh Kuss Indarto

Omi berpulang. Hah, Naomi Intan Naomi yang anaknya pak Darmanto Jatman itu tutup umur? Aku kaget ketika Agung “Leak” Kurniawan kasih info tentang itu. Kala itu, sekitar jam 21.10 WIB hari Minggu 5 November, aku dan istriku naik motor untuk pulang setelah berakhir pekan di rumah mertua. Beberapa menit kemudian Neni, istri Leak kirim sms duka itu. Pun Senin paginya, mbak Anggi Minarni sms serupa.
Bayangan tentang Omi segera berkelebat di batok kepalaku. Beberapa hari lalu aku baru berencana menyapa dia, meski lewat e-mail atau sms, setelah kubaca tulisan dia di harian Suara Merdeka (Semarang) edisi Minggu 29 Okteber 2006.

Tulisannya yang bertajuk “Medioker” itu sebetulnya tak cukup menarik. Ngalor-ngidul kemana-mana. Tapi karena dia dengan langsung menyebut-nyebut namaku, dengan segala kenyinyirannya, aku seperti diingatkan bahwa barangkali itulah cara paling santun bagi dia untuk menyapaku. Hahaha.
Ya, kami sudah amat lama tak saling sua. Entahlah, mungkin sudah 5-6 tahun meski tempat tinggalku mungkin hanya 2 km dari tempatnya menetap. Dekatlah, mung sak plinthengan. Tapi belum ada dalih kuat untuk saling ketemu.

Kami sendiri saling kenal sekitar tahun 1996-1997. Aku lupa persisnya. Tapi meski belum lama kenal dan tak intens bergaul, kalau ketemu kami begitu hangat dan sama-sama ngawurnya. Mungkin karena aku sering baca tulisan-tulisan dia termasuk di koran Bernas saat aku masih jadi “tukang gambar” di koran itu.
Omong saling serang, saling ngeledek. Umpamanya aku nyinggung namanya yang mirip dengan nama salah satu anak WS Rendra. “Emang bapakmu janjian ya bikin nama anak kok bisa mirip? Gak kreatif,” tanyaku. “Ah, enggak. Rendra aja yang niru-niru,” sergah Omi. Anak Rendra yang kumaksud tentunya ya Naomi Srikandi yang aktif di Teater Garasi. Agak2 nyablak juga dia kalo ngomong.

Tapi pada dasarnya Omi(nya Darmanto Jatman) adalah sosok yang cukup cantik, sangat cerdas, hangat sebagai sahabat, jujur, dan baik. Hanya lama-kelamaan cenderung tertutup dan “introvert”. Mungkin ada jagat lain yang sangat dia nikmati dan lalu menggiringnya agak asosial. Dunia mayalah yang kuduga menggeser modus budaya komunikasinya dengan teman-teman “real”-nya. Dia ngaku dalam tulisan ”Medioker” punya piaran dua blog yang dipeliharanya bertahun-tahun. Dan seperti sangat dinikmatinya.
Ah, sayang ya, cewek secerdas dia cepet pergi. Sayang juga dia tak lagi produktif berkarya pada tahun-tahun terakhir. Ups, gak tau ya, barangkali justru di situs atau blog-nya dia menyimpan banyak harta dan karya sastranya yang tak banyak diketahui oleh publik seni di sini. Apalagi karyanya itu berbahasa Ingris semua. Aku yakin pasti menarik kalau dikuak.

Setidaknya kalau mengacu pada karya skripsinya yang setebal 330-an halaman, Analisis Kebebasan Pers Dalam Rubrik Pojok Surat Kabar Kompas dan Suara Karya, yang diselesaikannya tahun 1995, yang lalu dibukukan oleh penerbit Garba Budaya-nya Sitok Srengenge dengan tajuk Anjing Penjaga.

Isinya bagus, bahasanya pun sangat liat dan inspiratif, menunjukkan kalau bacaaan Omi sangat luas. Aku beruntung masih menyimpan skripsi asli karyanya yang diberikan ke aku ketika akan kupinjam untuk ngebut bikin skripsi tahun 1998. Aku tak percaya waktu itu. “Ah, yang bener, Om?”

“Ambil aja. Aku tak butuh lagi,” katanya. Sampai sekarang skripsi dengan cover legam itu masih di almari bukuku. Sayang sekali aku tak mungkin lagi bisa ngobrol dengan sang empunya.

Selamat bobo’ setenang2 yang kau inginkan, Omi! Aku yakin kau tak butuh airmata teman2 untuk melepaskanmu. Tapi Tuhan harus kuseret via doaku agar Dia tulus mendekat di sisimu. Saling dekaplah kau dan Dia, Omi! Mungkin surga segera melingkungimu. Amien.

* Kuss Indarto, kurator. Ini tulisan digunting dari “kuss-indarto.blogspot.com” atas izin penulisnya


[+baca-]

Omi Mahasiswa Cerdas dan Kritis

Oleh Purnawan Kristanto

Perkenalan saya pribadi dengan Omi Intan Naomi bermula ketika saya kuliah di jurusan Komunikasi UGM. Omi menjadi kakak angkatan saya. Saya angkatan 1991, dia angkatan 1989. Kami sempat beraktivitas bersama-sama di dalam Korps Mahasiswa Komunikasi (Komako), khususnya di divisi Jurnalistik dan Penerbitan.

Kami menerbitkan tabloid SWARA. Dia menjadi Pemimpin Redaksi, saya reporternya. Saya masih ingat, laporan utama yang diangkat adalah tentang kewajiban Penataran P4 bagi mahasiswa baru. Kami mengadakan jajak pendapat. Hasilnya, mayoritas responden menolak Penataran P4.
Selain Omi, rekan sekerja kami adalah Imam Wahyu (pernah di Editor dan Tiras), Sagiyo, Yuyun Wardhana (fotografer Detik), Berto, Candra dan satu teman lagi yang sekarang di Metro TV. Namanya Matius Dwi Hartanto, tapi teman-teman memanggilnya Gimin.

Saya tidak lama bergaul dengan Omi karena dia cepat menyelesaikan teorinya. Setelah itu, dia jarang nongol di kampus. Dari pergaulan singkat saya dengannya, saya melihat Omi sebagai mahasiswa yang cerdas dan kritis. Namun ada juga jiwa pemberontak di dalamnya. Setiap kami rapat redaksi, dia biasanya melontarkan opini-opini cerdas sambil tak lupa mengepulkan asap rokok ringan dari mulutnya.

Omi menyelesaikan skripsi dengan topik penelitian analisis isi pojok Kompas. Setelah itu, kami tidak pernah kontak lagi. Saya dengar kabar, dia menerjemahkan karya-karya sastra dari Australia. Harus saya akui, perjalanan kepenulisan saya telah dihiasi oleh kekaguman saya pada wanita manis, berkulit langsat dan berambut ikal ini. Selamat jalan mbak Omi.

* Purnawan Kristanto, teman kuliah Omi. Tulisan ini ‘digunting’ dari http://purnawan-kristanto.blogspot.com

[+baca-]

"Aku Kenal Lewat Tulisan, Dia Kenal Lewat Lukisan"

Oleh Ugo Untoro

Pertengahan 80-an, aku masih berseragam putih biru, di daerah asalku, Purbalingga, Jawa Tengah. Ketika itu keluargaku berlangganan Kartini, Femina, Gadis, juga Hai, aku kerap membaca majalah-majalah tersebut. Dari sanalah aku mengenal sebuah nama Omi Intan Naomi. Agak aneh pendapatku tentang tulisan Omi, justru dari keabsurdan tulisannya itulah yang membuatku penasaran, siapa Omi sebenarnya. Meski lewat tulisan aku cukup kagum pada sosoknya. Di usia yang terbilang muda kala itu Omi membuat tulisan yang tak mudah dimengerti oleh kebanyakan orang.





Beberapa tahun berselang, tepatnya akhir tahun 80-an aku tiba di Kota Yogyakarta. Statusku saat itu mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI). Dan aku masih belum mengenal apalagi bertemu dengan Omi. Aku terkejut, ternyata Omi yang selama ini aku kagumi lewat tulisan-tulisannya adalah kakak Bunga Jeruk adik tingkatku di ISI. Tapi aku tak pernah bertemu muka dengannya, sesekali aku mengirim salam untuknya.
Melalui Bunga akhirnya aku bisa mengenal dan bertemu langsung dengan Omi, sekitar tahun 95 aku bertemu langsung dengannya. Tak kuduga sebelum pertemuan darat kami, Omi juga sudah mengenalku, setidaknya namaku. Dia mengenalku lewat lukisan. Tak sedikit tulisan-tulisan Omi tentangku juga lukisan-lukisanku. Aku tak menduga dia pemerhati karya-karyaku rupanya. Tahun 1994 pameran pertamaku. Dari situlah rupanya Omi pertama kali melihat, mulai tertarik, dan terus mengamati sampai kami berkenalan.

Bertemu muka dengan Omi membuatku semakin mengenal sosoknya. Bagiku Omi adalah perempuan yang terlalu pintar. Barangkali latar belakang keluarga yang keras dan banyaknya bacaan yang dilahapnya semenjak kecil membentuknya menjadi seorang perempuan yang keras, cerdas, tangguh, tegas, jujur, tapi juga angkuh. Tak jarang ketika suasana hatinya sedang tidak sreg dia enggan menerima siapa pun, bahkan tak segan ia mengusir orang yang berani mengusiknya.

Aku tak ragu untuk menyebut Omi sebagai penulis yang paling independen. Dia menulis apa saja yang ingin dia tulis. Dia tak mempedulikan orang lain. Apa yang menurutnya baik akan ditulis ya itulah yang baik. Begitu pula sebaliknya. Sampai sekarang aku masih menyimpan tulisan Omi semasa SMP dulu.
Lagi-lagi Omi membuatku terkejut. Kira-kira tiga bulan sebelum Omi meninggal seorang kawan datang padaku. Dodo namanya. Ia memberikan sebendel tulisan Omi tentangku. Aku tak tahu dari mana Omi mendapat semua informasi seputar kehidupanku. Sementara Omi sendiri tak pernah mewawancaraiku. Tak heran jika ada beberapa kesalahan dalam penulisannya. Rencana menerbitkan buku itu tentu saja ada. Aku mulai mencari sponsor. Omi hanya meminta 15 juta untuk jerih payahnya. Aku menawarkan lukisanku untuk dijual sebagai biaya cetak buku. Sayang belum sampai buku itu tercetak Omi meregang nyawa.
Istriku, Yayuk, rupanya pernah ditanya Omi. Kepada Yayuk Omi menyatakan keheranannya padaku. Dia juga bertanya pada Yayuk seputar pertemuan kami, sampai akhirnya menikah. Pertanyaan yang menggelitik adalah mengapa Yayuk mau menikah denganku.

Rupanya kawanku Dodo yang menyarankan Omi untuk menulis tentang perupa. Ada tiga nama disodorkan Dodo. Ugo Untoro, Teddy, dan Bob. Omi memilihku: si Ugo Untoro ini. Sampai sekarang aku tak tahu pasti apa yang membuat Omi memilihku. Meski Omi menulis tentangku, aku masih jarang bertemu Omi. Sesekali aku menyambanginya, namun itu pun tak pernah lama. Sebentar saja hanya untuk melihat keadaannya.
Sayang sekali Omi tak panjang usia. Aku terkejut mendengar kabar tentangnya. Terlebih istriku. Dia cukup dekat dengan Omi, terutama setahun terakhir. Dan dia belum pernah sekalipun bertemu dengan Omi. Yayuk melihat wajah Omi untuk pertama dan terakhir ketika tubuhnya telah terbujur kaku. Yayuk menangis tersedu. Wajah Omi terlihat bersih, ia juga tampak ternyum. Mirip Bunda Maria, demikian aku dan istriku menyebutnya. Hanya saja matanya yang terlihat galak.

Aku mengenal Omi lewat tulisan, Ia pun mengenalku melalui lukisan. Aku mengagumi tulisan Omi demikian pula Omi yang juga mengagumi lukisanku. Namun ia tak pernah mau aku lamar!

Ugo Untoro, seniman lukis Jogja. Artikel ini transkrip percakapan dengan wartawan Iboekoe, Fadila Fikriani Armadita


[+baca-]

Tatto si Bob Mengabadikan Nama Omi

Oleh Rain Rosadi

Bob Yudhita Agung, nama yang tidak asing bagi komunitas seni rupa di Yogyakarta. Pelukis dengan penampilan yang unik. Anda akan langsung mengenali kalau pun misalnya dia berada dalam kerumunan orang. Posturnya yang tinggi dan kurus, rambut dibabat habis di sisi kanan dan kiri, penuh dengan pierching dan asessoris. Yang paling membedakannya dengan orang lain adalah tubuhnya yang penuh tattoo; dari wajah sampai ke ujung kakinya. Salah satu dari tattonya adalah mengabadikan nama seorang perempuan: Omi Intan Naomi.



"Bob "Sick" Yudhita/Foto: Dok Bob)"

Nama Omi Intan Naomi tidak hanya beredar di kalangan seni rupa. Namanya lebih dikenal lewat kolom-kolom budayanya di harian Suara Merdeka. Tetapi penulis yang meninggalkan dunia di usia muda ini terbilang cukup dekat dengan komunitas seni rupa. Salah satunya adalah sebuah komunitas dengan beberapa nama yang bisa disebut: Bunga Jeruk, S. Teddy D., Ugo Untoro, Yustoni Volunteero, dan Bob Yudhita Agung.
Kedekatannya dengan para perupa itu juga terukir dalam catatan-catatan kecilnya mengenai beberapa karya seni yang disukainya. Catatan-catatan itu terselip di antara belantara tulisan-tulisannya yang berhambur dari energinya yang luar biasa dalam menulis. Semua hal ditulisnya, dari gempa bumi di Yogya, halaman di depan rumahnya, budaya masyarakatnya, sampai ke teman-teman dekatnya.

Begitu produktifnya, bahkan menurut pengakuannya, lebih banyak tulisannya yang beredar di Internet ketimbang yang sudah dipublikasikan dalam media cetak. Katanya lebih baik punya stok tulisan daripada dikejar-kejar deadline.

Akan halnya Bob, baginya Omi lebih dari sekadar teman. Dia adalah avant garde-nya dalam mengurangi beban psikologisnya. Omi adalah sosok yang sangat peduli terhadap kawan-kawan perupanya. Bob merasa bahwa Omilah yang banyak mendorongnya untuk tetap bersemangat dalam melukis. Lewat Omilah Bob mengenal media-media lain semacam internet, buku-buku, dan bermacam wawasan dunia.



Bob "Sick" Yudhita dan Putri Indonesia 2004 Artika Sari Dewi/Foto: Dok Bob)

“Omi adalah tempat saya bertanya, dan berpendapat. Dia mengenalkan saya dengan buku-buku, internet, dan banyak hal. Ketika saya mabuk, dialah yang membantu saya mengatasi masalah-masalah kejiwaan saya. Dia memberi perhatian dan membuat saya tetap melukis.”

Omi memang pribadi yang memandang karya seni dengan pendekatan personal. Dalam tulisan-tulisannya, dia tidak berupaya memandang seni dengan kacamata sejarah seni yang kemudian menganalisa karya berdasar penting atau tidak pentingnya dalam sejarah. Tetapi dia lebih mendekatinya secara personal, dan bagaimana karya itu kemudian dinikmatinya. Kedekatannya dengan komunitas perupa pun didasarinya karena kecintaannya terhadap objek-objek karya itu dengan tanpa pretensi. Baginya karya adalah buah tangan dari pribadi-pribadi yang unik dan kreatif.

Tentu saja, kepergian Omi membuat kehilangan masyarakat perupa di tanah air. Selain dikenal lewat tulisan-tulisannya, karya Omi juga tertera melalui terjemahan-terjemahannya baik dalam buku-buku mapun dalam beberapa catalog pameran seni rupa.

Suwarno Wisetrotomo, salah satu kurator papan atas negeri ini mengingat bahwa dengan Omi dia bisa mengandalkan terjemahan bahkan untuk mengejar deadline yang tidak masuk akal.

“Saya pernah ragu untuk meminta bantuan Omi karena waktu yang sangat mendesak. Malamnya saya email ke dia, besok paginya tulisan saya sudah jadi dalam bentuk bahasa Inggris. Saya betul-betul kehilangan teman yang penuh dedikasi seperti Omi Intan Naomi…,” tuturnya pada saya suatu ketika.

Begitulah, kalaupun Bob berada dalam sebuah dunia yang penuh chaos, Omi tetap memberinya tempat sebagai sahabat untuk berbagi. Omi adalah cendekiawan yang berada dalam ekosistem yang sebenarnya. Dia berada di tengah apa yang diperbincangkannya. Sekalipun dekat, tetapi dia mampu menuliskannya dengan analisis yang jernih. Intim, tapi meninggalkan jejak kesan.

* Rain Rosadi, kurator dan staf pengajar di Institut Seni Indonesia Jogjakarta
[+baca-]

”Dia Menulis Hampir 24 Jam Sehari”

Oleh Fadila Fikriani Armadita

Berikut adalah percakapan dengan Bunga Jeruk (adik Omi Intan Naomi)

I: Apa sebetulnya sakit Mbak Omi?
BJ: Sebetulnya tidak tahu pasti sakitnya. Di rumah sakit sekitar 24 jam setelah itu meninggal. Itupun waktu ketemu dalam kondisi sudah koma.

I: Tahunya bagaimana?
BJ: Waktu itu 4 November pagi pembantu saya ke sana, pintu masih tertutup, jendela kordennya masih tertutup, lampu teras belum dimatikan. Dia tidak berani ketok. Mbak Omi itu kan kadang tidurnya pagi, menjelang subuh itu baru tidur; tahu kebiasaannya jadi tidak berani. Ya sudah nanti saja. Agak siang, jam 11 ke sana lagi belum bangun juga. Saya juga tidak berani membangunkan, khawatir dia marah, lagi pula kita nggak tahu jam tidurnya. Saya sms tidak dibalas, telepon tidak diangkat, saya putuskan untuk ke rumahnya, saya ketok pintu tidak ada jawaban. Ada tetangga yang menyarankan supaya masuk pakai tangga saja. Suami saya masuk, Mbak Omi sudah tidak sadar. Kemudian dilarikan ke rumah sakit Ludira Husada, sampai sana sudah koma dan sudah agak lama. Sebelumnya dia pernah sakit 22 November 2005. Dia muntah-muntah dan kejang, tapi waktu itu pagi hari, ada pembantu saya jadi langsung bisa ditangani. Tapi waktu itu tidak ada yang tahu, tapi mungkin waktu itu dia juga tidak sempat untuk telepon atau sms, karena saya lihat barang-barangnya masih ada di tempatnya, jadi sepertinya tidak ada usaha untuk ambil telpon, posisinya di tempat tidur. Tapi kalau ditanya penyakitnya tidak tahu, yang jelas metabolisme tubuhnya itu sudah kacau, gula darah tinggi, asam urat tinggi, tekanan darahnya tinggi, suhu tubuh tinggi. Dari Ludira saya bawa ke Bethesda, di sana di scan, ternyata bukan stroke, awalnya dipikir stroke, karena gejala-gejalanya mirip. Sejarah kesehatannya memang tekanan darahnya tinggi, jadi orang berpikir demikian.

I: Pernah periksa kesehatan keseluruhan?
BJ: Tidak pernah, dia takutnya kalau chek up semua ketahuan yang tidak beres, jadi bingung, harus diopname dan sebagainya. Antara tidak berani sama ya sudahlah orang kalau mau meninggal meninggal saja. Dan dari dulu memang dia punya feeling tidak berumur panjang

I: Sebetulnya pola hidup Mbak Omi itu seperti apa?
BJ: O... tidak sehat, dia itu kan merokok, pola hidupnya terbalik-terbalik, benar-benar total. Malam dia kerja, pagi jam enam itu baru tidur, jam dua belas siang baru bangun.

I: Terus pola makannya juga kacau?
BJ: Dia kadang tidak doyan makan, misalnya dia mau makan sesuatu terus saja makan itu sampai berbulan-bulan, nanti ganti lagi. Pernah dulu makan mie instan sampai berbulan-bulan setelah itu berhenti kemudian ganti lagi. Pola makannya tidak sehat dan dia tahu bahwa itu tidak sehat. Tekanan darahnya tinggi juga masih sering minta dibelikan daging kambing; dia tidak menghindarinya. Dia juga sering mengkritik orang yang terlalu memperhatikan makan dan khawatir kalau-kalau sakit. Buat dia sakit ya sakit saja.

I: Lalu selama ini apa yang dia kerjakan?
BJ: Di rumah saja. Nggak ke mana-mana. Dia itu terus-terusan menulis, tidak pernah berhenti. Menulis apa saja. Dia kan punya situs pribadi, jadi punya ide apa langsung ditulis dan di upload di situsnya. Jadi memang tidak dipublikasikan di media cetak. Teman-temannya kebanyakan juga komunitas online.

I: Sejak kapan dia memelihara situsnya itu?
BJ: Wah sudah lama sekali, sejak dia kenal internet, sekitar 1996. Dia waktu itu masih sering ke warnet dekat UGM... Itu lho warnet dekat Samirono (di depan Gedung Olahraga UNY—red). Situsnya macam-macam tidak cuma satu. Dia juga pernah bikin situs baru tentang Jawa dalam bahasa Inggris. Isinya mulai dari pakaian, kalau orang menikah bagaimana, terus apa bedanya Solo sama Yogya, terus ada resep makanan Jawa; memang begitulah dia karena niatnya senang nulis. Selain itu supaya orang asing secara tidak langsung tahu budaya Jawa.

I: Jadi, selama ini Mbak Omi menghabiskan waktu lebih banyak di kamar ya?
BJ: Di rumahnya itu ada tiga kamar, satu untuk ruang kerja, satu untuk kamar tidur, satu lagi kosong diisi kursi-kursi. Dia jarang keluar, kalau ada apa-apa, butuh sesuatu biasanya minta tolong orang, kalaupun keluar ya cuma belanja.

I: Waktu masih bekerja sebagai editor dan penerjemah di Pustaka Pelajar apa dia masuk kantor?
BJ: Tidak, di rumah juga. Menerjemahkan itu bisa dikerjakan di rumah setelah selesai baru dibawa ke kantor. Dia di depan komputer menulis hampir 24 jam sehari.

I: Kadang seharian tidak bicara?
BJ: Ya paling sms. Kalau pun sedang bersama dalam satu rumah, kadang-kadang ngobrol tapi ya kebanyakan dia menulis saya melukis. Kadang ngobrol tapi ya setelah itu dia kembali ke komputernya dan saya kembali ke kanvas, tapi kalau pisah rumah cuma sms. Kadang hal-hal kecil dia sms.

I: Apa sifat penyendiri Mbak Omi itu sejak kecil?
BJ: Sebetulnya tidak, dia dari kecil orangnya gaul, punya banyak teman, waktu kecil sudah mengajar teman-temannya bahasa Inggris.

I: Atau dia menyendiri karena kesal dengan Bapak (Darmanto Jatman, red)?
BJ: Oh kalau itu dia memang tak pernah akur sama Bapak. Sudah lama sekali. Apalagi Bapak kan kawin lagi. Hampir tak ada ketemunya. Lagi pula Bapak juga sibuk.

I: Biasanya masalah apa yang sering dicekcokkan?
BJ: Hampir nggak ada yang cocok kalau mereka ngobrol. Bahkan hal sekecil pun. Misalnya soal Mbak Omi pindah-pindah kontrakan. Bapak protes karena susah menghubungi. Mbak Omi kan nggak pernah kepikiran buat punya rumah. Bagi dia kalau masih bisa ngontrak ngapain punya rumah. Di rumah tempat dia terakhir itu masih kontrakan. Barang-barangnya masih ada di sana karena kontraknya belum habis.

I: Pastinya dia menjadi manusia kamar itu sejak kapan? Mahasiswa?
BJ: Mahasiswa semester awal dia masih suka dugem, waktu itu masih satu-satunya di Yogya tepatnya di Borobudur Plaza, hampir setiap malam. Alasannya mengapa dia menyendiri, karena mainnya sudah maksimal, waktu SD main terus, waktu SMP-SMA hampir tidak pernah di rumah, kadang tidur di rumah temannya. Kegiatannya macam-macam, mulai dari tari sampai olah vokal. Pernah waktu SMA jualan bubur di Stadion Manahan Solo, setiap minggu pagi. Waktu SD pernah juga main teater, baris berbaris sampai olahraga. Sejak lulus kuliah itu dia mulai suka menyendiri, kawan-kawannya banyak yang kerja di luar Yogya. Dia tidak tertarik kerja kantoran, akhirnya dia memilih kerja sendiri di rumah.

I: Sebetulnya kedekatan Mbak Bunga dan Mbak Omi seperti apa?
BJ: Dia itu jadi kakak banget, kadang overprotective, melebihi ibu. Waktu kecil dulu kalau ada yang jahat sama saya, Mbak Omi yang membela. Jadi justru Mbak Omi yang berantem. Semisal pulang kemalaman Mbak Omi yang ribut, sementara ibu saya justru tenang-tenang saja.

I: Bacaan kesukaannya apa?
BJ: Kalau dia banyak suka ya, dulu bukunya banyak terus kemudian disortir. Buku-buku Agatha Cristhie dia suka, Enid Bylton dia suka, dari jaman kecil sampai sekarang dia masih simpan, kalau komik dia suka Samurai X. Kalau yang tersisa sekarang ini ya buku-buku sastra. Kalau tentang pers, komunikasi, tinggal sedikit. Kebanyakan sastra.

I: Komunitas apa saja yang masih kerap menyambanginya di rumah?
BJ: Senirupa malah. Dia kan masih menerjemahkan tulisan-tulisan para kurator yang dipesan galeri-galeri. Terakhir dia itu mau bikin buku tentang Ugo Untoro yang lengkap. Tapi belum jadi, eh sudah pergi dia.

I: Menjelang akhir hayatnya apa tak ada sesuatu yang ganjil di luar kebiasaannya?
BJ: Sebetulnya karena sudah terlalu sering jadi tidak punya pikiran adanya firasat, karena memang dia sudah lama berpikir tidak akan berumur panjang. Dia selalu memperlihatkan bahwa garis tangannya menunjukkan umurnya pendek. Terus, dia itu sempat ngomong ke ibu saya (Noel Susenowati, red), ”Bu...aku kayaknya mau mati mendadak lho!” Kita menganggapnya bercanda saja. Malah benar....
[+baca-]