Senin, 20 April 2009

Yang Terancam Karena Anak-Ruhani Pram

Oleh Muhidin M Dahlan

"Kamu jangan takut untuk maju dan bicarakan ide-ide kamu. Sekali kamu
takut, kamu kalah."
-- Pramoedya Ananta Toer

Dulu, aktivitas membaca anak-anak ruhani Pram serupa dengan kerja menghisap ganja. Tak bisa dilakukan terang-terangan karena memang terlarang. Anak-ruhani Pram adalah barang tabu kelas-A. Membawanya harus hati-hati dan “kreatif”. Mengonsumsinya apalagi. Mesti sembunyi-sembunyi. Dan memang, anak ruhani Pram tak beda dengan ganja. Membuat pemakainya kecanduan. Membacanya seperti tak mau berhenti-berhenti.

“Bumi Manusia saya baca semalam suntuk,” aku pendiri Partai Rakyat Demokratik Budiman Soedjatmiko yang saat itu duduk di bangku SMA.

“Saya harus menyiapkan waktu dua hari cuti dari kantor untuk menyelesaikan novel Arus Balik. Sehari untuk baca, sehari untuk tidur,” kata pengamat politik Eep Saefulloh Fatah.

Novelis muda Eka Kurniawan bahkan memilih di jalur sastra karena kecanduan dengan karya Pram. “Saya hampir memutuskan berhenti di sastra. Tapi setelah membaca karya Pram membuat saya seperti diinsyafkan bahwa sastra itu bagus dan menulisnya punya guna,” katanya.

Karena serupa candu, maka transaksi novel-novel Pram harus ekstra waspada. Sebab hampir semua mata aparat diletakkan di semua sudut pelosok Indonesia. Terutama di kampus-kampus tempat para aktivis berkumpul. Buku yang beredar pun hampir tak ada yang asli. Semuanya fotokopi dan kebanyakan tak bersampul. Ia tak aman dibawa terus-terusan dalam tas. Jika ada yang berminat, maka buat dulu janjian ketemuan.

Tak syak lagi, karya Pram menjadi semacam bacaan wajib aktivis dan simbol perlawanan aktivis yang hidup 1980-an. Mereka biasa menghidupkan pelbagai forum diskusi dan kelompok.

Di UGM misalnya, berserakan kelompok diskusi mahasiswa kritis. Yang terkenal di antaranya Kelompok Studi Sosial Palagan, Dasakung, maupun Teknosofi.

Di kelompok-kelompok ini anak-ruhani Pram hadir dan hidup. Saat itu menjual karya pram adalah aktivitas heroik, dan sekaligus subversif. Apalagi Kejaksaan Agung RI sudah mengeluarkan SK pelarangan atas semua karya Pram.

Ditangkapnya tiga aktivis Yogyakarta pada 1989 menjadi jejak paling gelap bagi mereka yang keras kepala membaca dan menyebarkan anak-ruhani Pram. Ketiganya adalah Bambang Subono, Bambang Isti Nugroho, dan Bonar Tigor Naispospos. Mereka dibui dengan dakwaan melakukan tindak pidana subversi.

Bonar Naispospos mendapatkan hukuman paling berat karena dituduh sebagai aktor intelektual dalam pengedaran buku-buku Pram. Aneh bin ajaib, ia tak pernah tertangkap tangan aparat memegang langsung karya Pram. Bahkan di rumah kosnya sekalipun tatkala digeledah. Yang justru menyeretnya adalah fotokopi diktat kuliah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, tentang pemikiran Karl Marx. Diktat yang teronggok di kosnya itu ditulis Franz Magnis-Suseno. Tak pelak lagi Bonar pun dijerat pasal subversif 8 tahun 6 bulan penjara dengan delik penyebaran paham yang bertentangan dengan Pancasila.

Lain dengan Bambang Subono yang ditangkap ketika masih aktif sebagai Ketua Kelompok Studi Sosial Palagan (KSSP) Yogyakarta. Ia terbukti dan sah membaca dan mengedarkan tetralogi Pram yang masih dalam bentuk fotokopi ketikan naskah aslinya. Ia dijatuhi hukuman 6 tahun penjara dengan delik yang sama dengan Bonar.

Sedangkan Bambang Isti Nugroho kedapatan membawa novel Rumah Kaca dalam tasnya dalam sebuah razia. Ia pun digelandang dalam bui. Menurut Bambang Isti sebagaimana dikutip Kompas, tahun 1985 adalah tahun-tahun puncak bagaimana mereka kejar-kejaran dengan aparat. Apalagi hampir seluruh aktivis di Yogya, Bandung, dan Surabaya membaca dan memiliki tetralogi Pram. Lebih lanjut Isti Nugroho mengatakan yang digambarkan Pram dalam Rumah Kaca sangat mirip dengan suasana ketakutan aktivis penentang Soeharto seperti dirinya yang waktu itu disatroni atau dalam istilah Pram di-rumahkaca-kan.

Anak-ruhani Pram memang memiliki laci tersendiri dalam ingatan kolektif pembaca buku di Indonesia. Ia, dalam istilah mantan aktivis pers kampus Balairung UGM, M Thoriq, adalah simpul yang bisa mempersatukan aktivis anti-Soeharto. Sekarang pun, anak-anak ruhani Pram pun masih bergaung, walau tak semenakutkan ketika berada dalam masa represi Orde Baru.

Bahkan, membaca karya Pram menjadi prasyarat untuk masuk dalam kelompok tertentu. Ziarawan Taufik Rahzen misalnya. Untuk menerima calon karyawan di kantornya, ia cukup menanyai apakah sang calon itu sudah membaca karya Pram dan judul apa yang dibacanya itu. Jika sudah membaca dan bisa menjelaskan bacaan hasilnya, otomatis diloloskan.

Itu pula yang dilakukan Didik Supriyanto, salah satu senior di situs detik.com. Wartawan muda yang direkrutnya akan ditanyai tentang buku Pram. Pram pun menjadi standar dari sebuah kemajuan penguasaan wacana. Pram adalah simbol. Tak hanya keseksian wacana, tapi juga keluasan akses bacaan. Dan anak-ruhani Pram menyediakan kebutuhan itu. Membaca karya Pram sudah separuh jalan melawan.

Dan saat ini, membaca karya-karya Pram kini menjadi aktivitas yang kian seksi. Dan yang pasti, walau akses atas anak-anak-ruhani Pram itu kian mudah, masih menginspirasi banyak anak muda, mulai dari anak-anak SMU, aktivis, penyanyi, hingga artis film dan sinetron.

Tidak ada komentar: