Sabtu, 21 Juli 2007

”Dia Menulis Hampir 24 Jam Sehari”

Oleh Fadila Fikriani Armadita

Berikut adalah percakapan dengan Bunga Jeruk (adik Omi Intan Naomi)

I: Apa sebetulnya sakit Mbak Omi?
BJ: Sebetulnya tidak tahu pasti sakitnya. Di rumah sakit sekitar 24 jam setelah itu meninggal. Itupun waktu ketemu dalam kondisi sudah koma.

I: Tahunya bagaimana?
BJ: Waktu itu 4 November pagi pembantu saya ke sana, pintu masih tertutup, jendela kordennya masih tertutup, lampu teras belum dimatikan. Dia tidak berani ketok. Mbak Omi itu kan kadang tidurnya pagi, menjelang subuh itu baru tidur; tahu kebiasaannya jadi tidak berani. Ya sudah nanti saja. Agak siang, jam 11 ke sana lagi belum bangun juga. Saya juga tidak berani membangunkan, khawatir dia marah, lagi pula kita nggak tahu jam tidurnya. Saya sms tidak dibalas, telepon tidak diangkat, saya putuskan untuk ke rumahnya, saya ketok pintu tidak ada jawaban. Ada tetangga yang menyarankan supaya masuk pakai tangga saja. Suami saya masuk, Mbak Omi sudah tidak sadar. Kemudian dilarikan ke rumah sakit Ludira Husada, sampai sana sudah koma dan sudah agak lama. Sebelumnya dia pernah sakit 22 November 2005. Dia muntah-muntah dan kejang, tapi waktu itu pagi hari, ada pembantu saya jadi langsung bisa ditangani. Tapi waktu itu tidak ada yang tahu, tapi mungkin waktu itu dia juga tidak sempat untuk telepon atau sms, karena saya lihat barang-barangnya masih ada di tempatnya, jadi sepertinya tidak ada usaha untuk ambil telpon, posisinya di tempat tidur. Tapi kalau ditanya penyakitnya tidak tahu, yang jelas metabolisme tubuhnya itu sudah kacau, gula darah tinggi, asam urat tinggi, tekanan darahnya tinggi, suhu tubuh tinggi. Dari Ludira saya bawa ke Bethesda, di sana di scan, ternyata bukan stroke, awalnya dipikir stroke, karena gejala-gejalanya mirip. Sejarah kesehatannya memang tekanan darahnya tinggi, jadi orang berpikir demikian.

I: Pernah periksa kesehatan keseluruhan?
BJ: Tidak pernah, dia takutnya kalau chek up semua ketahuan yang tidak beres, jadi bingung, harus diopname dan sebagainya. Antara tidak berani sama ya sudahlah orang kalau mau meninggal meninggal saja. Dan dari dulu memang dia punya feeling tidak berumur panjang

I: Sebetulnya pola hidup Mbak Omi itu seperti apa?
BJ: O... tidak sehat, dia itu kan merokok, pola hidupnya terbalik-terbalik, benar-benar total. Malam dia kerja, pagi jam enam itu baru tidur, jam dua belas siang baru bangun.

I: Terus pola makannya juga kacau?
BJ: Dia kadang tidak doyan makan, misalnya dia mau makan sesuatu terus saja makan itu sampai berbulan-bulan, nanti ganti lagi. Pernah dulu makan mie instan sampai berbulan-bulan setelah itu berhenti kemudian ganti lagi. Pola makannya tidak sehat dan dia tahu bahwa itu tidak sehat. Tekanan darahnya tinggi juga masih sering minta dibelikan daging kambing; dia tidak menghindarinya. Dia juga sering mengkritik orang yang terlalu memperhatikan makan dan khawatir kalau-kalau sakit. Buat dia sakit ya sakit saja.

I: Lalu selama ini apa yang dia kerjakan?
BJ: Di rumah saja. Nggak ke mana-mana. Dia itu terus-terusan menulis, tidak pernah berhenti. Menulis apa saja. Dia kan punya situs pribadi, jadi punya ide apa langsung ditulis dan di upload di situsnya. Jadi memang tidak dipublikasikan di media cetak. Teman-temannya kebanyakan juga komunitas online.

I: Sejak kapan dia memelihara situsnya itu?
BJ: Wah sudah lama sekali, sejak dia kenal internet, sekitar 1996. Dia waktu itu masih sering ke warnet dekat UGM... Itu lho warnet dekat Samirono (di depan Gedung Olahraga UNY—red). Situsnya macam-macam tidak cuma satu. Dia juga pernah bikin situs baru tentang Jawa dalam bahasa Inggris. Isinya mulai dari pakaian, kalau orang menikah bagaimana, terus apa bedanya Solo sama Yogya, terus ada resep makanan Jawa; memang begitulah dia karena niatnya senang nulis. Selain itu supaya orang asing secara tidak langsung tahu budaya Jawa.

I: Jadi, selama ini Mbak Omi menghabiskan waktu lebih banyak di kamar ya?
BJ: Di rumahnya itu ada tiga kamar, satu untuk ruang kerja, satu untuk kamar tidur, satu lagi kosong diisi kursi-kursi. Dia jarang keluar, kalau ada apa-apa, butuh sesuatu biasanya minta tolong orang, kalaupun keluar ya cuma belanja.

I: Waktu masih bekerja sebagai editor dan penerjemah di Pustaka Pelajar apa dia masuk kantor?
BJ: Tidak, di rumah juga. Menerjemahkan itu bisa dikerjakan di rumah setelah selesai baru dibawa ke kantor. Dia di depan komputer menulis hampir 24 jam sehari.

I: Kadang seharian tidak bicara?
BJ: Ya paling sms. Kalau pun sedang bersama dalam satu rumah, kadang-kadang ngobrol tapi ya kebanyakan dia menulis saya melukis. Kadang ngobrol tapi ya setelah itu dia kembali ke komputernya dan saya kembali ke kanvas, tapi kalau pisah rumah cuma sms. Kadang hal-hal kecil dia sms.

I: Apa sifat penyendiri Mbak Omi itu sejak kecil?
BJ: Sebetulnya tidak, dia dari kecil orangnya gaul, punya banyak teman, waktu kecil sudah mengajar teman-temannya bahasa Inggris.

I: Atau dia menyendiri karena kesal dengan Bapak (Darmanto Jatman, red)?
BJ: Oh kalau itu dia memang tak pernah akur sama Bapak. Sudah lama sekali. Apalagi Bapak kan kawin lagi. Hampir tak ada ketemunya. Lagi pula Bapak juga sibuk.

I: Biasanya masalah apa yang sering dicekcokkan?
BJ: Hampir nggak ada yang cocok kalau mereka ngobrol. Bahkan hal sekecil pun. Misalnya soal Mbak Omi pindah-pindah kontrakan. Bapak protes karena susah menghubungi. Mbak Omi kan nggak pernah kepikiran buat punya rumah. Bagi dia kalau masih bisa ngontrak ngapain punya rumah. Di rumah tempat dia terakhir itu masih kontrakan. Barang-barangnya masih ada di sana karena kontraknya belum habis.

I: Pastinya dia menjadi manusia kamar itu sejak kapan? Mahasiswa?
BJ: Mahasiswa semester awal dia masih suka dugem, waktu itu masih satu-satunya di Yogya tepatnya di Borobudur Plaza, hampir setiap malam. Alasannya mengapa dia menyendiri, karena mainnya sudah maksimal, waktu SD main terus, waktu SMP-SMA hampir tidak pernah di rumah, kadang tidur di rumah temannya. Kegiatannya macam-macam, mulai dari tari sampai olah vokal. Pernah waktu SMA jualan bubur di Stadion Manahan Solo, setiap minggu pagi. Waktu SD pernah juga main teater, baris berbaris sampai olahraga. Sejak lulus kuliah itu dia mulai suka menyendiri, kawan-kawannya banyak yang kerja di luar Yogya. Dia tidak tertarik kerja kantoran, akhirnya dia memilih kerja sendiri di rumah.

I: Sebetulnya kedekatan Mbak Bunga dan Mbak Omi seperti apa?
BJ: Dia itu jadi kakak banget, kadang overprotective, melebihi ibu. Waktu kecil dulu kalau ada yang jahat sama saya, Mbak Omi yang membela. Jadi justru Mbak Omi yang berantem. Semisal pulang kemalaman Mbak Omi yang ribut, sementara ibu saya justru tenang-tenang saja.

I: Bacaan kesukaannya apa?
BJ: Kalau dia banyak suka ya, dulu bukunya banyak terus kemudian disortir. Buku-buku Agatha Cristhie dia suka, Enid Bylton dia suka, dari jaman kecil sampai sekarang dia masih simpan, kalau komik dia suka Samurai X. Kalau yang tersisa sekarang ini ya buku-buku sastra. Kalau tentang pers, komunikasi, tinggal sedikit. Kebanyakan sastra.

I: Komunitas apa saja yang masih kerap menyambanginya di rumah?
BJ: Senirupa malah. Dia kan masih menerjemahkan tulisan-tulisan para kurator yang dipesan galeri-galeri. Terakhir dia itu mau bikin buku tentang Ugo Untoro yang lengkap. Tapi belum jadi, eh sudah pergi dia.

I: Menjelang akhir hayatnya apa tak ada sesuatu yang ganjil di luar kebiasaannya?
BJ: Sebetulnya karena sudah terlalu sering jadi tidak punya pikiran adanya firasat, karena memang dia sudah lama berpikir tidak akan berumur panjang. Dia selalu memperlihatkan bahwa garis tangannya menunjukkan umurnya pendek. Terus, dia itu sempat ngomong ke ibu saya (Noel Susenowati, red), ”Bu...aku kayaknya mau mati mendadak lho!” Kita menganggapnya bercanda saja. Malah benar....

Tidak ada komentar: