Sabtu, 21 Juli 2007

Tatto si Bob Mengabadikan Nama Omi

Oleh Rain Rosadi

Bob Yudhita Agung, nama yang tidak asing bagi komunitas seni rupa di Yogyakarta. Pelukis dengan penampilan yang unik. Anda akan langsung mengenali kalau pun misalnya dia berada dalam kerumunan orang. Posturnya yang tinggi dan kurus, rambut dibabat habis di sisi kanan dan kiri, penuh dengan pierching dan asessoris. Yang paling membedakannya dengan orang lain adalah tubuhnya yang penuh tattoo; dari wajah sampai ke ujung kakinya. Salah satu dari tattonya adalah mengabadikan nama seorang perempuan: Omi Intan Naomi.



"Bob "Sick" Yudhita/Foto: Dok Bob)"

Nama Omi Intan Naomi tidak hanya beredar di kalangan seni rupa. Namanya lebih dikenal lewat kolom-kolom budayanya di harian Suara Merdeka. Tetapi penulis yang meninggalkan dunia di usia muda ini terbilang cukup dekat dengan komunitas seni rupa. Salah satunya adalah sebuah komunitas dengan beberapa nama yang bisa disebut: Bunga Jeruk, S. Teddy D., Ugo Untoro, Yustoni Volunteero, dan Bob Yudhita Agung.
Kedekatannya dengan para perupa itu juga terukir dalam catatan-catatan kecilnya mengenai beberapa karya seni yang disukainya. Catatan-catatan itu terselip di antara belantara tulisan-tulisannya yang berhambur dari energinya yang luar biasa dalam menulis. Semua hal ditulisnya, dari gempa bumi di Yogya, halaman di depan rumahnya, budaya masyarakatnya, sampai ke teman-teman dekatnya.

Begitu produktifnya, bahkan menurut pengakuannya, lebih banyak tulisannya yang beredar di Internet ketimbang yang sudah dipublikasikan dalam media cetak. Katanya lebih baik punya stok tulisan daripada dikejar-kejar deadline.

Akan halnya Bob, baginya Omi lebih dari sekadar teman. Dia adalah avant garde-nya dalam mengurangi beban psikologisnya. Omi adalah sosok yang sangat peduli terhadap kawan-kawan perupanya. Bob merasa bahwa Omilah yang banyak mendorongnya untuk tetap bersemangat dalam melukis. Lewat Omilah Bob mengenal media-media lain semacam internet, buku-buku, dan bermacam wawasan dunia.



Bob "Sick" Yudhita dan Putri Indonesia 2004 Artika Sari Dewi/Foto: Dok Bob)

“Omi adalah tempat saya bertanya, dan berpendapat. Dia mengenalkan saya dengan buku-buku, internet, dan banyak hal. Ketika saya mabuk, dialah yang membantu saya mengatasi masalah-masalah kejiwaan saya. Dia memberi perhatian dan membuat saya tetap melukis.”

Omi memang pribadi yang memandang karya seni dengan pendekatan personal. Dalam tulisan-tulisannya, dia tidak berupaya memandang seni dengan kacamata sejarah seni yang kemudian menganalisa karya berdasar penting atau tidak pentingnya dalam sejarah. Tetapi dia lebih mendekatinya secara personal, dan bagaimana karya itu kemudian dinikmatinya. Kedekatannya dengan komunitas perupa pun didasarinya karena kecintaannya terhadap objek-objek karya itu dengan tanpa pretensi. Baginya karya adalah buah tangan dari pribadi-pribadi yang unik dan kreatif.

Tentu saja, kepergian Omi membuat kehilangan masyarakat perupa di tanah air. Selain dikenal lewat tulisan-tulisannya, karya Omi juga tertera melalui terjemahan-terjemahannya baik dalam buku-buku mapun dalam beberapa catalog pameran seni rupa.

Suwarno Wisetrotomo, salah satu kurator papan atas negeri ini mengingat bahwa dengan Omi dia bisa mengandalkan terjemahan bahkan untuk mengejar deadline yang tidak masuk akal.

“Saya pernah ragu untuk meminta bantuan Omi karena waktu yang sangat mendesak. Malamnya saya email ke dia, besok paginya tulisan saya sudah jadi dalam bentuk bahasa Inggris. Saya betul-betul kehilangan teman yang penuh dedikasi seperti Omi Intan Naomi…,” tuturnya pada saya suatu ketika.

Begitulah, kalaupun Bob berada dalam sebuah dunia yang penuh chaos, Omi tetap memberinya tempat sebagai sahabat untuk berbagi. Omi adalah cendekiawan yang berada dalam ekosistem yang sebenarnya. Dia berada di tengah apa yang diperbincangkannya. Sekalipun dekat, tetapi dia mampu menuliskannya dengan analisis yang jernih. Intim, tapi meninggalkan jejak kesan.

* Rain Rosadi, kurator dan staf pengajar di Institut Seni Indonesia Jogjakarta

Tidak ada komentar: