Oleh Fadila Fikriani Armadita, Muhidin M Dahlan, Rhoma Arya Dwi Yuliantri
Ika Dewi Ana adalah doktor lulusan Universitas Kyushu, Jepang, dengan bidang keilmuan Teknologi dan Rekayasa Susbstitusi Tulang yang secara khusus konsentrasi pada Nanobioceramics. Pernah mendapatkan penghargaan sebagai The Most Outstanding Research Presentation” dalam Pertemuan Ahli Biokeramik se-Asia di Jepang (2003) dan penghargaan sebagai “Peneliti Inovatif Terbaik Universitas Gadjah Mada” (2004).
Selain mengajar di Fakultas Kedokteran Gigi, UGM, Ika Dewi Ana juga melakukan penelitian tentang sel dan tulang setelah proposalnya disetujui dalam Scientific Program Indonesia-Netherlands yang diselenggarakan The Royal Netherlands Academie of Arts and Science. Dalam program saban tahun ini, ada 6 proposal yang dipilih untuk Award Spin dari semua bidang ilmu untuk melakukan riset selama dua tahun. Judul yang diajukan Ika Dewi Ana dan diterima adalah “Development of Injectable Carbonate Apatite based on Phasetransformation of Gypsum and Calcium Hydroxide”.
Walau seorang dokter, Ika Dewi Ana adalah seorang penulis dengan minat pusparagam. Semasa mahasiswa ia pernah ikut bergiat di Majalah Mahasiswa UGM Balairung dan selama menyelesaikan program doktornya di Universitas Kyushu, Jepang, ia merintis penerbitan InFos,majalah mahasiswa asing di Fukuoka.
Pada 2002 Ika diminta secara khusus menjadi kontributor situs berita detik.com sebagai peliput sepakbola Piala Dunia 2002. Disela-sela kesibukannya sebagai dokter, Ika Dewi masih bisa menulis cerita-cerita pendek dan beberapa kisar perjalanan studinya. Buku catatan pengalaman belajarnya yang sudah terbit adalah: Tuntutlah Ilmu sampai ke Nippon (2006)
I : Pentingkah seorang dokter menulis?
IDA: Saya kira tidak hanya seorang dokter tetapi setiap orang yang berkecimpung dalam suatu profesi dia penting untuk mengkomunikasikan apa yang dihadapinya sehari-hari. Apalagi kalau itu menyangkut hal yang kira-kira jadi pertanyaan bagi orang banyak yang bermanfaat bagi orang banyak, saya kira perlu dan saya pikir di negara kita sepertinya kita lebih banyak pada budaya dengar daripada menulis yang mestinya harus dikembangkan.Dengan menulis itu kan kita dilatih untuk cermat, hari-hati, daripada budaya bicara atau budaya dengar. Itu kalau menurut saya pribadi.
I: Kalau di laboratorium apa saja yang dilakukan seorang dokter?
IDA: Itu beda-beda. Kalau saya sendiri sepulang dari Jepang, saya mengembangkan 4 macam bahan yang saya buat di lab, yang intinya digunakan untuk sementasi tengkorak seperti lem, untuk keretakan tulang, tengkorak, jaringan keras. Seperti gitulah. Di Indonesia saya coba kembangkan bahan pengganti tulang itu sendiri. Nah yang saya lakukan pertama jelas uji bahan itu sendiri bagaimana sih bahan tersebut bisa menjadi bahan pengganti tulang kemudian kalau sudah berhasil, saya harus menguji sel-sel itu dan mencari yang cocok. Waktu itu saya membeli sel dari Amerika, tapi ternyata hidupnya nggak bagus. Lalu saya mencoba mengambilnya dari tikus. Pertama-tama tikus itu saya bius pelan-pelan dengan cara yang sangat halus dia tidak boleh merasakan sakit. Setelah kita bius dibuka bagian kaki, kita potong, ambil tulangnya, kemudian kita cocok-cocokan. Lalu dari situ keluarlah yang namanya sel-sel pembentuk tulang. Dari sel itulah kita kembangkan. Setelah berkembang sedemikian rupa, sel itu kita pakai untuk mencoba bahan yang sudah dibuat apakah sel tersebut cocok tidak, apakah sel-sel tersebut bisa berkembang tidak, apakah bisa mengalami mineralisasi membentuk sel-sel tulang, membentuk sesuatu yang persis dengan tulang. Kira-kira kerja di lab semacam itu. Tentunya bidang satu dengan dengan bidang lainnya berbeda seperti uji kanker, cloning, dsb.
I: Dengan cara apa dokter mempublikasikan hasil penelitiannya?
IDA: Yang namanya penelitian tentu saja untuk dikomunikasikan. Bentuk publikasinya macam-macam.Pertama lewat tahap ceramah, tapi nantinya harus dengan publikasi ilmiah, levelnya harus meningkat terus dari hari ke hari.
I: Setelah meneliti apakah setiap dokter memiliki catatan kerja. Maksud saya dengan cara apa seorang dokter mencatat hasil-hasil penelitiannya?
IDA: Saya kira ada. Catatan riset itu bernama log book. Ini catatan rinci dari hari ke hari bahkan jamnya harus jelas. Kita tuliskan, misalnya tanggal 15 November 2006, saya melakukan apa mencampurkan zat apa dengan apa, berakhir pukul berapa. Semuanya ini harus kita catat, cara kerjanya bagaimana, apa yang terjadi dan ini ggak boleh disobek.
I: Siapa yang melarang menyobek?
IDA: Biasanya pemberi dana akan mensyaratkan log book. Kalau ada kesalahan, kita hanya boleh mencoret saja kita gak boleh menyobeknya. Ini semua akan digunakan untuk proses pematenan penemuan. Para penguji akan tahu dari sini apa saya mengerjakan semua itu dengan prosedur yang betul. Untuk orang lain ini untuk pertanggungjawaban. Kesalahan apa yang pernah terjadi harus tercatat secara rinci. Ini untuk saya pribadi karena saya harus menulis publikasi berdasarkan ini.
I: Semua peneliti harus punya?
IDA: Seharusnya punya.
I: Seberapa banyak peneliti khususnya di lingkungan kedokteran yang mempublikasikan hasil penelitian dengan cara yang mudah dipahami?
IDA: Saya rasa sekarang ini kebanyakn peneliti masih berbicara di lingkungan sendiri, belum ada yang menuliskannya secara popular dipahami orang lain. Sangat sedikit.
I: Kira-kira siapa saja itu?
IDA: Misalnya Pak Bambang Hidayat. Beliau itu astronom. Dia menjelaskan tentang fenomena alam secara popular. Kalau dulu ada Otto Sumarwoto. Di dunia kedokteran ada Teuku Jacob. Saya paling senang tulisan Pak Jacob. Dia menjelaskan dunia kedokteran dengan gaya populer.
I: Bisa Bu Ika sebut sebuah pengalaman bagaimana Anda pertama kali dilatih oleh seseorang menulis?
IDA: Sejak SMP saya memang sudah menulis. Kalau sewaktu mahasiswa saya ingat betul pada seorang fisikawan di UGM. Dia Pak Seno. Itu guru saya. Kalau saya ke lab-nya biasanya untuk pinjam bukunya. Maklum, saya adalah ‘murid’ kesayangannya. Nah, kalau mau pinjam buku saya disuruh nyapu dulu. Setelah nyapu barulah bisa pinjam bukunya. Tak lupa Pak Seno berpesan: Kamu harus menulis. Tunjukan tulisanmu kalau kamu ke sini lagi. Dari situ akhirnya saya mencoba menulis di Harian Bernas. Meski dulunya sudah pernah menulis, tapi sekarang mulai agak terarah. Itu dari Pak Seno. Dia itu bisa menjelaskan fenomena fisika dengan wayang. Jadi mislanya ketika Bima mencari air purwitasari yang dijelaskannya dengan melihat keterkaitan musim, cuaca, dan ketersediaan debit air.
I: Kembali lagi ke titik semula. Mengapa jumlah dokter menulis sangat sedikit. Letak soalnya ada di mana?
IDA: Saya susah juga menganalisisnya. Seperti yang saya kemukakan tadi budaya kita masih budaya dengar, bukan budaya menulis. Di kalangan mahasiswa saja untuk menulis sepertinya berat sekali. Saya pernah mencoba di satu kelas yang saya ampuh. Oh ya, di kedokteran gigi itu saya mengajar mata kuliah Pengecoran Logam. Di situ saya suruh mereka untuk menganalisis apa penyebab kegagalan, mengapa begini dan mengapa begitu. Tulisannya saya bebaskan bentuknya. Dan hasilnya bagus lho. Jadi menurut saya memang ini soal lingkungan yang tak merangsang orang untuk menulis dan menuangkan apa yang dilihatnya secara bebas.
I: Terkait dengan kultur dan lingkungan pendidikan, barangkali baik juga kalau kita melongok sebentar ke seberang. Bisa diterangkan secara ringkas, bagaimana tradisi pendidikan di Jepang setelah sebelumnya lima tahun Bu Ika belajar di sana?
IDA: Ya, kultur menulis dan meneliti itu memang soal pendidikan. Dan itu sudah dimulai sejak di bangku SD. Di Jepang, anak-anak SD ketika libur musim panas diberi bibit bunga yang sama kemudian ditanam dalam sebuah pot. Masing-masing anak disuruh membawa tanaman itu ke rumah untuk menyiram dan merawatnya. Mereka tidak hanya mengukur tinggi tanaman, tapi juga mencatat apa saja yang terjadi. O, pada hari ini, tanggal sekian, hari libur ke berapa, dilihat o yang tumbuh bunganya warnanya ungu; yang lain menulis: o… bunganya putih. Padahal benih yang diberi benih yang sama. Dari situ mereka bisa belajar mengamati dan sekaligus menuliskan apa yang mereka lihat di atas kertas. Saya masih punya contohnya yang punya anak pertama saya, Neta. Tapi huruf kanji semua lho tulisannya. Nah, sewaktu tiba hari sekolah mereka diminta untuk bercerita. Jadi, tradisi itu memang harus dipupuk sedari SD. Kalau di sekolah dasar di sini kan sangat jauh berbeda. Di sini banyak hapalnya. Pengalaman anak saya Neta misalnya setelah pindah di sini. Pada pelajaran PPKN ada pertanyaan di ulangan umum: Apa yang kamu lakukan kalau kawanmu jadi juara kelas. Dijawab oleh anak saya: Belajar lebih giat. Eh, disalahkan oleh gurunya. Yang benar jawabannya, kata gurunya, memberi ucapan selamat. Di Jepang itu, kalau melihat orang yang lebih maju kita dituntut untuk belajar lebih giat. Ada lagi pertanyaan yang lain: Kapan kamu memakai baju bagus. Nah,pengertian anak saya baju yang bagus itu adalah bersih, rapi, sopan. Dijawablah oleh anak saya: Saya akan memakai baju bagus setiap saat. Jawaban itu disalahkan oleh gurunya. Kata gurunya, baju bagus dikenakan saat ke pesta. Itu sesuatu yang mematikan kreatiitas, olah rasa. Semuanya serba mekanistis.
I: Kalau di Eropa sendiri?
IDA: Hampir sama dengan di Jepang, mereka di ajari untuk mengamati berbagai hal yang kecil-kecil. Mengamati dan menulis kondisi kawannya dan peristiwa yang ada di sekitarnya. Saya melihat mahasiswa di Eropa, bukan hanya menulis, tapi juga melukis. Seni itu penting sekali di sana. Jadi otak kiri dan kanan itu sama-sama dikembangkan.
I: Kembali ke soal log book tadi. Dari melihat buku yang disusun dengan jaringan yang sangat detail itu, bisa disimpulkan bahwa kerja seorang dokter adalah juga seperti kerja seorang novelis yang membeber detail-detail dalam semesta penceritaan. Kalau di tangan seorang dokter, apa tak bisa log book yang berbahasa ilmiah murni itu dikembangkan dalam bentuk tulisan esai misalnya?
IDA: Kalau saya sebenarnya yang biasa saya lakukan selalu ada dua. Pertama publikasi untuk lingkungan saya sendiri, yang sudah ada patokannya mulai dari pengantar, metode, hasil. Tapi saya juga mencoba untuk mempublikasikannya secara populer.
I: Di lingkungan kerja Bu Ika seberapa besar jumlah dokter yang juga peneliti?
IDA: Banyak.
I: Kalau dokter yang peneliti plus yang penulis?
IDA: Wah kalau itu saya nggak tahu jumlah pastinya, tapi sepertinya sedikit sekali.
I: Itu apa penyebabnya?
IDA: Wah saya nggak tahu juga. Barangkali itu tadi karena kita terbiasa segala sesuatunya serba mekanistis dan tidak berani untuk melawan arus.
I: Sebenarnya apa yang dibaca oleh dokter?
IDA: Wah banyak sekali, dari buku ilmiah sampai buku porno. Tapi ada juga dokter yang tidak mau lagi membaca lho. Ini ada kisah nyata yang bagus ayng dilakukan tahun-tahun sebelum saya ke Jepang. Penelitian itu adalah kerjasama Indonesia dan Australia. Dari Indonesia diwakili oleh Clinical Epidemiology and Biostatistics Unit (CEBU) yang dipusatkan di RS Sardjito Jogjakarta, sementara Australia diwakili oleh Australian National University (ANU). Penelitian tersebut ditujukan kepada dokter dan perawat. Salah satu pertanyaannya adalah tentang pemakaian jarum suntik. Dan jawaban yang diperoleh berbeda-beda. Ada yang bilang dibuka plastiknya, tutupnya yang kencang dibuka, obatnya diambil, lalu ditutup lagi, disuntikkan, ditutup lagi, lalu setelah itu dibuang. Macam-macam jawabannya. Setelah itu dikelompokkan untuk focus group discussion. Di situ dipanggil setiap perwakilan kelompok dan ditanya dari mana tahunya jawaban itu. Mengapa bisa berbeda satu dengan lainnya. Lalu ada yang bilang dari seniornya, ada yang menyebut dari dosennya, bahkan ada yang mengatakan karena dia biasa melihat orang melakukan seperti itu. Tak ada seorang pun dari dokter itu yang merujuk pada buku referensi. Fasilitator lalu bertanya kepada semuanya pernahkah membaca buku WHO Precaution. Mereka semua hanya melongo dan tak satu pun tahu buku itu; apalagi isinya. Lalu peneliti itu menerangkan bahwa di dalam buku itu ada petunjuk cara pemakaian jarum suntik yang benar. Caranya, setelah dipakai jarum itu tak boleh ditutup lagi tapi dibuang pada tempat yang berbeda-beda. Soalnya, kalau ditutup lagi dan Anda berada di ruang gawat darurat, sedangkan yang datang itu barangkali mengidap penyakit berbahaya, kan jarum suntik itu bisa terpakai lagi gara-gara Anda buru-buru. Jadi, semua petunjuk itu ada pada buku. Jadi, dokter tak mau lagi membaca, tak mau lagi bertanya pada buku.
I: Bu Ika, ini pertanyaan kecil tentang sesuatu yang sepele. Kenapa tulisan dokter jelek?
IDA: Tulisan saya bagus lho! Hehehehe. Malahan karena tulisan saya ada teman yang ngeledek bahwa Bu Ika ini tak cocok jadi dokter, tapi seorang arsitek, gara-gara tulisan tangan saya. Kalau tulisan dokter itu jelek, saya nggak tahu pasti ya. Namun sebenernya nggak ada aturan untuk menjelek-jelekan tulisan. Saya kira itu mitos. Kuncinya yang pasti adalah bahwa seorang pasien harus tahu betul apa yang diberikan kepada dia.
I: Jika Bu Ika menulis tentang kedokteran, jenis tulisan apa yang akan dipilih?
IDA: Saya akan menulis feature. Tentu saja itu berdasarkan referensi, catatan harian, atau apalah. Mungkin jurnalisme ketaksadaran. Jurnalisme jenis ketika menulis seperti orang mabuk. Tapi orang mabuk yang bisa dipahami orang. Sesuatu yang sedang kita tulis tapi melahirkan sesuatu yang lainnya. Kejadian itu berlangsung tanpa kita sendiri menyadarinya. Itulah jurnalisme ketaksadaran yang saya pahami. Misalnya, ketika saya menjelaskan tentang tulang, tentang sel, tentang dunia kedokteran, sebetulnya saya sedang menjelaskan tentang eksistensi manusia. Hal-hal seperti itulah yang masuk dalam jurnalisme ketaksadaran. Menangkap koneksi-koneksi tersembunyi yang terjadi di alam.
I: Lima buku yang paling disukai Bu Ika?
IDA: Pergolakan Pemikiran Islam-nya Ahmad Wahib. Buku itu saya sudah baca pada saat saya duduk di SMP V Jogja. Nah, dari buku itu saya bisa tahu tentang keseharian kita ternyata bisa juga berguna bagi orang lain. Kemudian Emak karyanya Daoed Jusuf. Dia bisa menceritakan pemikiran emaknya yang sederhana melalui cara yang sangat filosofis. Ada juga triloginya James Redfield: The Celestine Prophecy, The Tenth Insight, dan The Secret of Shambala. Dia itu seorang psikiater dan menuliskan petualangan tokohnya dengan sangat menarik dan menjelaskan secara baik pula apa yang disebut pemikiran significant coinsidence.
I: Penulis yang paling disukai?
IDA: Teuku Jacob, dia sangat bagus menjelaskan fenomena sosial, fenomena alam, dan sebagainya.
I: Kalau buku ilmu pengetahuan?
IDA: Saya kira buku The Turning Point-nya Fritjof Capra. Ada lagi Mandelbrot, penulis buku Fractal Geometry.
I: Oke Bu Ika San. Terimakasih banyak atas percakapannya.
IDA: Sama-sama. Silakan… silakan dicicipi kuenya.
Sabtu, 04 Agustus 2007
“Dokter tak Mau Lagi Membaca, Tak Mau Lagi Bertanya Pada Buku”
Diposting oleh [I:BOEKOE] di 18.54
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
:: Awal :: Kliping :: Esai :: Resensi :: Tips :: Tokoh :: Perpustakaan :: Penerbit :: Suplemen Khusus :: Buku Baru :: Undang-Undang ::
1 komentar:
saya kenal ika sejak sma. tulisannya ada hampir di setiap terbitan sigma - majalah sekolah kami. namanya terlintas lagi ketika saya jalan2 di gramedia, nyari buku, eee ketemu buku yang ditulisnya mengenai seluk beluk sekolah di jepang. Kemudian saya coba browse , nanya2 pak google...wuih udah jadi orang hebat dia sekarang...lha pas pulang yogya, nengok teman, lha kok ika salah satu dokter gigi yang prtaktek di klinik punya dia...lengkaplah sudah...semoga Tuhan selalu menyertainya dalam setiap langkahnya dalam mengabdi kepada kemanusiaan
Posting Komentar