Sabtu, 04 Agustus 2007

‘Malpraktik’ dari Digul

Oleh Muhidin M Dahlan

Digul adalah ingatan tentang gelap sejarah politik Indonesia. Ia adalah—pinjam istilah mantan digulis Hatta—adalah ‘neraka dunia’ yang diciptakan penguasa Hindia Belanda, Gubernur Jenderal De Graeff di awal-awal 1927 sebagai tempat buangan para aktivis.

Memang tak ada tembok-tembok besar yang mengurung di sini. Sebab rimba dan paya-paya kaya nyamuk cukup menebar horor yang menggetarkan bagi siapa pun; walau ia seorang aktivis pergerakan keras kepala sekokoh Marco Kartodikromo. Menurut kabar, hanya satu orang berhasil lolos dari tangkaran dataran terpencil di udik Papua ini. Dia adalah Sanjoyo, murid Dr Tjipmangoenkoesoemo di Indistje Partij, yang kemudian menjadi tukang cukur di Australia.

Digul memang bukan Gulag yang penuh dengan lampu sorot, para sipir siaga siang malam memegang pecut dan mengokang senapan, serta tembok-tembok raksasa. Di Digul justru rumah ibadat, warung-warung, ‘rumah sakit’, bahkan bioskop, tersedia. Jika kemudian Digul menjadi sangat menakutkan, tiada lain, karena pembunuh terbuas di sana adalah rasa bosan yang membunuh harapan. Setiap orang yang berada di sana mesti berjuang mati-matian menjaga kewarasan agar tak jatuh menjadi gila. Di Digul menjadi pelamun adalah alamat dekat disesap gangguan jiwa. Keterpencilannya itulah yang menciutkan nyali.

Jika kemudian ada orang mampu berbuat sesuatu di tanah yang dikurung rimba dan gunung-gunung ini, pastilah dia adalah pribadi-pribadi papilon. Dr John Manangsang adalah salah satu papilon yang bukan hanya luput dari ‘gangguan jiwa’, namun dengan kedua tangannya bisa membangkitkan inspirasi bagi siapa pun yang bersetia bagi kemanusiaan.

Jangan membayangkan dr John Manangsang seangkatan dengan dr Tjipto Mangoenkoesoemo yang hidup di Digul ketika Indonesia masih dalam embrio. John Manangsang adalah dokter muda sebuah puskesmas saat Indonesia berada di puncak-puncak pertumbuhan ekonominya atau kerap disuarakan aparatus Orde Baru dengan keyakinan membulat: “Tahun-Tahun Emas Indonesia”.

Dr John sejatinya adalah dokter ‘lugu’ dengan satu keyakinan: “dokter adalah mereka yang disumpah dan bersumpah untuk membaktikan hidup mereka guna kepentingan kemanusiaan; menjalankan tugas dengan cara terhormat, bersusila sesuai martabat pekerjaan mereka; kesehatan penderita akan senantiasa diutamakan,... setelah itu para dokter pun pergi menyebar ke pelosok-pelosok nusantara, bahkan sampai pada tempat yang tak terbayang oleh manusia lain...”

Dalam riwayat termutakhir ilmu kedokteran yang tunduk pada hukum-hukum ekonomi dan teknologi supracanggih, tindakan yang diambil dr John adalah sebuah anakronisme dari humanisme kedokteran klasik.

Dr John sebetulnya bisa mencecap kehidupan yang lebih baik sebagai dokter di RS Tjipto Mangoenkoesoemo karena ia alumni kedokteran di Universitas Indonesia dengan tingkat ketekunan di atas rata-rata bagi teman-teman sealmamaternya. Namun dr John memilih untuk kembali ke Digul, ‘neraka dunia’ di mana dr Tjipto pernah dipendam pemerintahan kolonial karena sepak terjang politiknya bersama Indistje Partij.

Jakarta dan Digul adalah langit dan bumi. Tapi praktik-praktik kedokteran dipraktikkan dalam komposisi dan ilmu yang sama karena sama-sama melayani manusia yang sama sebagai pasien. Kesederhanaan, kehangatan, kesetiaan, serta keberanian dr John mengambil tindakan-tindakan medis selama 2 tahun (1990-1991) di Digul menjadi teror bagi siapa pun yang memihak pada kemanusiaan.

Teror itu kemudian dibagi dr John dalam buku berjudul luar biasa panjang ini: Papua Sebuah Fakta dan Tragedi Anak Bangsa, Pergumulan Etika, Moral, Hukum, Sosial, Budaya, Kedokteran, SDM, dan Kemanusiaan; Refleksi 15 Tahun Pasca Kisah Nyata: “Catatan Seorang Dokter dari Belantara Boven Digul dan Komentar Para Pakar Indonesia”.

Seperti seorang novelis yang telaten merinci detail yang mengguncang, dr John mamapas dengan sangat rinci setiap detik dalam sebuah operasi darurat pasien-pasiennya di puskesmas sederhana dengan alat-alat operasi yang membuat bulu kuduk berdiri, seperti silet untuk membelah perut dalam operasi sesar dan mencocor anus yang buntu; atau tang dan pahat untuk mamapas tulang lutut.

Buku ini juga bercerita dengan sangat efektif dan membius tentang perjalanan panjang 90 hari dalam sebuah ‘pawai pengabdian’ yang oleh dr John dinamai: Program Puskesmas Keliling Jalan Kaki ke semua desa di Kecamatan Mandobo, Boven Digul.


SETELAH BERJALAN kaki seharian mengelilingi punggung bukit, menyeberangi sungai-sungai kecil, melewati titian kayu, tanah basah yang berlintah, sampailah dr John bersama aparat kecamatan di Desa Patriot, sebuah desa-tua yang kurang terurus. Dari Patriot, dr John mendapati seorang pasien, Nyonya Basilia namanya, yang sudah bertahun-tahun hanya terbaring di atas bale-bale dengan mendekamkan penyakit kista ovarioum permagna. Orang Papua, apalagi orang gunung seperti keluarga Nyonya Basilia, tentu tak tahu penyakit apa itu, selain kutukan. Bertambah lagi heran mereka ketika dr John bilang, penyakit itu hanya bisa diobati dengan jalan operasi. Mereka tak tahu operasi. Setelah dijelaskan bahwa operasi adalah membelah perut dengan pisau tajam untuk mencauk penyakit besar yang ada di dalamnya, sontak semuanya pada begidik.

Dr John lalu memberitahu jika mereka setuju, turunlah ke Tanah Merah. Dan benar, setelah sepekan kunjungan itu, tepatnya hari Jumat, sekeluarga warga itu turun gunung menandu Nyonya Basilia dengan berjalan kaki selama dua hari. Dr John mengatur jadwal agar operasi dijalankan pada malam minggu karena listrik bisa menyala sampai jam dua dini hari. Dengan begitu mereka mendapati banyak waktu bekerja dengan alat-alat yang butuh bantuan daya listrik. Mental perawat dan alat-alat operasi pun disiapkan.

Namun pada siang itu pasien yang mau melahirkan anak pertamanya datang. Di sinilah dilema dan sekaligus ‘malpraktik’ itu dimulai. Kedatangan Nyonya Maria Pinem yang diantar suaminya membawa kegawatan yang lain. Setelah melalui serangkaian pemeriksaan, ditemukan kepala bayi yang mau lahir cephallopelvic dysproportion, yakni kepala janin terlalu besar untuk lahir melalui panggul guru SMP Negeri Tanah Merah yang kecil itu.

Dr John pun lemas dan untuk kemudian ia berterus terang kepada suami Nyonya Maria bahwa operasi sesar harus dilakukan sekarang juga kalau ibu dan bayi yang dikandung selamat. Maka tanpa banyak waktu lagi, operasi sesar pun dimulai. Karena mungkin khawatir fisik istrinya lemah, diam-diam Pak Sinurat mengambil beberapa butir telur ayam dan mengocoknya dengan susu kental untuk diminum istrinya.
Sementara tim dr John mempersiapkan kamar operasi. Daun jendela kamar operasi dibuka lebar-lebar untuk mendapatkan oksigen alam sebanyak-banyaknya. Alat-alat operasi yang rencananya buat Nyonya Basilia, dialihkan untuk sesar. Beberapa perawat puskesmas seperti Bidan Anotneta, Suster Bernadina, Mantri Petrus, Mantri Adrianus, Ancelina, Hermina, Lidia, dibagi dr John dalam beberapa satuan tugas. Tapi jangan bayangkan asisten operasi ini setrampil dengan suster dan perawat di mkota-kota besar. Mereka yang membantu operasi ini sangat asing dengan ilmu dan dengan prosedur operasi. Pendeknya, ini adalah pengalaman pertama. Namun dr John mau tak mau mempercayakan mereka karena cuma ini pembantu-pembantunya yang disediakan Digul, sementara pasien harus mendapat penanganan cepat. Pemeriksaan kondisi pasien dilakukan. Dan operasi pun dimulai.

Perut dibelah. Uterus tampak menggelembung. Plika vesikouterina disayat melengkung membentuk bulan sabit dan kandung kencing disisihkan dengan jari ke bawah. Uterus lalu disayat dengan jalur membentuk U, ditembus dan dilebarkan secara tajam. Tampak seorang bayi bergerak-gerak. Bayi yang beratnya 3,8 kg dan nilai apgar 5/10 ditarik keluar bersama ular-ularan plasenta. Setelah perut itu bolong, giliran penjahitan tiba. Bekas sayatan dijepit dengan 3 buah klem jaringan (dan hanya 3 itu yang tersedia)untuk mengatasi pendarahan melimpah dan menghalangiproses penjahitan. Beberapa kali dr John menciduk darah dengan kedua tangannya dan berburu dengan waktu dengan beberapa jahitan penghentian sumber pendarahan. Terbatasnya klem membuat dr John memerintahkan tangan-tangan asistennya untuk menjepit sambil menunggu giliran dijahit.


Berhasil. Nyonya Maria kemudian sadar pada 20 menit kemudian dengan tekanan darah 100/60/mmHg, nadi 110 kali per menit, frekuensi napas 28 kali per menit dan hemoglobin darah 7gr%.

Sabtu esoknya, dr John mengunjungi pasiennya di ruang nifas. Nyaris semuanya berjalan normal. Soalnya tinggal satu, Nyonya Maria belum juga kentut. Karena itu dr John izinkan minum air hangat sedikit-sedikit. Sorenya, Nyonya Maria tak juga kentut yang membuatnya mengizinkan untuk diberi makan bubur karena pasien sudah lapar.

Perawat-perawat yang sebelumnya dicucuk ketegangan dan kelelahan yang luar biasa, kini harus mempersiapkan kembali operasi Nyonya Basilia. Awan bergulung-gulung di cakrawala Digul. Curah hujan turun tiada tentu. Baju steril operasi yang terpakai hari kemarin tak juga kering. Dr John pun memutuskan untuk pakai baju biasa saja. Sebab jangan sampai hanya gara-gara baju operasi tak kering, operasi ditunda. Sebab bagi orang Papua janji yang ditepati adalah kata kunci untuk merebut kepercayaan mereka. Sekali ingkar seumur-umur mereka memandangmu asing dan penuh syak.

Sebagai upaya sterilisasi, kain duk besar dan berlubang diseterika. Tim seksio kembali berkumpul jam 7 malam. Kali ini mereka hanya berpakaian biasa, sementara dr John hanya memakai kaus oblong berleher bulat dan bercelana pendek. Tak ada kendala dalam proses pengangkatan tumor Nyonya Basilia. Tumor itu tampak putih dengan bagian-bagian transparan yang dialiri pembuluh-pembuluh darah besar dan kecil bagaikan cabang-cabang akar bahar di permukaan tumor yang telah mengisi seluruh rongga abdomen.

Tubuh Nyonya Basilia pun terasa sangat ringan setelah operasi selesai.

Badai sudah berlalu? Justru di sinilah drama itu dimulai setelah semuanya digaruk rasa lelah yang teramat sangat. Ini diketahu setelah dr John menengok kembali Nyonya Maria yang tampak menjerit-jerit kesakitan. Perutnya kembung. Benang-benang jahitan menegang dan seakan mau putus.

Waktu menunjuk pukul 22.05 WITA. Di kota-kota besar, jam segitu tak ada masalah. Tapi di Digul, saat-saat itu adalah pertanda listrik akan segera padam (jam 12malam!!). Pembantu-pembantunya pun semuanya istirahat di rumah masing-masing. Dengan gugup, dr John memberitahu pasien malang itu, bahwa operasi ulang harus dilakukan karena dalam perut sang pasien ditemukan sesuatu yang tak beres. Suami pasien hanya bisa bercucuran air mata mendengar keputusan itu, sementara Nyonya Maria hanya terlentang sakit dan kepayahan.

Berpacu dengan waktu, dr John menyuruh perawat piket membangunkan semua pembantunya. Perawat yang lain diperintahkannya mencuci alat-alat operasi dan kain duk. Dr John sendiri bergegas menghubungi kepala PLN agar memanjangkan waktu pemadaman. Apalagi yang dioperasi adalah keponakannya sendiri.
“Apa tidak bisa operasi itu ditunda besok pagi?”
“Tidak bisa, harus sekarang!”
“Kalau begitu jam berapa operasi dimulai dan berapa jam butuhnya?”
“Pertanyaan Bapak tak bisa saya jawab sekarang, sebab alat-alat operasi baru diterilkan dan tenaga medis baru dibangunkan satu per satu. Itu pun kalau mereka mau. Sementara apa dalam perut itu baru diketahui setelah perut terbuka.”

Negosiasi itu menghasilkan keputusan: PLN memperpanjang nyala listrik satu jamhingga jam satu dini hari. Apa boleh buat, dr John pun bergegas menyiapkan apa saja yang bisa disiapkan. Walau sudah bersicepat, ternyata persiapan itu baru ‘selesai’ pada pukul 12.20 menit.

Sebelum prosedur anestasi dan operasi dimulai,dr John menelpon Kepala PLN yang memberitahu bahwa operasi baru saja dimulai yang justru Kepala PLN itu mengira operasi sudah selesai. Dengan gusar, Kepala PLN itu bertanya: “Apa bisa operasi dalam sejam?”

Dengan dongkol, dr John menjawab: “Bisa!”

Dan ini berarti lampu menyala sampai pukul dua dini hari. Operasi pun dimulai pada pukul 00.50.

Dan inilah adegan menegangkan di ruang operasi yang sama sekali jauh dari ruang operasi yang distandarkan ilmu kedokteran di helai-helai buku utama.

Baca catatan dr John berikut ini:

- Pukul 00.50 kami memberikan suntikan premedikasi dengan valium dan sulfat atropin. Tujuh menit kemudian disusul dengan ketalar 1 mg/kg berat badan. Pasien pun terlelap.
- Dalam keadaan a dan antisepsis, kubuka kembali jahitan-jahitan dari benang silk dikulit perutnya dengan menggunakan sebuah gunting berujung tumpul. Saat itu tepat pukul 01.00 dinihari.
- Tatkala membuka benang-benang di selaput peritoneum, seketika itu juga sebagian usus yang telah penuh berisi udara dan sedikit cairan melejit keluar, berhamburan ke atas kain duk yang menutupi tubuhnya.
- Secara sistematis kutelusuri dan kekeluarkan usus ke atas pertunya, mulai dari usus 12 jari, usus halus sepanjang hampir 5 meter, membelok ke daerah usus buntu, naik menelusuri usus besar kanan, membelok lagi ke kiri menyususri usus besar trasversum, dan terakhir turun menyusuri usus besar kiri. Ternyata... pada sepertiga tengah dari usus besar kiri (colon descenden) terjadi puntiran usus yang nyaris saja mendatangkan maut itu! Di situ ngendon kuning telur yang telah membatu.
- Puntiran usus itu baru saja terjadi bersama dengan gejala yang datang tiba-tiba beberapa jam yang lalu.puntiran usus itu tampak berwarna pucat dan merah seperti terlah terjadi pendarahan dalam selaput usus. Aliran dinding dalam dinding usus terjepit, terhambat, dan serbaut-serabut saraf tak lagi mendapat oksigen dan darah (ischemia) sehingga menimbulkan rasa nyeri yang tak tertahankan dan menjalar ke seluruh tubuh sampai ke ujung rambut dan sumsum tulangnya.
- Segera puntiran usus tersebut dilepaskan dengan mengenakan kedua tangan secara hati-hati.
- Beberapa menit kemudian warna usus di bagian puntiran kembali mendekati normal, yang tadinya pucat kini tampak merah muda,sedangkan yang tadinya merah gelap kebiruan berangsur-angsur menjadi merah muda pula. Sayangnya saya tak memperhatikan skibala (beluran feses) yang menjadi penyebab puntiran usus itu.
- Seketika itu hatiku lega kembali di tengah-tengah keletihan yang amat sangat, ditambah lagi rasa stres lantaran diburu-buru datangnya gelap gulita deadline PLN padahal pekerjaan belum selesai.
- Sebelum usus-usu itu kumasukkan kembali ke tempatnya, kuperiksa sekali lagi keadaan uterus untuk memastikan apakah ada juga masalah di sana. Ternyata tidak ada. Uterus dalamkeadaan baik dan aman.
- Kini tiba saatnya memasukkan usus-susu yang telah kembung berisi udara dan air itu ke tempatnya masing-masing.dengan sedikit tekanan saya berusaha memasukkan satu per satu sambil menutup kembali luka operasi hingga tinggal beberapa sentimeter untuk memasukkan sisa usu yang masih berada di luar.
- Tetapi ternyata udara dalam usus begitu membandel ditambah dengan stadium serta relaksasi usus oleh anestasi yang sudah tak bisa dibuat lebih dalam lagi. Ini membuat sebagian usus besar tak dapat dimasukkan kembali sama sekali. Rongga abdomen sudah penuh sesak!
- Tiba-tiba Suster Vin berteriak, “Tekanan darah turun, Dok! Dari 90/60 menjadi 60/30.”
- Kutanya lagi, ”Jantung?” “Lup-duk, lup-duk, lup-duk,” tiru Mantri Adrianus mengikuti bunyi jantung, terdengar pelan dan agak jauh. Astaga! Ini bahaya! Rasanya ingin saya lepas sarung tangan untuk mengecek langsung, tetapi niat ini segera saya urungkan karena mengingat tidak akan ada alagi sarung tangan steril cadangan yang dapat dipakai nanti apabila hal ini kulakukan.
- Karena itu saya hanya dapat berkata, “Guyor infusnya! Yang lain coba pergi keluar minta donor sukarela golongan darah O dari pihak keluarga!”
- Beberapa saat setelah penambahan kecepatan tetesan infus NaCl 0,9%, tekanan darah naik lagi menjadi 80/40.
- Melihat tekanan darah kembali naik, saya bermaksud melanjutkan pekerjaan memasukkan usus yang masih tertinggal di luar. Namun karena usus yang masih di luar cukup banyak dan tidak memungkinkan, maka saya berpikir untuk melakukan decompresi usus lewat hidung. Tapi masalahnya, para pembantu setiaku ini belum mahir melakukan itu. Lagi pula saya khawatir hal itu dapat merangsang serabut saraf vagus yang bisa-bisa menyebabkan jantung berhenti secara tiba-tiba.
- Dalam keadaan amat genting seperti ini, saya betul-betul bingung dan kehabisan akal. Keringat dingin mengalir dengan deras. Mau melakukan decompresi lewat lubang anus? Praktiknya sulit dilakukan pada posisi dan keadaan seperti ini. akhirnya diputuskan untuk memasukkan sisa usus yang masih tertinggal di luar dengan sedikit paksa, siapa tahu bisa berhasil.
- Kedua tangan Mantri Petrus menahan usus yang sudah berada di dalam perut agar jangan sampai keluar lagi, sedangkan saya berusaha memasukkan usus-usus itu. Usaha ini pun tidak berhasil, usus tetap membandel.
- Perasaanku semakin tidak enak. Jantungku berdebar-debar kuat sementara para pembantu setia yang semuanya penuh dedikasi itu terus memperhatikan ekspresi wajahku. Ini dikarenakan waktu itu aku teringat batas waktu untuk kami bekerja di bawah terang lampu listrik hanya satu jam. Sekarang tinggal 5 menit dari batas waktu dijanjikan, padahal pekerjaan masih jauh dari selesai, dan pasien pun terancam keselamatannya.hati kecilku mencoba untuk menghibur diri, “Ah tak mungkin PLN memadamkan lampu dan sentral sebelum ada kabar dari kami.” Tetapi untuk berjaga-jaga, Agus dan Thomas kuminta untuk menyalakan lampu petromaks.
- Sekali lagi, kami coba memaksakan usus yang tinggal sedikit di luar tubuh untuk masuk ke dalam perut. Tetapi tiba-tiba saja tubuhku terasa lemas;lututku terasa ngilu dan longgar. Saya hampir tak berdaya lagi untuk berdiri... karena melihat bagian usus yang mengalami puntiran dan rapuh itu bocor! Tak ayal lagi, feses keluar dan mencemari rongga perut.
- Tiba-tiba Suster Vin berteriak lagi, “Dokter! Tensinya turun lagi, 50/30 mm Hg!”
- Saya sambar dengan jawaban cepat, “Suntikkan adrenalin 0,5 ml ke dalam kolf NaCI 0,9% dan tetesan infus dipercepat, diguyur!”
- Di saat-saat penuh pergumulan yang sangat menegangkan itu bagai ‘berpacu dalammelodi maut’, tiba-tiba seluruh ruangan pet: menjadi gelap gulita. PLN benar-benar memegang janji,tanpa kompromi mematikan lampu tepat pukul 02:05 dini hari.
- Hati saya benar-benar sedih dan emosiku naik sampai ke puncak ubun-ubun... saya pun tertunduk dan coba merendahkan kesesakan hati dengan memanjatkan doa yang bisa didengar oleh semua yang hadir di ruang operasi itu....
- Saya bangkit lagi saat lampu petromaks telah menyala terang di atas tangan, di samping atas-belakang medan operasi. Kini dapat kami lihat lagi usus yang robek itu, dibantu sorotan dua buah lampu senter di samping kanan-kiri saya. Pekerjaan dapat dilanjutkan lagi. Sementara tekanan darah berkisar antara 70/50-80/60 mmHg.
- Mantri Alex diberi tugas menghangatkan beberapa kolf cairan NaCI 0,9% dan RL dalam air rebusan di dapur puskesmas, sedang saya sendiri dan Petrus mengurut-urut udara dan feses dalam tabung usus untuk dikeluarkan melalui luka robek yang ada. Dengan demikian volume usus menjadi sangat berkurang dan mengecil sehingga semua usus dapat dimasukkan kembali ke dalam perut di tempatnya masing-masing tanpa ada kesulitan. Memang, inilah yang disebut blessing in disguise, bahwa muncul masalah baru, yakni bocornya usus dan keluarnya feses. Tetapi kebocoran justru memberi jalan keluar atas masalah yang hampir membuat kami frustasi berat,yaitu membandelnya usus!
- Setelah isis usus dikeluarkan secukupnya,kami melakukan pencucian rongga perut dengan larutan NaCl dan RL hingga bersih.
- Pekerjaan berikut adalah melakukan sayatan luka baru pada luka robek itu, kemudian menjahit kembali dengan beberapa jahitan benang cut gut halus. Kemudian dilakukan pengetesan apakah masih ada kebocoran ataukah memang sudah rapat betul.
- Setelah yakin betul bahwa pekerjaan menambal usus sudah tuntas,sekali lagi kami mencuci usus dengan sisa larutan antibiotikdalam NaCl 0,9%.
- Tubuh saya basah kayup oleh keringat mentah dan air cucian usus yang bau busuk menusuk. Kami berdiri di atas genangan air cucian usus itu. Terasa dingin sekali ditambah hembusan angin dingin di pagi buta masuk melalui jendela yang sengaja dibuka lebar,sebagai sumber O2 dan AC alam.
- Dan operasi selesai pukul 04.10 subuh.
- Tapi itu belum selesai. Ancaman lain adalah infeksi bakteri E Coli yang harus ditangani dengan antibiotika tingkat tinggi. Penisilin dan streptomisin tidak cukup.
- Namun untunglah Nyonya Dokter Dresser di Senggo beberapa waktu lalu memberi 5 ampul gentamisin.
- Sepulang dari mengantongi gentamisin, Suster Vince datang dan berkata: “Dok, suhu badan Ibu Sinurat 39 derajat Celcius, badannya menggigil dan tampak amat payah.”
- Saya bergegas menghampiri pasien dan langsung menyuntikkan ylomidan 2 cc dan gentamisin.dari situlah Nyonya Maria berbisik lirih: “Saya tak tahan dokter, tolong anak dan suamiku.” Dia sungguh membutuhkan darah dan antibiotika.
- Tapi ini subuh hari. Dan sungguh panjang menanti pagi.... Lalu datanglah Bapak Tambunan, rekan guru Nyonya Maria, yang sengaja datang menjenguk. Saya segera menanyainya, “Apa Bapak bergolongan darah O?” Jawab: “Ya, dokter!” Saya sambung lagi: “Apa Bapak bersedia memebri sedikit darah untuk Nyonya Maria? Ia sangat membutuhkan darah!” Beliau sangat kaget dan tampak di wajahnya rasa takut, “Saya belum biasa, ... saya takut.” Dan tanpa banyak berbasa-basi, ia cepat keluar dan pergi...
- Dan saya pun memutuskan untuk membawa Nyonya Maria ke RSUD Kabupaten Merauke. Dan kebetulan hari ini Senin di mana akan datang pesawat Twin Otter dari Jayapura-Tanah Merah-Merauke.
- Namun untuk naik pesawat diketinggian tertentu butuh hemoglobin (Hb) yang cukup untuk keperluan transpor oksigen dari paru-paru ke sel-selotak. Karena itu mutlak diperlukan darah.
- Dengan berat hati saya memaksa para perawat yang berdarah O untuk donor. Dan Bidan Vince menyanggupi itu, walau saya tahu dia sangat lelah karena sudah 4 hari nonstop terbenam di kamar operasi ini. Kini kami mencari satu kantong darah lagi yang kemudian kami peroleh dari Mantri Hans yang Jumat sebelumnya sudah menyumbangkan darah untuk Nyonya Suruto.
- Dengan persiapan yang serbacepat dan tanpa ada jeda istirahat sama sekali, akhirnya Nyonya Maria bisa diangkut.
- Singkat cerita, Nyonya Maria bisa selamat dari maut.



LAIN WAKTU, lain pasien, di kamar yang sama. Operasi sesar dimulai dengan kepanikan serupa. Stok peralatan puskesmas di bawah minimum. Kasa steril tak punya dan harus meminjam dari kesusteran sementara pisau operasi habis terpakai. Mobil ambulance keluaran zaman prasejarah sudah lama mangkrak karena terbalik sehabis menubruk tebing dalam sebuah program puskesmas “keliling jalan kaki”. Sterilisator memang sudah dibawa ke perumtel untuk dipanaskan, namun listrik di perumtel tak cukup kuat untuk memanaskan. Jalan darurat pun diambil: sterilisator itu direbus manual di belakang puskesmas.

Tampaknya semua sudah siap di meja operasi. Namun dr John dikagetkan oleh teriakan perawat: “Pisau operasi habis dan tak ada satu pun yang tersisa untuk operasi ini.” Karena tak boleh menunda operasi hanya karena soal pisau, dengan spontan dr John merogoh sakunya dan mengeluarkan uang seratus rupiah.”Tolong belikan silet Tiger di salah satu kios terdekat.” Silet itulah yang dipakai untuk membelah perut pasien.

Saat operasi atresia ani atau lahir tanpa lubang anus, dr John pun dihadapkan pada fasilitas yang minimum. Ia sudah menghubungi rekan-rekannya yang berada di kota untuk mendapatkan secuil informasi dan kalau bisa sekaligus dengan alat, namun jawaban yang diterima adalah pasien mesti dirujuk. Namun dr John tak mau merujuk pasiennya lantaran keterbatasan ekonomi. Maka ia pun mengambil jalan nekat dalam sebuah operasi buta. Bermodal sepotong patahan silet yang berbentuk segitiga yang dijepit pada ujung klem, sebuah obeng pencongkel gigi, sebuah trokar besi tajam penembus otot, sebatang sonde pengukur dalamnya dan posisi kandungan, sebuah spekulumk hidung, sebuah tabung spuit besi penyemprot gliserin ke dalam lubang anus, dan sebuah gunting. Dan operasi itu pun dimulai tatkala mata silet itu mencocor lubang anus yang buntu itu.

Dalam kesempatan operasi yang lain, pahat yang biasa untuk pertukangan pun hadir sebagai “tamu kehormatan” di kamar bedah dr. John. Pahat—dan juga palu—digunakan untuk pasiennya yang terkena artodesis atau kekakuan sendi. Alat itu digunakan dr John untuk sebuah operasi memahat sendi lutut manusia. Inspirasi memahat lutut itu justru muncul ketika operasi sudah separuh jalan dan ia menemui jalan buntu. Di saat putus asa itulah ‘kreativitas’nya muncul. Ia memerintahkan perawatnya mencari pahat, obeng, dan martil di tetangga puskesmas lalu direbus serta disirami alkohol 70%. Setelah itu ujungnya dibakar. Untuk letak yang sempit, pahat diganti dengan obeng. Dan operasi ‘kreatif’ itu berhasil membuat senyum pasiennya merekah dan ia bisa berjalan lagi.

Dr John Managsang mengerjakan semua pekerjaan penyelamatan jiwa manusia yang bertarung dengan penyakit-penyakit mematikan itu tanpa buku penuntun. Ia kerap hanya mengandalkan imajinasinya dengan mencoret-coret garis yang dilewati pisau pada secarik kertas atau di tubuh pasien. Menghadapi situasi minimnya peralatan kedokteran dan ilmu yang pas-pasan, dr John lalu mengandalkan insting, keberanian,dan harapan yang dipacu pasiennya bahwa dr John adalah dewa penolong. Ia adalah wakil Tuhan yang bisa membantu mereka bisa tawar-menawar dengan maut, walau tak setiap usaha yang dilakukan dr John membuahkan hasil alias banyak juga pasiennya yang meninggal dunia akibat kegagalan operasi yang dilakukan.

Sayatan silet, hentakan martil yang menghantam gagang pahat dan obeng, serta listrik yang byar-pet yang berada di jantung puskesmas Tanah Merah adalah simbol sempurna bahwa Papua tetaplah pedalaman gelap. Lewat alat-alat operasi yang sangat sederhana itu, kita diberitahu begitu memprihatinkannya kawasan yang pernah menjadi sengketa dengan Malaysia pada 1964 itu yang kemudian dikenal dengan istilah “Ganjang Malaysia. Di Papua itu pula lahir traktat bersejarah bertitel: “Dwikora”.

Tapi dr John bukan sosiolog atau sejarawan atau antropolog yang perlu melumat serigit-rigitnya data-data kondisi kemakmuran di pedalaman Papua dan memberitahu bahwa Papua betul-betul gelap dan gersang. Ia hanya cukup menceritakan kisahnya di ruang operasi sempit dengan segala anakronismenya. Di sana, bertumbuh harapan dan daya hidup yang sekaligus berdiri rapet bersisian dengan penyakit dan kuntitan maut.

Kesaksian yang coba dituturkan dengan rinci oleh buku ini—disertai sekira 50 gambar-gambar pasien yang berdarah-darah di meja operasi—adalah teror mental dan pedalaman kemanusiaan. Bukan saja kepada para dokter muda yang ingin mengabdi di pojok-pojok Nusantara yang bahkan kondisinya tak terjangkau oleh nalar, hingga pemangku-pemangku kebijakan publik di pusat-pusat kekuasaan.

Dan memang Digul tetap menjadi teror dan ‘neraka dunia’. Namun bedanya kini adalah anakronisme, sebab ‘neraka dunia’ itu justru berlanjut ketika Indonesia merdeka dan mencicipi bagaimana melwati tahun-tahun emas.

Digul adalah medan pertaruhan kreativitas menyiasati semua keterbatasan; dan semua itu sudah cukup bagi masyarakat sekitarnya untuk menaruh rasa hormat yang sungguh dalam kepada dr John. Ia memang tak mengibakan rasa hormat yang telah hidup di hati masyarakat sekitar. Karena hal itu didapatkannya dari sebuah akrobat keberanian dan kejernihan kaca manusiawi. Dari kisah ‘malpraktik’ dr John kita lalu menemukan apa arti dan hakikat seorang dokter di tengah masyarakat.

Dr John adalah sebuah oase di tengah industri kedokteran yang berada di titik gawat setelah digerus dan dicundangi habis-habisan oleh kekuatan kapitalisme farmasi. Di sini, kemanusiaan digorok, sebab yang menentukan semuanya adalah kapital, kapital, dan kapital.

Tidak ada komentar: