Sabtu, 04 Agustus 2007

Nasionalisme Para Juru Suntik

Oleh Muhidin M Dahlan

Revolusi Indonesia pada akhirnya lahir di jalanan bersama pekik kerumunan massa, pidato-pidato yang membakar, dan disertai serangkaian adu bedil. Dan di antara semua itu, kaum muda berada di pusat bandul pergolakan. Hampir setiap babakan penting menuju Indonesia Merdeka, semisal pendirian Boedi Oetomo yang secara umum dipahami sebagai tonggak kebangkitan nasional, sumpah pemuda 1928, penggumpalan aspirasi pendirian politik 1938 di Volksraad, hingga Proklamasi 1945, semuanya dipunggungi kaum intelegensi muda usia.

Ketuban dekrit Proklamasi Kemerdekaan, misalnya, tak akan pecah seandainya tak ada elemen intelegensi muda yang memandunya di mana pada saat yang sama Bung Karno dan Bung Hatta dalam posisi “bingung” hendak melakukan tindakan apa di tengah simpang siur berita kalahnya Jepang dalam Perang Pasifik.

Salah satu kelompok pemuda yang aktif dalam persiapan Proklamasi itu, selain kelompok Menteng 31, Cikini 71, Gang Bluntas, adalah Prapatan 10. Penamaan ini diambil dari nama jalan di mana kelompok ini tinggal. Prapatan 10 sejatinya adalah asrama mahasiswa Ika Daigaku (sekarang Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Salemba).

Ide perguruan tabib modern ini datang pada Agustus 1942 dibawa Soejono Martosewojo dari Surabaya ke Jakarta guna mencari kerja. Ia bersama Eri Soedewo dan juga mahasiswa Jakarta seperti Koestedjo, Kaligis, Imam Soedjoedi, mendesak Mr Soewandi agar Jepang membuka Perguruan Tinggi Kedokteran.

Setelah disetujui, panitia dibelah dua. Satunya mengurus kurikulum, sementara lainnya mengurus pembentukan asrama untuk pondokan mahasiswa baru yang berdatangan dari luar Jakarta dan luar Jawa. Panitia lalu menunjuk bekas gedung Dienst van Volksgezondheid di Prapatan 10—dekat Pasar Senen pada jalan dua arah Prapatan Kwitang—yang bisa menampung 250 mahasiswa.

Di asrama inilah pembangkangan kepada Jepang dan perumusan konsepsi bentuk negara Indonesia digodok mahasiswa.

Buku yang sebelumnya berjudul Mahasiswa ’45 Prapatan 10: Pengabdiannya I ini lumayan mampu mendeskripsikan secara detail suasana dan gerak dalam asrama itu. Di sana tak hanya tumbuh mahasiswa-mahasiswa garang yang kelak menjadi petinggi-petinggi militer, tapi juga intelektual-intelektual berkelas internasional. Dan uniknya, mereka adalah para juru suntik yang dicambuk zaman untuk turut dalam badai revolusi. Mereka memang banyak berkecimpung di lab-lab kimia atau kamar-kamar bedah, tapi juga aktif bertukar pikir masalah politik dan merumuskan bentuk negara Indonesia, rajin menggelar rapat-rapat pembangkangan di selasar-selasar gelap asrama, dan bahkan para juru suntik belia ini turut mempelopori gerakan mahasiswa memanggul bedil.

Di asrama inilah Soedjatmoko yang kelak menjadi salah satu milestones intelektual Indonesia lahir. Ia menjadi salah satu pemikir yang menonjol di antara rekannya. Dan juga keras kepala. Selain menggalang sikap menolak saikeirei, Soedjatmoko—juga Soedarpo—memandu mogok kuliah massal setelah tentara Kompetai secara brutal melakukan penggundulan kepala mahasiswa di ruang-ruang kelas. Sampai-sampai Bung Karno, Bung Hatta, Mas Mansyur, dan Ki Hajar Dewantoro turun tangan menasehati mahasiswa untuk kembali ke kelas. Bung Karno mengingatkan, kalau pemogokan itu diteruskan, akibatnya akan merugikan, bukan saja mahasiswa, tapi nusa dan bangsa.

Namun mahasiswa Prapatan 10 bergeming. Terutama Soedjatmoko dan Soedarpo. Menanggapi dua mahasiswa yang keras kepala ini Bung Karno sempat sewot dan harus menjelaskan panjang lebar kenapa bersikap ko kepada Jepang dan bukan nonko saat menghadapi Belanda. Tak lupa saat hendak pulang, Bung Karno melontarkan pujian kecil kepada kedua mahasiswa Prapatan itu bahwa kelak keduanya menjadi “orang besar”.

Radikalisme mahasiswa itu ternyata sudah lama tercium Jepang. Sewaktu diadakan latihan kemiliteran di Box-laan (sekarang Jalan Prambanan, Menteng), mahasiswa lari kocar-kacir tanpa perintah untuk berteduh dari hujan. Tiga hari setelah peristiwa lari dari barisan itu, belasan aktivis Prapatan ditangkap. Tuduhannya bertambah: turut menyiarkan keluar negeri ulah kejam Jepang menghadapi pemogokan mahasiswa. Separuh boleh melanjutkan kuliah setelah bebas, atau hanya kena skors berhenti kuliah setahun seperti Eri Soedewo. Tapi yang lainnya langsung diusir dari kampus. Termasuk rombongan terakhir ini adalah Soedjatmoko, Soedarpo, dan Koento.

Peristiwa itu begitu memukul Perguruan Tinggi. Namun bukannya mengendurkan radikalisme, malah kian memadatkan dan memupuk kebencian mahasiswa kepada Kompetai. Adalah Dokter Abdulrachman Saleh—kelak gugur dalam kecelakaan pesawat di Lapangan Maguwo Jogjakarta—yang sadar betul “bahaya kuning” itu. Maka secara diam-diam ia menjadi katalisator semangat para pemuda dan mahasiswa agar tetap membina mental dan fisik. Mahasiswa kedokteran menjulukinya “Karbol”. Jika Karbol sebagai bahan kimia digunakan untuk membersihkan benda, maka Abdulrachman Saleh adalah karbol untuk mencuci otak.

Abdurachman Saleh juga yang mengajak mahasiswa suntik itu turun ke kampung-kampung rombeng di Banten Selatan yang menjadi salah cikal program Kuliah Kerja Nyata Universitas. Selain menyebarkan virus nasionalisme, di kampung-kampung itu juga mereka mengajarkan masyarakat untuk hidup sehat dengan persediaan makanan seadanya. Termasuk mencontohkan mengolah bekicot secara sederhana menjadi makanan lezat tanpa bahan kimia.

Namun ada juga yang heboh ketika puluhan ribu romusha dari Bekasi membawa tetanus dan penyakit kejang ke CBZ (sekarang RS Cipto Mangunkusumo), tempat mahasiswa tingkat lanjut kuliah. Ternyata telah terjadi salah suntik (atau istilah kerennya medical crime=malpraktik) yang menyebabkan beberapa dokter yang sekaligus petinggi Ika Daigaku ditahan hingga beberapa di antaranya meninggal dalam penjara.

Kurir Proklamasi dan Konstitusi

Hanya selang dua pekan setelah PM Koisho 7 September 1944 menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia, pentolan-pentolan Prapatan 10 sudah membincangkan bakal bentuk negara, apakah dominion, kerajaan, republik, statenbond, bobdstaat, atau negara kesatuan. Dan mahasiswa ini memilih Negara Kesatuan yang mereka tahu berseberangan dengan pandangan Bung Hatta yang lebih condong pada statenbond.

Maka ketika diadakan ceramah terbuka Bung Hatta ihwal bentuk Negara Indonesia di Deutsches Haus, Gambir Barat (Jl Merdeka Barat sekarang), salah seorang mahasiswa Prapatan 10 mendebatnya sengit dan sinis. Saking dongkolnya sampai-sampai Bung Hatta melontarkan ucapan: “Lebih baik saudara kembali dulu ke bangku sekolah, sudah itu baru debat saya.”

Namun Bung Hatta luluh juga ketika beberapa pentolan aktivis mendatangi kediamannya tengah malam ihwal sikap mayoritas mahasiswa dan pemuda yang menginginkan Negara Kesatuan. “Kalau tidak diambil bentuk negara kesatuan, nanti terulang lagi politik dan taktik devide et impera Belanda,” ujar aktivis Prapatan 10, M Kamal, yang ditunjuk pentolan Menteng 31, Chairul Saleh.

Mahasiswa Prapatan kemudian tak hanya trampil dalam suntik-menyuntik, tapi juga piawai dalam berdiplomasi, membangun kesepahaman dengan pelbagai elemen pemuda lewat sidang-sidang kongres maupun rapat-rapat umum. Sebelum Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) dibentuk, elemen-elemen pemuda sudah melakukan Kongres Pemuda se-Jawa yang menyerukan persiapan diri bagi pelaksanaan Proklamasi. Bersama pemuda Menteng 31, eksponen Prapatan itu melakukan serangkaian rapat gelap dan mencetuskan Gerakan Angkatan Baru Indonesia.

Pada 7 Juni 1945 mahasiswa Ika Daigaku, Yakugaku (Akademi Farmasi), dan Kenkoku Gakuin (Akademi Pemerintahan) menggelar rapat seluruh pemuda pelajar Sekolah menengah Tinggi untuk kemerdekaan Indonesia. Dan atas prakarsa pentolan-pentolan Prapatan rapat itu mengeluarkan tuntutan, selain “Indonesia Merdeka Sekarang Juga”, juga “diadakan latihan militer sempurna bagi pemuda-pelajar.”

Maka mahasiswa juru suntik itu pun memanggul bedil di Daidan I Jagamonyet yang dipimpin Daidancho MR Kasman Singodimedjo. Dan kelak banyak dari mahasiswa ini berpangkat mayor jenderal seperti Eri Soedewo yang juga sekaligus dokter ahli bedah.

Tatkala para pemimpin ragu dalam memproklamasikan kemerdekaan setelah Jepang takluk, dengan caranya sendiri justru mahasiswa dan pemuda-pemuda ini mengambil inisiatif untuk “memaksa” dwitunggal Bung Karno dan Bung Hatta mengambil sikap secepat-cepatnya. Mereka menjadi kurir Proklamasi atau penghubung dengan berkendara Onthel menghubungi setiap pucuk pimpinan yang dicekau was-was oleh suasana tak menentu. Dengan wataknya yang meledak-ledak, eksperimentatif, dan tak banyak pertimbangan, mereka “menyekap” Bung Karno dan Bung Hatta ke luar kota.
Barangkali mereka tak sadar sama sekali bahwa upaya-upaya “nekad” mereka itu telah membangkitkan gairah serupa di Asia dan Afrika dalam membebaskan diri dari belenggu penjajahan.

Buku ini—dan juga buku-buku serupa—adalah album yang merekam bagaimana cara-cara yang dilakukan elemen-elemen di dalamnya tatkala Indonesia berada di tengah jembatan peralihan yang sangat genting.

Sebagaimana diketahui, usai ketegangan jelang Proklamasi dikumandangkan, jam 12.00 siang muncul kekhawatiran yang tak kalah seriusnya, yakni bakal meledaknya friksi dan perpecahan tatkala wakil-wakil PPKI dari Indonesia Timur seperti Dr Ratulangi (Sulawesi), Tadjoedin Noer (Kalimantan), Latuharhary (Maluku), I Ketut Pudja (Bali dan Nusa Tenggara) yang berkumpul di Hotel Des Indes merasa heran dan tak terima dengan beberapa frase dalam konstitusi seperti kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya dan Presiden harus Muslim. Mahasiswa-mahasiswa ini juga yang rela menjadi kurir konstitusi yang memediasi perselisihan di luar perdebatan parlemen.

Bung Hatta berhasil diyakinkan setelah utusan-utusan Indonesia Timur itu mengadakan pertemuan di asrama mahasiswa Prapatan 10. Pada akhirnya sebelum rapat dimulai 18 Agustus, Bung Hatta meminta Mr T Moh Hasan, utusan dari Sumatera, meyakinkan Ki Bagus Hadikusumo supaya “7 kata” dalam Preambule itu diganti. Ki Bagus ternyata bisa diyakinkan Mr Hasan hingga kemudian UUD disahkan.

Buku ini memang berpotensi membesar-besarkan peran mahasiswa yang mangkal di asrama Prapatan 10. Tapi sejarah juga seperti perspektif mata burung; tergantung dari posisi mana mata melihat. Maka sungguh sayang buku ini dinafikan lantaran menyumbang banyak, terutama sekali memperkenalkan kontur-kontur detail di seputar jelang dan sesudah kemerdekaan, atau paling tidak suasana revolusi sedasawarsa (1940-1945) dari sebuah profesi, yakni para juru suntik yang ternyata sangat mahir, jeli, dan cerdas berpolitik, juga kuat memanggul bedil di medan pertempuran.

Judul: Lahirnya Satu Bangsa dan Negara
Penulis: OE Engelen, Aboe Bakar Lubis, dkk
Penerbit: UIP, 1997
Tebal: 483 halaman

Tidak ada komentar: