Senin, 20 April 2009

9 Karya Pram Pilihan Indonesia Buku

Oleh Editor

Ada yang bagus, ada yang buruk. Ada yang kualitasnya menjulang langit, ada yang datar-datar saja. Dari sekira 40 judul karya Pramoedya, Indonesia Buku memilih 9 yang terbaik. Barangkali Anda tak setuju. Tak apa.

BUMI MANUSIA
Bagian pertama dari Kuartet Buru. Bumi Manusia bisa kita sebut saja sebagai periode penyemaian dan kegelisahan. Dalam Bumi Manusia, Minke, sang aktor sekaligus kreator adalah manusia berdarah priyayi yang semampu mungkin keluar dari kepompong kejawaannya menuju manusia yang bebas dan merdeka. Dengan jalan apa? Dengan jalan pendidikan. Pendidikan, oleh Minke, menjadi senjata dengan mata mengarah pada dua titik utama. Mata pertama mengarah pada usaha menusuk jantung kepriyayian dan kejawaannya biar mampus dan kedua membelah jiwa ke-Eropa-an yang menjadi simbol dan kiblat dari ketinggian pengetahuan dan peradaban.

ANAK SEMUA BANGSA
Bagian kedua dari Kuartet Buru. Anak Semua Bangsa adalah periode observasi atau turun ke bawah mencari serangkaian spirit lapangan dan kehidupan arus bawah Pribumi yang tak berdaya melawan kekuatan raksasa Eropa. Di titik ini Minke diperhadapkan antara kekaguman yang melimpah-limpah pada peradaban Eropa dan kenyataan di selingkungan bangsanya yang kerdil. Sepotong perjalanannya ke Tulangan Sidoarjo dan pertemuannya dengan Khouw Ah Soe, seorang aktivis pergerakan Tionghoa, korespondensinya dengan keluarga De la Croix (Sarah, Miriam, Herbert), teman Eropanya yang liberal, dan petuah-petuah Nyai Ontosoroh, mertua sekaligus guru agungnya, kesadaran Minke tergugat, tergurah, dan tergugah, bahwa ia adalah bayi semua bangsa dari segala jaman yang harus menulis dalam bahasa bangsanya (Melayu) dan berbuat untuk manusia-manusia bangsanya.

RUMAH KACA
Bagian terakhir dari Kuartet Buru. Rumah Kaca agak unik dibandingkan dengan tiga seri sebelumnya yang memberi porsi kepada Minke untuk bergerak leluasa. Pada bagian ini, tokoh utamanya adalah peranakan Belanda yang bernama Pangemanann. Di dalamnya terlukis bagaimana sistem pengarsipan ditujukan untuk meninjau semua sudut pergerakan manusia-manusia Indonesia. Dan Rumah Kaca pun menjadi metafora pascakolonial bagaimana kita dikuasai sampai ke tulang sumsum oleh konspirasi internasional hingga tak ada lagi disembunyikan. Di titik ini, para aktivis pergerakan hanya termangu menanti bui dan ajal.

BUKAN PASAR MALAM
Menurut Romo Mangunwidjaya, inilah novel Pram yang paling menonjol dan paling disukainya. Sebabnya sederhana: belum tersentuh oleh tangan-tangan politik penulisnya. Novel ini pun sangat manis dan liris karena ia mengangkat hal-ihwal sehari-hari dan jauh dari tema besar bergebyar-gebyar. Sejatinya novel ini adalah novel biografis penulisnya di hari-hari jelang ayahnya wafat di Blora. Ia mampu menyajikan dialog-dialog yang menyentuh. Juga tentang renungan soal hakikat hidup dan kematian manusia yang bukan seperti pasar malam.

CERITA DARI BLORA
Jika ingin melihat kehidupan keluarga Pram di kampung, bacalah buku ini. Buku ini memotret dengan jeli bagaimana kehidupan keluarga Pram: hiruk-pikuk karena anak-anak yang hadir sangat banyak di zaman ketika perlawanan disusun. Juga getirnya keluarga ini ketika bangkrut. Ke-11 cerita dari Blora ini sekaligus potret paling sederhana bagaimana sebuah keluarga mempertahankan martabatnya yang dilibas derita dan nasib suram. Cerita tentang manusia Indonesia yang telah membayar kemerdekaan dengan mahal sekali dalam dunia yang penuh ketakadilan.

ARUS BALIK
Inilah epos besar yang berkisah tentang sisa perjuangan manusia Nusantara menghalau datangnya kekuatan-kekuatan Utara (Eropa) yang hendak merayah dan mem-bedung setiap butir pasir Nusantara pada warsa-warsa awal abad 16. Pada saat itu, Nusantara yang terkenal karena kemegahan baharinya, seperti kena gulung badai dari semua penjuru laut peradaban. Kemerosotan menggumpal di mana-mana, menghantam apa saja yang tersisa. Kemerosotan itu ditandai dengan tergusurnya pemikiran tentang kelautan sebagai basis kekuatan ekonomi dan politik oleh armada darat. Dan semuanya rontok.

GADIS PANTAI
Gadis Pantai adalah novel yang tak selesai (unfinished). Sejatinya, roman ini merupakan trilogi. Disebabkan vandalisme rezim, dua novel berikutnya lenyap. Inilah roman yang mengambil kisah kehidupan nenek Pram sendiri yang selama hidupnya tak pernah ia kenal namanya. Karena itulah dinamainya Gadis Pantai. Roman ini sungguh indah dan mempesona. Ia membongkar—setidaknya memperlihatkan—kontradiksi negatif praktik feodalisme Jawa yang tak memiliki sedikit pun adab dan jiwa kemanusiaan. Roman ini menusuk feodalisme Jawa tepat langsung di jantungnya yang paling dalam.

SANG PEMULA
Dalam lipatan lusuh sejarah Republik, nama Tirto Adhi Surjo memang sempat hilang dan terkubur dalam ingatan kolektif masyarakat. Padahal di pergantian abad, nama ini tampil sebagai pribumi pertama yang membebaskan diri dari manusia yang hanya menjadi budak administrasi kekuasaan kolonial. Lewat tulisannya dan perjuangan yang dilakukannya lewat lembaran koran yang diciptakannya, Medan Prijaji, disuluhnya bangsanya. Dititipkannya rasa mardika dalam hati pribumi serta digerakannya hati itu dalam mesin organisasi modern. Pram dengan kegigihannya menampilkan tokoh “anonim” ini ke pentas sejarah nasional.

PERBURUAN
Bagi Pram, novel Perburuan adalah novel pertamanya yang ditulis dengan perasaan mistis yang sulit dilupakan. Dan inilah novel yang diganjar hadiah oleh bangsanya sendiri pada tahun 50-an; satu-satunya penghargaan bangsanya hingga wafatnya datang (di luar piagam penghargaan PRD). Ditulis dalam penjara, novel ini mengambil seting cerita ketika Indonesia dalam pendudukan brutal Jepang selama Perang Dunia ke-II. Sebuah ramuan cinta eksplosif, pengkhianatan, kolaborasi, dan balas dendam. Tapi bukan aksi kemenangan militer dalam arti politik. Ia lebih merupakan kisah kontemplatif sekaligus garis kaidah untuk diri sendiri dan bagi orang lain di mana setiap hidup dan perbuatan harus diuji.

Tidak ada komentar: