Senin, 20 April 2009

Pram, Angkatan Muda, dan Revolusi

Oleh Muhidin M Dahlan

“Angkatan muda harus punya keberanian. Kalau tidak punya, sama saja dengan ternak yang hanya sibuk mengurus dirinya sendiri.”
--Pramoedya Ananta Toer

“Suara itu tak bisa dipenjarakan/ di sana bersemayam kemerdekaan/ apabila engkau memaksa diam/ aku siapkan untukmu: pemberontakan!”
--Wiji Thukul, Sajak Suara

Hingga hayat menjadi mayat, siapa kalangan yang paling dirindukan Pramoedya Ananta Toer?

Keluarga? Bukan! Pram merindukan angkatan muda yang harus terlahir dan mengisi perut sejarah. Kerinduan yang tentu saja tak mengada-ada—sebagaimana Bung Karno pernah meretorikakan bahwa dengan hanya 100 angkatan muda di sekelilingnya ia bisa melakukan apa pun, bahkan menggeser gunung yang kokoh sekalipun.

Telah ditancapkan Pram hasrat kerinduan itu dalam karya tulisnya dan juga pengalaman pahitnya mereguk nyinyirnya pekat derita. “Apa yang tidak dirampas dari saya. Naskah saya. Hidup saya. Masa muda saya yang kreatif. Semuanya.”

Sebuah kerinduan akan kemudaan yang wajar. Sebab dalam diri angkatan muda telah terpacak dan tersemayamkan ruh heroisme, gairah yang meletup, dan kreativitas yang tak terbatas. Tapi rezim-rezim diktator umumnya tidak suka dengan heroisme itu, letupan gairah itu, kreativitas itu. Hubungan hambar keduanya tergambar dengan apik dalam bait puisi Thukul, “Bunga dan Tembok”: “Seumpama bunga/ Kami adalah bunga yang tak/ Kau kehendaki tumbuh/ Engkau lebih suka membangun/ Rumah dan merampas tanah// Seumpama bunga/ Kami adalah bunga yang tak/ Kau kehendaki adanya/ Engkau lebih suka membangun/ Jalan raya dan pagar besi// Seumpama bunga/ Kami adalah bunga yang/ Dirontokkan di bumi kami sendiri// Jika kami bunga/ Engkau adalah tembok/ Tapi di tubuh tembok itu/ Telah kami sebar biji-biji/ Suatu saat kami akan tumbuh bersama/ Dengan keyakinan: engkau harus hancur!/ Dalam keyakinan kami/ Di mana pun tirani harus tumbang!”

Namun, dengan segala kekuatan aparatusnya, rezim diktator hampir selalu “berhasil” menyumpal keberingasan angkatan muda dan mencampakkan “bunga yang tak dikehendaki” itu ke tong-tong sampah kebudayaan.

Penyumpalan itu, bila berhasil, biasanya melahirkan angkatan muda yang kerdil, ngambang, omongnya banyak isi otaknya sedikit, tahunya hanya obat-obatan terlarang, dan kreativitasnya hanya melulu di selangkangan. Generasi seperti itu sebetulnya yang diinginkan oleh rezim diktator di mana pun. Adapun generasi yang berpartisipasi membangun negeri dengan pikiran cerdas dan kritisnya dianggap sebagai parasit.

Karena dianggap parasit, mereka pun wajib basmi. Pada akhirnya, jangankan berharap menjadi pahlawan, mereka sebaliknya dipandang tak ubahnya bromocorah.

“Seribu pahlawan bisa lahir dan mati dalam satu hari di negeri ini. Tetapi tak seorang pun ada yang peduli di tanah air kita ini… dulu dalam kegelapan, seekor kunang-kunang pun bisa menjadi bintang. Sekarang, bintang-bintang yang lahir malah dipadamkan,” ujar Pram dalam sebuah perbincangan dengan penyair Eka Budianta. (Temanku Pujangga, 1986: 18)

Pram adalah salah satu bintang yang dipadamkan itu. Hampir separuh hidupnya terpaksa ia habiskan dalam gelap pekatnya penjara—sebuah wajah semesta paling purba bagi manusia-manusia bermartabat: 3 tahun dalam penjara Kolonial, 1 tahun di Orde Lama, dan 14 tahun yang melelahkan di Orde Baru tanpa proses pengadilan. Walaupun pada 21 Desember 1979 Pram mendapat sepucuk surat pembebasan tidak bersalah dan tidak terlibat dalam G 30 S/PKI, toh ia tetap dikenakan tahanan rumah, tahanan kota, tahanan negara, hingga 1999 dan wajib lapor ke Kodim Jakarta Timur satu kali seminggu selama dua tahun.

Boleh jadi sosok Pram memang sengketa. Sosok yang berlumur noda bagi lawan-lawan politik berkeseniannya. Tapi keyakinan Pram akan kedahsyatan angkatan muda memutar turbin sejarah tak pernah surut. Di halaman-halaman ceritanya keyakinan itu kita baca dengan lugasnya. Tetralogi Pulau Buru, khususnya Rumah Kaca (2000: 145-146, 149), keyakinan itu sudah terpancang dalam-dalam: “Salamku pada Raden Mas Minke. Pada kalian aku berpesan, hendaknya ia jangan dilupakan. Dialah sang pemula, karena dialah orang pertama-tama yang menyuluhi bangsanya dan memimpin kalian… belum pernah dalam seratus tahun ini seorang pribumi karena kepribadiannya, kemauan baik, dan pengetahuannya dapat mempersatukan ribuan orang tanpa mengatasnamakan raja, nabi, wali, tokoh, wayang atau iblis.

Minke adalah tokoh utama novel itu. Seorang anak muda terpelajar yang sadar akan posisi politik bangsanya di pusaran politik dunia. Di pundak anak muda ini juga feodalisme dicungkil sedemikian rupa yang menjadi salah satu akar-sebab mengapa manusia nusantara sekian abad berjiwa jajahan, jongos, babu, dan hamba. Menurut Pram, punahnya manusia berjiwa merdeka disebabkan oleh keyakinan feodal bahwa di alam ini hanya ada satu matahari, satu bulan, satu bumi, satu raja, satu bangsa, yakni bangsa Jawa.

“Aku mengangkat sembah sebagaimana aku lihat dilakukan punggawa terhadap terhadap kakekku dan nenekku dan orangtuaku. Dalam mengangkat sembah serasa hilang seluruh ilmu dan pengetahuan yang kupelajari tahun demi tahun belakangan ini. hilang indahnya dunia sebagaimana dijanjikan oleh kemajuan ilmu.... Sembah—pengagungan pada leluhur dan pembesar melalui perendahan dan penghinaan diri sampai sedatar tanah kalau mungkin! Uh, anak-cucuku tak kurelakan menjalani kehinaan ini.” (Bumi Manusia, 2000: 132)

Angkatan Muda dan Pembajakan Revolusi

Angkatan muda dan revolusi adalah dua mata uang yang tak mungkin terpisahkan. Dalam kacamata para ideolog maupun sosiolog, revolusi selalu berarti manifestasi perubahan sosial yang paling spektakuler. Menyambangi kutipan dari pelbagai teori perubahan sosial, Jalaluddin Rakhmat dalam Rekayasa Sosial (2000: 199-201) memetakan secara simplifikatif namun cerdas definisi revolusi dalam tiga kelompok cara pandang.

Kelompok kesatu melihat revolusi sebagai transformasi masyarakat yang fundamental dan berskala luas. Inti revolusi terletak pada keluasan dan kedalaman perubahan. Meliputi segala bidang. Di sini, revolusi yang biasanya bersifat “sudden” dan “radical” menjadi lawan dari reformasi yang biasanya “slow” dan “partial”. Perubahan yang gradual, setahap demi setahap.

Kelompok kedua mendefinisikan revolusi dengan titik berat pada penggunaan kekerasan dan perjuangan, serta kecepatan perubahan. Di sini revolusi adalah lawan dari evolusi. Dan kelompok ketiga mencoba menggabungkan kedua definisi ini. Revolusi terpahami sebagai “perubahan domestik yang cepat, fundamental, dan penuh kekerasan dalam nilai-nilai dominan dan mitos masyarakat, dalam institusi politik, struktur sosial, kepemimpinan, dan kebijakan serta kegiatan pemerintahan” (Huntington, 1968: 264); “transformasi yang cepat, mendasar dari keadaan masyarakat dan struktur kelas… disertai atau sebagian dilakukan melalui pemberontakan dari bawah, berdasarkan kepentingan kelas” (Skockpol, 1979: 4).

Jadi, selain perubahan yang fundamental, komprehensif, dan menyeluruh, revolusi juga melibatkan mobilitas massa yang bergerak secara revolusioner. Dan umumnya disertai dengan koersi atau kekerasan. Untuk ciri yang terakhir ini kita bisa menampiknya dengan contoh lain. Sebab ada revolusi, walau tidak banyak jenisnya, sama sekali tidak memakai jalan kekerasan, seperti Gandhisme di India dan gerakan yang mendorong jatuhnya komunisme di sebagian negara Eropa Timur.

Dan semangat perubahan yang bergolak-golak itu hanya bisa ditampung dalam jiwa angkatan muda dan bukan angkatan tua. “Angkatan mudalah yang membuat revolusi,” yakin Pram. Dan tentu saja dengan segala pengorbanan yang dikehendakinya, sebagaimana termaktub dalam sepenggal kalimat tokoh muda Samaän di Keluarga Gerilya (2004: 254): “Revolusi menghendaki segala-galanya… menghendaki kurban yang dipilihnya sendiri. Demikian hebatnya revolusi. Kemanusiaanku kukorbankan. Dan sekarang ini… jiwa dan ragaku sendiri. Demikianlah paksaan yang kupaksakan pada diriku sendiri. Kupaksa diriku menjalani kekejaman dan pembunuhan agar orang yang ada di bumi yang kuinjak ini tak perlu lagi berbuat seperti itu… agar mereka itu dengan langsung bisa menikmati kemanusiaan dan kemerdekaan.”

Pram tidak sedang berangan-angan. Sebab sejarah membuktikan, bahwa hampir semua babakan perubahan sejarah yang terjadi di negeri ini diinisiatifi oleh angkatan muda—walaupun di kemudian hari kita ketahui sejarah itu (selalu) dibajak dan dikemplang oleh pihak-pihak di luar mereka.

Pada 1904 muncul Syarekat Priyayi yang menjadi perintis pergerakan dengan membawa setumpuk proposal awal kebangkitan kesadaran nasional. Motor utamanya adalah Tirto Adhi Surjo, seorang aktivis dan jurnalis muda, yang disebut Pram sebagai “Sang Pemula yang pertama-tama di garis terdepan dan sendirian menyuluhi bangsanya dan sekaligus memimpinnya”. Di situlah revolusi pertama bermula, yakni revolusi kebudayaan dengan menitikberatkan pada isu-isu pendidikan dan keinsyafan kemanusiaan di kalangan priyayi, ulama, dan intelektual.

Lalu pada 1928. Menyatunya kesadaran berbangsa angkatan muda yang kemudian melahirkan sumpah pemuda merupakan buah dari tersatukannya kekuatan kebudayaan yang terserak dari pelbagai daerah dan etnik.

Tahun-tahun sebelum 1945, aktivis-aktivis muda telah mempersiapkan sedini mungkin kemerdekaan bangsa dengan memunculkan GAPPI (Gabungan Partai Politik Indonesia). Mereka membuat Kongres Indonesia Raya atau Indonesia berparlemen yang diselenggarakan di Bandung pada 1938. Yang terjadi sepanjang 1939-1945 itu sebetulnya revolusi politik yang kemudian melahirkan revolusi militer atau yang kita sebut dengan revolusi kemerdekaan. Tapi pada akhirnya revolusi yang digerakkan angkatan muda itu dibajak. Di situ angkatan muda dianggap sebagai tokoh-tokoh yang tak diperhitungkan, tokoh-tokoh anonim yang cenderung disepelekan. Yang keluar bukanlah angkatan muda, tapi agen-agen yang dikuasai militer, dalam hal ini Angkatan Darat.

Kondisi yang hampir sama terjadi lagi pada 1968. Walaupun pada 1966 angkatan muda terlihat bergerak, tapi pergerakan mereka adalah pergerakan yang bimbang. Arus besar yang massif itu adalah arus “pesanan”. Ada Angkatan Darat yang menyetir dan menggembalakan gerakan angkatan muda ’66 itu. Akibatnya, seusai peralihan licik kekuasaan dilakukan, roda pemerintahan kembali dikuasai oleh militer. Tapi militer yang muncul—meminjam jargon kurator politik, Mochtar Pabotinggi—adalah militer yang berdagang dan bukan militer yang ksatria. Militer yang berdagang adalah militer yang tak pernah menang perang, dan hanya bisa menghantam dan menembak rakyatnya sendiri.

Dan pada 1998, tentara yang berdagang ini pada akhirnya juga jatuh oleh soal ekonomi. Bom atom krisis ekonomi yang terjadi 1997 dan meletuskan revolusi angkatan muda 1998 menjatuhkan rezim militer yang berdagang ini. Tapi lagi-lagi sejarah itu dibajak. Angkatan muda lagi-lagi terbenam di pusaran tanah ketiadaan peran. Kunci-kunci penting jalannya roda pemerintahan kembali jatuh ke tangan—kali ini bukan militer—tapi angkatan-angkatan tua yang korup yang dulunya kebanyakan disuapi oleh orde “militer yang berdagang”. Fenomena yang menggenapi sebutan ironis bahwa negeri ini benar-benar negeri para tersangka.

Dengan suara kasar sedikit galak, Pram pada akhirnya jatuh pada kesimpulan bahwa angkatan tua-lah yang sebetulnya menjadi biang kerok kehancuran zaman yang kemarin-kemarin itu dan hari ini. Dalam novel Larasati (2003: 22) Pram menulis, “Seluruh kedudukan yang enak diambil orang-orang tua. Mereka hanya pandai korupsi.” Dalam novel Anak Semua Bangsa (2000: 66) Pram menulis, “Semua percuma kalau toh harus diperintah Angkatan Tua yang bodoh dan korup demi mempertahankan kekuasaan. Percuma, Tuan. Sepandai-pandai ahli yang berada dalam kekuasaan yang bodoh ikut juga jadi bodoh, Tuan.”

Kini, di usia tuanya yang sepi, di atas kursi sandarnya sambil mengisap dalam-dalam rokok kretek favoritnya, matanya kerap menerawang. Bertanya-tanya, ke mana saja anak muda itu kini. Kenapa revolusi terganti oleh reformasi yang pada akhirnya mandek.
Namun barangkali ia tak usah terlampau sewot dengan pembajakan dan pengemplangan revolusi itu. Sebab berulangnya peristiwa itu sudah sejak awal diketahuinya lewat informasi dari timbunan arsip sejarah di perpustakaan pribadinya yang kemudian dituangkannya dalam lembar-lembar kisah novelnya. Bukankah pembajakan dan pengemplangan awal sudah terjadi bahkan sejak zaman Arok di abad 12 dan akan terus berulang entah sampai kapan akhirnya?

Angkatan Muda dan Proposal Indonesia Muda

Sejarah sudah dan sedang berlangsung. Tak ada satu pun kekuatan yang menghentikan lajunya. Manusia-manusia di dalamnya terus bergerak. Terus bergegas. Revolusi datang dan pergi tanpa pernah terduga. Melenyapkan tiran dan melahirkan tiran-tiran baru. Angkatan muda terus bermunculan tanpa henti dari rahim-rahim sejarah ibundanya.

Pergerakan dan penggantian itu seperti hukum alam yang tak bisa ditampik. Cuma, di tengah setiap kelahiran tiran dan berkuasanya angkatan tua yang korup itu, tampaknya angkatan muda memerlukan lentera yang bisa terus menyulut obor semangat mereka merawat asa untuk terus waspada dengan pergerakan dan perubahan zaman dari caplokan tangan angkatan tua yang pragmatis dan tak tahu diri.

Di titik ini Pram telah menunaikan tugasnya. Tulisan-tulisannya yang tak pernah terkubur oleh lupa yang disusuk mesin kuasa, akan selalu memanggil-manggil semangat kemudaan itu. “Jangan lupakan anak muda. Mereka sedang melahirkan sejarah!”

Kata-kata itu hendak meneguhkan kredo bahwa proposal perubahan masa depan selalu berada di tangan angkatan muda. Sebagai kekuatan yang menggerakkan, angkatan ini bangkit menjadi pemutar baling-baling sejarah masa depan. Di jiwa merekalah terteken sebuah kehidupan yang baru. Sebuah Indonesia Muda.

Tapi angkatan muda yang diharapkan Pram untuk melahirkan Indonesia Muda adalah angkatan muda yang kreatif, bangga diri karena punya semangat untuk bekerja dan berkarya, dan memiliki keberanian hidup. Sebagaimana kegigihan dan keberanian yang telah ditampilkan sederetan tokoh-tokoh dalam novelnya: Minke, Saäman, Midah, Gadis Pantai, Farid, Larasati, Galeng-Idayu, dan seterusnya.

“Kalau mati dengan berani. Kalau hidup dengan berani. Kalau keberanian tidak ada—itulah sebabnya semua bangsa asing bisa jajah kita.”

Tidak ada komentar: