Senin, 20 April 2009

Di Perpustakaan Gajah Dituduh Nyolong

Oleh Muhidin M Dahlan

Dari Belanda, Parakitri (Parakitri T Simbolon?) mengirim surat kepada Pramoedya Ananta Toer. Waktu itu pertengahan 1980-an. Parakitri, dalam suratnya, hanya ingin mengonfirmasi informasi yang berseliweran tentang ulah Pram yang mencuri dokumen-dokumen di Arsip Nasional.

Isu itu pun dipicu setelah Sang Pemula belum lama terbit.

“Pak, bolehkah saya dapat keterangan sedikit tentang proses pengumpulan bahan penulisan ‘Sang Pemula’ langsung dari PAT? Soalnya saya ketemu Drs. Abdurrachman Suryamihardja, sejarawan dari LIPI. Ia menyinggung tentang hilangnya dokumen Tirto Adisurya dari Museum Gajah. Waktu itu saya hanya bisa membela PAT membabi-buta,” tulis Parakitri seperti diguratkan Pram kembali dalam catatan hariannya 17 Februari 1986.

Awalnya Pram menganggap tuduhan itu kerjaan orang jahil belaka. Setelah dua orang yang mengaku dari Arsip Nasional datang ke Hasta Mitra menghadap Pram ihwal lenyapnya arsip-arsip tentang Tirto, Pram lalu menganggap serius tuduhan itu. Mungkin ia tak mau disamakan dengan Chairil Anwar yang tertangkap basah mencuri Kitab Suci di kawasan Kwitang.

“Saya punya dugaan, bahwa, seperti menjelang dan semasa 30 September 1965, dibangun gambaran yang merugikan tentang saya,” kata Pram.

Sebagaimana diakui Pram, ia memang salah satu peminjam berat buku-buku perpustakaan. Kadang ia meminjam sebecak penuh. Terutama buku-buku sejarah. Buku yang sudah dipinjam itu lalu disalinnya kembali dengan tekun. Beberapa tetangganya kerap dipanggilnya membantu menyalin. Maklum mesin fotokopi belum ada zaman itu. Jika ada buku yang mantelnya rusak, Pram dibantu adiknya berpayah-payah membawanya ke percetakan untuk mengganti mantel buku itu dengan yang lebih kuat (baca: hardcover).

“Saya mengumpulkan materi tentang Tirto Adhi Soerjo sejak 1961. Materi dari koran dan majalah dari Museum Gajah. Waktu itu pimpinan perpustakaan Zus Tjoa. Terakhir saya pinjam satu becak, saya bawa pulang. Sebagian terbesar, hampir seluruhnya telah saya kembalikan.”

Pun kalau ada yang belum kembali, ya itu tadi Medan Prijaji tahun 1911-1912, Door Duisternis tot Licht Kartini dan Herinneringen P. A. A. Djajadiningrat. Tapi seluruh dokumen itu telah musnah sekarang. Bukan hilang, tapi dibakar gerombolan pada 13 Oktober 1965 bersama perpustakaan Pram yang dibangunnya dengan berkeringat darah.
Kekesalan Pram justru di titik ini. Ia dituduh mencuri dan isu itu dikipas-kipas. Tapi orang hanya bungkam ketika perpustakaannya dihancurkan dan dimusnahkan. Maka praktis, setelah keluar dari Buru Pram harus membangun kembali perpustakaan pribadinya dari nol bolong.

Untuk meluruskan masalah yang tidak-tidak itu, awal 1980 Pram dengan ditemani Hasjim Rachman dan Joesoef Isak dari Hasta Mitra, merasa perlu datang ke Perpustakaan Museum Pusat. Mereka menemui Ibu Mastini, pengganti Zus Tjoa. Di situ Pram membeberkan perkara materi yang belum ia kembalikan. “Bukan saya lagi yang bertanggung jawab, tetapi aparat negara sendiri. Malah sampai sekarang saya belum lagi dapat masuk rumah saya sendiri yang sudah 20 tahun saya tinggalkan untuk melakukan pemeriksaan,” kata Pram.

Rumah yang dimaksud Pram adalah rumah mereka di Rawamangun yang turut dirampas tentara pada malam penggarukan. Malah, kata Pram, pemilik tak sah rumah itu menyewakan bagian belakang rumahnya.

Pram curiga hilir mudiknya isu dirinya nyolong arsip di Museum Gajah salah satunya dipicu oleh isu-isu yang dilemparkan koran Duta Masjarakat sekitar tanggal 15-16 Oktober 1965. Sebab Pram pernah melihat tulisan itu ketika disodorkan seorang perwira di Kodam. Dengan guntingan koran itu, Pram pun diinterogasi.

Tidak ada komentar: