Senin, 20 April 2009

Ketika si Ong Tertusuk Keris Arok

Oleh Muhidin M Dahlan

Seorang gadis Jawa berwajah bulat. Rambutnya berkonde dan memakai kebaya hijau sederhana. Matanya sipit, teduh, dengan kulit agak gelap. Ia duduk di bale dengan latar pantai, ombak, nyiur, dan gulungan awan. Tangan kirinya mencauk sabuk kuning sembari sebelahnya lagi menapak lantai bale. Sementara di sudut lain, seorang priyayi bersurjan bertolak pinggang dengan sebelah tangannya menyandera sebilah tongkat. Dadanya membusung. Mata awas. Kumis tersisir rapi. Di belakangnya, seorang abdi memayungi.

Itu bukan serangkai paragraf novel. Tapi narasi untuk gambarkan sampul buku yang bertitel Gadis Pantai. Melihat sampul itu, penulisnya, Pramoedya Ananta Toer, mengangguk-angguk senang. “Luar biasa. Hebat sekali yang bikin. Ini yang saya bayangkan Gadis Pantai.”

Siapa pembikin sampul yang membuat Pram angkat puji itu? Ia Ong Hari Wahyu (46) atau biasa disapa Mas Ong. Menyebut revolusi sampul buku di Indonesia, orang tak boleh melupakan nama ini. Dari Yogyakarta, ia menjadi pionir yang menjadikan sampul buku serupa kanvas karya seni. Ia telah membuat ratusan sampul buku dari sekian banyak penerbit. Hingga ia pun berkesempatan membuat sampul buku Pram.

“Saya gembira dan bangga sekali bisa melayani beliau. Tokoh je. Bukan hanya nasional, tapi dunia. Punya spirit luar biasa. Walau di penjara bisa menulis dengan sangat bagus. Bahkan sampai usia tua daya ingatnya bagus. Saya sangat respek. Dan beruntung sekali saya. Terimakasih sekali dikasih kesempatan untuk bikin sampul bukunya,” kata Ong dalam sebuah perbincangan di rumah joglonya yang asri dan sederhana di Bugisan Yogyakarta.

Bagi Ong, membuat sampul buku Pram ia seperti dipaksa untuk masuk dalam studi antropologi; seperti halnya Pram berpayah-payah menelusuri arsip sejarah sebelum menulis. Dan itu yang dilakukan Ong ketika membuat sampul yang salah satunya Gadis Pantai.

Awalnya spirit Gadis Pantai didapatkan Ong dari sedikit perbincangan dengan Pram. “Waktu ngobrol-ngobrol saya menangkap ideologi Pram, perjuangannya. Lantas saya dapat data juga dari Bowo (M Bakkar Wibowo, red). Kata Bowo, gambaran perempuan menurut Pak nggak seperti perempuan sekarang. Pram menggambarkan perempuan itu ulet, gigih, pekerja.”

Dari situ Ong lalu membayangkan bahwa Gadis Pantai itu orangnya pasti tak begitu putih. “Lha, cah pantai je. Wajahnya keras. Wajahnya harus dibuat agak gelap-gelap. Dan kebetulan saya punya arsip foto perempuan Jawa lama. Lalu saya ubah sedikit-sedikit. Setelah saya amat-amati lama-lama, kayaknya ini ya. Saya merasa pas sekali terhadap apa yang saya bayangkan tentang Gadis Pantai yang juga suka jual-jualan. Dan idenya itu ya saya dapatkan di Pantai Parangtritis waktu saya mancing. Kan sama. Sama-sama asongan kue. Tapi di sini saya kasih sedikit unsur cantiknya. Karena ia tokoh.”

Hal yang sama dilakukan Ong ketika membuat sampul Tetralogi Buru ketika masih diterbitkan Hasta Mitra. Ong mengaku, empat buku itu sudah ia baca sejak SMA dengan sembunyi-sembunyi. Dan di kepalnya sudah terbayang tipologi Ontosoroh. Juga sosok Minke yang terpelajar yang masuk dalam dunia Annelis. Untuk latar, Ong harus membongkar-bongkar arsipnya tentang Surabaya tahun dulu-dulu. Ia lalu mencocok-cocokkan dengan pengalaman empirisnya sendiri, walau tidak pas dengan kondisi-kondisi bangunan awal abad.

Sebelum memutuskan membuat sketsa Minke, Ong diberitahu editornya, Joesoef Isak, bahwa Minke itu seperti Soekarno muda. Dia adalah Tirto Adhi Surjo. “Saya memang membayangkan Minke ini anak Pribumi yang cerdas. Karakteristiknya revolusioner atau apa gitu. Saya kemudian buka-buka data-data tentang wajah orang-orang tahun awal abad. Lho, saya lihat nggak ada yang cakap. Orang-orang Jawa jaman semono (waktu itu) dahinya mengkilat. Tulang pipinya nonjol. Mulutnya maju. Nah saya tertolong dengan Soekarno. Soekarno ini kan ngganteng sekali. Kalau orang sebelum Karno, wah nggak cakap. Padahal Minke kan tokoh yang mesti agak gantenglah. Saya pun mencampur antara Tirto, Karno, dan orang lain. Sekian wajah saya campur-campur di situ. Hahahahahaha.”

Tapi Ong tak selalu menepati janjinya melakukan studi antropologi dalam membuat sampul buku Pram. Ia suatu kali tergelincir yang membuatnya malu sungguh. Yakni sewaktu membikin sampul Arok Dedes. Pangkal soalnya, Ong tak membaca sama sekali karya itu. Sinopsisnya pun tak. Hanya Joesoef Isak memberitahu bahwa ada kemiripan kudeta Arok dan kudeta Harto ’65. Saat itu praktis Ong hanya mengandalkan ingatannya saat mendapat cerita Ken Dedes dan Ken Arok—yang terbukti kemudian payah—bahwa cerita itu identik dengan keris Mpu Gandring. Padahal, dalam novel Pram tak ada sama sekali keris. Ong sadar dengan itu setelah temannya memberitahu.

“Saya malu sekali. Teman saya bilang: ‘Kamu kok nggambar keris, padahal di dalamnya nggak ada keris-kerisan itu.’ Malu aku. Malu benar. Malu. Waduh. Ini gara-gara saya nggak membacanya. Sejarah SD kan Mpu Gandring identik dengan pembuat keris. Kemudian saya mengimajinasikan Arok itu menyelinap dengan keris terhunus. Makanya ada pohon pisang. Terus ada gelap. Pokoknya menyelinaplah. Nggak mungkin berhadap-hadapan. Celaka sekali keris itu. Bodoh dan fatal sekali itu. Ha ha ha ha ha ha,” aku Ong mengenang kembali sampul Arok Dedes warna merah gelap terbitan Hasta Mitra itu. Saat ada kesempatan buku itu cetak ulang, Ong buru-buru merevisi sampulnya dengan membuang keris sialan itu.

Di luar keris sialan itu, Ong memang memperlakukan buku Pram tak biasanya. Sebab bagi Ong, Pram itu tokoh luar biasa. Maka betapa kagetnya Ong ketika pada suatu hari Pram dan keluarganya berkunjung ke rumahnya di Bugisan.

“Saya bingung sekali. Ini ada orang besar datang ke rumah saya. Saya bingung sekali. Saya harus melakukan apa. Padahal saya kira Pram nggak suka disuguhi berlebihan. Tapi, saya sebagai orang menghormati rasanya harus menjunjungnya. Bagaimana ya. Nervous gitu. Saya harus ngomong apa. Shock benar saya. Apalagi orang kayak saya ini yang hanya bermimpi-mimpi waktu di SMA membaca Tetralogi Buru sembunyi-sembunyi, kayak apa ya pengarang buku hebat ini. Itu 20 tahun sudah. Terus ia datang di depan saya, sungguh kayak mimpi. Apalagi saya kan orang Jawa yang harus melayani tamu sebaik-baiknya. Mana saya harus bekerja keras belajar memanggilnya Bung, bukan Mas. Hahahahaha. Padahal saya tahu Pram itu Jawa yang bukan Jawa. Jadi saya nggak tahu harus berbuat apa. Di rumah nggak ada istri dan anak lagi. Terpaksa untuk bikin wedang (air minum) saya minta tolong tetangga sebelah. Dan malu sekali saya. Sirupnya pakai air panas. Panas sekali. Siang panas gitu lagi. Kan nggak nyambung sirup pakai air panas. Aduh, malu sekali saya.”

M Bakkar Wibowo juga merasakan hal yang sama ketika diminta Lentera Dipantara membikin sampul untuk tujuh buku, antara lain Sang Pemula, Di Tepi Kali Bekasi, dan Hikayat Siti Mariah. “Saya sangat bangga. Juga tentu saja tegang. Bukan apa, kapasitas Pram sebagai sastrawan internasional itu. Walaupun beberapa kali makan bersama, saya tetap menganggap Pram manusia luar biasa. Membuatkan sampul buku Pram saya anggap puncak karier pembuatan sampul saya,” ujar Bakkar. Walau demikian, pembuat sampul buku yang sudah berjumlah hampir 150 buku ini baru membaca karya Pram yang halamannya tipis-tipis seperti Larasati dan Gadis Pantai. “Nggak ding. Gadis Pantai nggak selesai,” serunya ngakak.

Bagi Ong—juga Bakkar—Pram adalah pribadi yang menarik, keras, dan teguh. Dan Ong tak akan lupa kata-kata Pram: “Kerja, kerja, kerja, kerja, kerja!” Menurut Ong, itu kalimat yang sangat dahsyat. “Kerja itu kan, ya sebagai manusia kamu harus bekerja menghasilkan sesuatu. Kalau nggak, kamu bukan manusia. Kerja! Kerja! Kerja!” pungkas Ong.

Tidak ada komentar: