Senin, 20 April 2009

Ensiklopedia Kawasan Indonesia

Oleh Muhidin M Dahlan

Memasuki perpustakaan Pram di lantai tiga rumahnya yang asri di Bojong Gede, Bogor, kita langsung dihadang sebarisan klipingan berkelok-kelok. Seperti tentara, semua klipingan itu berdiri seragam dengan mantel oranye yang menyala di atas almari buku. Tak ada satu pun tercecer dalam barisan. Rapi. Bersih. Tegap.

Barisan itulah yang selalu menjadi impian Pram sejak 1982. “Bung, bagus mana namanya: Ensiklopedi Citrawi Indonesia atau Ensiklopedi Kawasan Indonesia,“ kata Pram kepada sahabat dekatnya Mujib Hermani pada suatu hari memilih judul yang tepat.

Pram memang memiliki impian untuk bisa memandang Indonesia seutuhnya. Maka dikerjakannya proyek yang hampir mustahil itu seorang diri. “Ini saya kerjakan sebagai konsekwensi pandangan saya sendiri: untuk dapat mencintai tanahair dan bangsa secara wajar orang dituntut untuk tahu tentang yang dicintainya, tanahair dari sosio-geografinya, bangsa dari sejarahnya. Kalau tidak cintanya terhenti pada cinta monyet. Dari pengalaman selama 4 tahun ini saya jadinya bisa banyak bercerita yang aneh-aneh tentang tanahair ini. Memang belum saya bikin catatan, masih tersimpan di kepala, namun tetap tak teragukan keorisinalannya,” tulis Pram dalam suratnya kepada sosiolog Ariel Heryanto yang bertanggal 23 Maret 1986.

Caranya: setiap hari ia akan menggunting koran. Ada Kompas, Pelita, Media Indonesia, dan sebagainya. Tapi Pram hanya menggunting yang terkait dengan geografi Indonesia: desa, gunung, laut, kebudayaan, dan sebagainya. Dan itu dilakukan dengan sangat disiplin. Pram akan menggunting pada jam 8 pagi setelah kerja-badan dan akan mengelem pada malam harinya. Jika tak sedang di rumah, ia akan selalu membawa gunting, lem, pena, dan dibelinya koran-koran di jalan. Demikian dilakukannya kegiatan itu selama puluhan tahun.

Tapi bukannya Pram tak pernah disundut jenuh. Kadang ia mengeluh. “Telah hampir 4 tahun ini saya mengerjakan kamus sosio-geografi Indonesia. Tanpa pernah mengenal hari libur. Untuk itu saja 10 jam setiap hari. Beberapa jam lainnya untuk pekerjaan lain-lain. Dalam sebulan itu belum lagi mampu menyelesaikan 4 kabupaten. Soalnya orang Aceh—Aceh sebagai kesatuan administratif, bukan etnis—betul-betul tidak kreatif. Nama desanya merupakan ulangan-ulangan yang melelahkan, sama halnya dengan nama desa orang Jawa. Maka saya hentikan dan beralih pada Kab. Gorontalo. Suatu kesegaran tersendiri. Soalnya: hampir tak ada nama desa kembar di sini. Maka saya nilai kreatif. Pekerjaan ini mungkin memakan waktu 12 tahun lagi. Mengingat, mungkin dalam waktu itu saya sudah mati, maka pekerjaan saya batasi sedemikian rupa, hingga hanya menggarap bahan dasar. Agar kelak orang dapat meneruskan bila toh tubuh tak dapat dipertahan lagi. Tadinya memang saya anggap dapat diselesaikan 2-3 tahun. Itu karena pengaruh Ensiklopedi Hindia Belanda, yang melihat dunia kekuasaannya berhenti sampai di distrik. Pandangan saya sebaliknya dari bawah, desa sebagai unit administrasi terkecil, ke atas, sampai propinsi dan negara.”

Pram pun kadang berandai sekiranya menang Nobel, uangnya untuk membiayai impian terakhir hidupnya itu. Ia ingin menjadi penyedia pengetahuan yang berarti untuk masyarakat tentang apa arti ribuan pulau Indonesia yang besar dan luas ini. Andaian itu kadang terdengar melankolis.

“Saya ingin mempercepat selesainya. Tapi dengan catatan saya dibantu paling tidak 10 orang. Dan itu bisa dilakukan selama 2 tahun. Tapi uang darimana saya dapatkan untuk menggaji orang-orang ini,” keluh Pram setelah 23 tahun menggunting bahan dari koran yang terbit tiap hari.

Dan kita tahu Pram tak pernah memenangkan Nobel yang dinazarkannya untuk ensiklopedia itu.

Sadar dengan itu, tak lantas ia patah arang. Sebab bukan itu perkaranya. Ini soal cinta. Maka ia bekerja terus dengan cara-cara yang jauh dari cara kerja teknologi yang serbacepat seperti mengundu dari internet. Ia serupa dengan para rahib yang tetap bertahan di gulungan waktu. Maka senjata utama Pram hanyalah koran, gunting, lem, kertas, dan mesin tik Olympus.

Dengan perkakas manual itu, sekian tahun Pram telah menyempurnakan beberapa bagian. Terutama dasar-dasar entri ensiklopedia, semisal nama desa dan kota. Namun keterangan tentang entri dasar itu masih belum tersusun. Keterangan itu berpencar dalam 81 barisan guntingan koran yang tersusun rapi berkelok-kelok yang tebalnya kurang lebih 16 meter. Masing-masing volume sudah diberi nama entri, misalnya: Ampibabo-Aosale Ds, Harto-Hutan, IAIN-Iyukecil, Jakarta-Jalak Bali, Mahato Ds-Mamuju, Sarabua-Semanggi, dan seterusnya.

Entri paling banyak adalah Timor Timur dan Aceh. Khusus Aceh, ini mungkin sebagai permohonan maaf Pram atas ulah manusia Jawa menginvasi Aceh. Kata Pram: “Saya merasa berutang pada Aceh. Ratusan tahun Jawa mengirim pembunuh bayaran ke Aceh. Sejak zaman kumpeni Aceh punya keberanian individu, Jawa punya keberanian kelompok. Beda sekali.”

Yang paling sulit bagi Pram—dan karena itu terkumpul sedikit—adalah entri U, V, W, Y, dan Z. Entri X bahkan tak ada sama sekali. Jika tak direnggut batas hayat, mungkin Pram tak akan berhenti mengumpul bahan.

Kita jadi takjub. Mungkin malu. Bagaimana bisa dengan kebebasan yang sangat terbatas dan minimal serta memakai cara-cara manual itu, Pram seorang diri bisa membangun sebuah proyek yang hampir mustahil dilakukan dengan hanya mengandalkan dua tangan itu.

Jawabnya adalah kecintaan yang berlebih atas tanah air dan bangsa. Kecintaan itu mengabaikan semua halangan dan serbaketakmungkinan. Cinta yang begitu melahirkan asketisme. Asketisme tak berbicara uang, walau itu penting. Asketisme adalah sebuah sikap mandiri, konsisten, dan sendiri menerobos waktu untuk mencari renik demi renik pengetahuan. Dan Pram bukannya tak tahu diri, tak tahu batas. Karena itu, ia hanya menunjukkan jejak. Para pewarisnya yang bertugas melanjutkan pekerjaan raksasa yang ditinggalkannya itu.

Dua pekan sebelum berangkat, Pram masih menggunting untuk ensiklopedi impiannya. Tapi ia sudah tak setangguh seperti sediakala. Dan entah kebetulan atau tidak, entri terakhir yang diguntingnya justru adalah kerusuhan freeport di Abepura, Papua; propinsi paling timur Nusantara. “Untuk baca satu artikel Papua saja, Pram beberapa kali terbaring. Tahu kekuatannya hampir habis, Pram lalu menulis: PAPUA. Selesai. Sampai di situ saja klipingannya,” kenang Astuti Ananta Toer, puteri keempatnya.
Hah, 23 tahun Pram menjejaki Nusantara dengan koran, gunting, dan lem. Ia masuki satu demi satu dusunnya. Dan ia tahu juga bahwa perjalanan harus berakhir. Bukan di Jakarta, tapi di Abepura, Papua. Di Papua, Saudara!

Tidak ada komentar: