Senin, 20 April 2009

Pram, Srikandi, dan Seks

Oleh Muhidin M Dahlan

“Nenek dan ibu saya menjiwai karakter semua perempuan kuat dalam tulisan-tulisan saya. Dan mereka menjiwai semua orang yang berjuang menjadi diri sendiri.” -- Pramoedya Ananta Toer

Hampir separuh hidupnya, Pramoedya Ananta Toer, sastrawan sepuh yang namanya berkali-kali masuk dalam kandidat pemenang nobel sastra, sangat dipengaruhi oleh perempuan. Betapa tidak, sepenuturannya dalam pelbagai forum diskusi dan bedah bukunya, nenek dan ibunyalah yang sangat memengaruhi etalase kepribadian dan kesadarannya. “Dari merekalah saya temukan arti harfiah dari kata pahlawan, yakni pribadi—tak perlu seorang yang besar, tapi hanya pribadi biasa—yang hidupnya bermanfaat bagi orang lain.”

Dari neneknya Pramoedya belajar bagaimana tegar menghadapi hidup walaupun kekalahan terus membayangi. Kekecewaan yang datang bertubi-tubi dan menumpuk selama bertahun-tahun mungkin mampu menghancurkan seseorang, tapi tidak neneknya. Dia adalah pribadi yang tidak bergantung pada orang lain, walaupun itu anak atau cucunya sendiri. Dia bergantung hanya dengan dirinya sendiri. Dan neneknya ini memang kalah dalam artinya yang sangat pahit: mati di tengah jalan, sendiri dan sunyi.

Keteguhan sikap neneknya itu kemudian terwaris dalam alam kesadaran ibunda Pramoedya. Dalam kenangan Pramoedya, ibunya tumbuh berkembang dengan keyakinan nasionalis yang kuat. Kemandirian untuk menjadi tuan di rumah dan di negeri sendiri menjadi seruannya. Di sisi lain dia hanyalah seorang yang harus berkuasa atas nasib dia sendiri, sehingga harus menjadi individu yang mengontrol kehidupannya sendiri.

Dialah yang mendorong Pramoedya untuk unggul di sekolah (ibunya jualah yang selalu menyemangati si sulung itu untuk tetap bertahan ketika ia ingin berhenti sekolah karena malu setelah 8 tahun selalu mendapatkan angka jeblok), hingga kelar, agar bisa mendaftar di Institut Kejuruan (semacam STM sekarang ini) di Surabaya di mana Pramoedya bisa belajar menjadi seorang operator radio.

Ibunyalah yang mengajarkan Pramoedya untuk mencintai pekerjaan apa pun yang dikerjakan selama kita tidak melakukannya untuk kepentingan kolonial karena itu sama saja dengan bekerja sama untuk menjajah bangsa sendiri. “Jangan pernah mengemis,” begitu ibunya menekankan, “jangan pernah mengemiskan sesuatu yang bukan hakmu, walau hanya sebuah buku tulis. Mencari dengan jerih-payahmu sendiri lebih baik daripada hasil pemberian.” Itulah yang mendorong Pramoedya berpikir untuk mencukupi kebutuhannya sendiri: dengan uang hasil panen yang ia jual ke pasar, ia membeli beberapa ekor ayam. Telur-telurnya lalu ia jual dan uangnya ia belikan beberapa ekor kambing. Dalam suluhan ibunya itulah Pramoedya bisa mandiri dalam arti yang sesungguh-sungguhnya.

***

Karena pengaruh perempuan dalam kesehariannya itulah yang barangkali menarik Pramoedya menampilkan sosok perempuan di titik pusat karya-karyanya, sebarisan srikandi yang berenang dan bertarung dengan kekuatan sejarah. Para srikandi ini, di tangan Pramoedya menjadi kekuatan anonim yang dengan kekuatan individu yang dipunyainya coba berdiri tegar di zaman yang penuh daya dera yang menggilas, walaupun pada akhirnya mereka kalah dalam pertarungan sejarah.

Bacalah empat jilid roman Tetralogi Buru. Di sana kita dapati sebarisan srikandi yang dengan segala sungguh mengibarkan panji-panji perjuangan dan heroisme dalam arus sejarah. Sanikem, yang kemudian kita kenal dengan Nyai Ontosoroh, adalah salah satu srikandi yang kuat itu. Ia dijual oleh ayahnya sendiri yang kebelet naik pangkat dengan seorang administratur pabrik gula Sidoarjo, Herman Mellema.

Sejak saat itu ia menjadi korban tindasan sistem pergundikan mahakejam, menjadi nyai dari laki Belanda tanpa ada ikatan hukum apa pun. Namun dengan segala kegigihannya, ia berusaha sekuat-kuatnya meloloskan diri untuk tidak menjadi gundik tolol, yang serelanya menjadi jongos seksual laki-laki. Dengan menggunakan—tepatnya mencuri—pengetahuan suaminya (Barat), ia mengisi kekosongan otaknya dengan pengetahuan: belajar membaca dan menulis, berwicara dengan bahasa Belanda, menulis dengan bahasa Belanda, terampil dalam ilmu pembukuan, dan sejingkat demi sejingkat belajar mengelola perusahaan susu sambil perlahan-lahan mengumpulkan modal sendiri.

Dalam setting dialog dengan Nyai Ontosoroh ini, Minke, sang protagonis dalam roman ini, tak lebih hanya seorang pemuda lugu. Minke seakan tenggelam dalam kecerdasan alamiah dan bayang-bayang perbawa perempuan kuat dengan segudang pengetahuan ini.

Perempuan lain adalah Bunda, ibu Minke sendiri. Perempuan ini adalah perpaduan antara sikap lemah dan naif dengan kedalaman filosofi hidup yang tercerap dalam jejalan pengalaman yang luar biasa. Di satu sisi ia selalu memperingatkan Minke untuk selalu menghormati dan memberikan sumpah-sembah kepada ayahnya yang haus akan jabatan dan kekuasaan, tapi di sisi lain ia bisa mengerti dan menerima kehendak anaknya yang “emoh” menjadi bupati melainkan bersikukuh menjadi jurnalis, manusia mardika yang menyuluhi bangsanya dengan pena di jalan kebudayaan.

Yang lain adalah Ang San Mei, seorang aktivis yang dengan keteguhan hatinya dan cintanya kepada tanah airnya Tiongkok, telah menariknya ke dalam pasang-surut pergerakan dan terlabuh dalam kelupaan akan kepentingan pada diri sendiri: kepentingan merawat tubuh dan bersolek sebagaimana perempuan lazimnya. Bersama Minke, ia terlibat dalam percintaan yang aneh selama lima tahun—sangat jarang berkumpul karena Ang Mei tiap malam harus keluar menghadiri rapat-rapat pergerakan bawah tanah, sementara Minke sibuk kuliah dan mengurus korannya. Karena didera oleh penyakit, Mei pun meninggal. Hadirnya tokoh ini memberi romantika tersendiri dalam roman jilid ketiga ini (Jejak Langkah) yang sarat dengan gagasan politik besar dan isu-isu pergerakan.

Dari percakapan antara Minke dan Mei terlukis rasa cinta yang tak sepenuhnya saling memahami, tapi penuh kepercayaan satu dengan yang lainnya.

Srikandi yang lain yang berwatak sama dengan Ang Mei adalah Siti Soendari, kawan sesekolahan Minke yang tinggal di Pemalang. Dari perempuan ini tergambar sebersit tekad bagaimana seorang manusia yang selama ini direndahkan oleh adat feodal Jawa untuk kawin diusia muda berhasil menampik permintaan ayahnya untuk segera menikah dan memilih menjadi perempuan mardika yang bekerja demi cita-cita.

Ada pula Prinses van Kasiruta, seorang gadis maluku yang cantik yang kilauan mata birunya berhasil merebut hati sang pemimpin redaksi Medan Prijaji, Minke, dan mereka pun menikah. Prinses dibesarkan dalam keluarga pergerakan, berpendidikan, dan mahir bercakap dalam bahasa Sunda dan Belanda. Tidak cuma itu, ia juga terlatih secara fisik: menunggang kuda dan menembak. Dari perempuan inilah kita menemukan perpaduan manusia yang kuat dalam otak maupun otot. Nantinya, perempuan ini yang dengan keras melindungi Minke dari beberapa kali usaha percobaan pembunuhan.

Selain roman Tetralogi Buru, dalam karya Pramoedya yang mengagumkan yang lain, seperti Gadis Pantai, Midah Simanis Bergigi Emas, dan Larasati, para srikandi juga menjadi sentrum penceritaan dalam bergelut dengan kelindan peristiwa-peristiwa besar dan kemanusiaan.

Gadis Pantai disebut-sebut roman paling indah menggambarkan perlawanan seorang perempuan papah menguliti jahatnya sistem perbudakan yang diselimuti feodalisme Jawa plus dibungkusi oleh praktik agama yang disalahpahami. Dikisahkan bahwa Gadis Pantai adalah perempuan asal kampung nelayan di Jawa Tengah yang masuk dalam lingkup pemerintahan Kabupaten Rembang.

Ia adalah gadis manis yang dengan kecantikan alamiah perempuan Jawa cukup ampuh untuk memikat hati seorang pembesar santri setempat; seorang Jawa yang bekerja pada (administrasi) Belanda. Dia diambil istri oleh pembesar tersebut dan menjadi apa yang dikenal dengan Mas Nganten atau Bendoro Putri. Perempuan yang melayani “kebutuhan” seks laki-laki sampai kemudian dia memutuskan untuk menikah dengan perempuan yang sekelas dan sederajat dengannya. Dia tidur dengan pembesar itu. Membantu mengurus dan memerintah di kompleks keresidenan, paviliun, kandang-kandang, dan bahkan sebuah masjid. Perkawinan itu memberikan prestise baginya di kampung halamannya karena dia dipandang telah dinaikkan derajatnya. Tapi itu tidak berlangsung lama. Ia terperosok kembali ke tanah. Orang Jawa yang memilikinya, tega membuangnya—setelah dia melahirkan seorang bayi perempuan.

Pergulatan Midah juga serupa, melawan keangkuhan dan kekuasaan patriarki seorang ayah. Ia berjuang sendiri tanpa bantuan siapa pun. Ia lari ke jalanan dan berusaha menaklukkan hawa jalanan yang ganas semampu ia bisa walaupun akhir-akhirnya harus kalah. Di novel ini para lelaki tak ubahnya sosok-sosok lemah yang wajah aslinya dipampangkan sedemikian vulgar: sosok-sosok yang buta matabatinnya dalam segala anotasi kualitasnya.

Tokoh Ara dalam Larasati juga demikian. Ara merupakan representasi dari keteguhan seorang perempuan dalam golak revolusi yang dipenuhi oleh segerombolan laki-laki bersenjata dari pelbagai watak: dari yang kasar hingga yang paling gombal dan hidung belang. Dari kisah dirinya terpotret sepenggalan sejarah hiruk-pikuk revolusi.

***

Yang unik adalah terjadinya pergeseran komposisi teknik literair dari percakapan antar tokoh-tokoh perempuan dan tokoh laki-laki. Entah mengapa, perbincangan antara Minke dan tokoh perempuan selalu menyenangkan yang di setiap barik kalimatnya terlontar dan tercetak ruas ajaran dan kedalaman hidup.

Teks seakan berjalan sendiri tanpa rencana hingga menjumpai sendiri batas estetiknya. Simaklah percakapan antara Ontosoroh dan Minke—atau yang lebih indah antara Minke dan Bunda—kita akan menemukan kilatan-kilatan teks yang indah, sebagaimana tersurat dalam salah satu paragraf di Bumi Manusia (nasihat Ontosoroh kepada Minke): “Cerita, Nyo, selamanya bicara tentang manusia, kehidupannya, bukan kematiannya. Ya, biarpun yang ditampilkannya itu hewan, raksasa atau dewa atau hantu. Dan tak ada yang lebih sulit dapat dipahami daripada sang manusia…. Nyo, jangan sekali-kali menganggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana; biar penglihatanmu setajam mata elang, pikiranmu setajam pisau cukur, perabaanmu lebih peka dari para dewa, pendengaranmu dapat menangkap musik dan ratap-tangis kehidupan; pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal bisa kemput….”

Dalam Gadis Pantai, komposisi literair dari percakapan yang memikat juga bisa kita temukan. Setting percakapan yang paling indah dalam roman ini adalah di kamar Kadipaten yang dingin antara Gadis Pantai dengan Simbok. Tidak ada kelebatan teori-teori besar tersebar dari sini. Sebab Gadis Pantai hanya anak pantai yang lugu dan selalu ingin tahu, sedangkan Simbok hanya seorang bujang Kadipaten dan masih sempat menyaksikan sisa-sisa terakhir pemberontakan Dipanegara yang gagal itu. Tapi di sinilah dengan cara perlahan-lahan, kebuasan feodalisme disingkap. Sangat lambat memang, tapi membuat kita menahan nafas membacanya. Saya kira, dari percakapan dengan Simbok-lah yang kemudian memunculkan kata-kata Gadis Pantai yang sangat tajam, pedas, dan mengena yang senatiasa diingat-ingat oleh pembaca roman ini: “Mengerikan bapak, mengerikan kehidupan priyayi ini… seganas-ganas laut, dia lebih pemurah dari hati priyayi… ah tidak, aku tak suka pada priyayi. Gedung-gedungnya yang berdinding batu itu neraka. Neraka. Neraka tanpa perasaan.”

Tapi menjadi lain struktur teknik ketika tokoh-tokoh protagonis berbicara dengan laki-laki. Roman Tetralogi Buru adalah contoh yang paling pas dari gambaran perubahan komposisi struktur literair itu. Hampir-hampir diskusi yang berlangsung bersama segerombolan laki-laki terkesan sangat kering dan verbal. Renungan-renungan Pangemanann (dengan dua n) tak ubahnya filsafat politik dan catatan perbandingan dua kebudayaan (Jawa dan Belanda), dua moralitas (Pribumi dan Penjajah), dan dua hukum (Islam dan Barat). Perbincangan Gubernur Jenderal Van Heutz dan Minke mirip notulensi politik dan laporan jurnalistik. Dan dari percakapan Minke dengan ayahnya yang tercuap hanya melulu soal kekuasaan dan sembah-sumpah.

Dalam Arus Balik percakapan yang datar dan verbal juga kita temukan di antara deretan lelaki, misalnya antara Galeng dengan Syahbandar Tuban, Tholib Sungkar, atau dengan Adipati Tuban Arya Teja Wilwatikta. Betapa sangat berbeda percakapan antara Galeng dengan sang kamaratih Tuban, Idayu; atau keduanya (Galeng-Idayu) dengan Rama Cluring, begawan misterius, yang walaupun hanya dalam sekilatan cerita (tak sampai 10 halaman), menjadi sangat kuat dan meninggalkan kesan bagi pembaca ketimbang gelontoran kalimat pengisahan dan jubelan tokoh yang datang-pergi dalam 700 halaman yang lain.

Demikian pula dengan Bendoro dalam Gadis Pantai. Percakapan melulu berputar soal agama, jabatan, acungan telunjuk perintah dan keangkuhan khas elite Jawa yang berkuasa atas rakyatnya. Demikian pula percakapan antara Midah dengan Hadji Abdul, ayahnya, (atau Ahmad, polisi yang lari dari tanggung jawab setelah menghamilinya di jalanan) yang hampir-hampir tanpa sentuhan emosi yang humanis.

Lalu pertanyaannya—sebagaimana pernah ditanyakan Ignas Kleden dalam esainya yang bagus—mengapa ketika alur cerita berjumpa dengan sebarisan srikandi, cerita menjadi literair dan pengarang menjadi pencerita narasi yang mahir; sementara ketika alur bertemu dengan segerombolan laki-laki, cerita menjadi autorial dan pengarang menjadi komentator atas ceritanya sendiri (sebagaimana terbaca dalam Tetralogi Buru, Arus Balik, Gadis Pantai, Larasati, maupun Midah).

Barangkali salah satu sebabnya adalah karena ketika betemu dengan sebarisan srikandi, dialog yang terjadi antara dua pribadi atau beberapa pribadi (Minke dengan Annelis, Ontosoroh, Bunda, Ang Mei, Prinses van Kasiruta; Gadis Pantai dengan Simbok; Galang dengan Idayu, Siti Aisah dengan Patih Unus; Midah dengan Ibunda dan Bibi Riah [bujang di rumah Midah]). Sebaliknya, dalam dialog dengan lelaki, pembicaraan berlangsung antara dua gagasan.

***

Pertanyaan terakhir yang memburu kemudian adalah di mana letak seks dalam sederet karya Pramoedya Ananta Toer dengan sebarisan srikandi yang dihadirkannya di panggung cerita? Untuk menjawab pertanyaan itu baiknya kita kutipkan pendapat Taufik Rahzen dalam peluncuran buku “edisi perempuan” dan dialog bersama Pramoedya Ananta Toer yang dimoderatori Edy A. Effendi, 12 Agustus 2003 di Jakarta. Rahzen mengandaikan adanya tiga tali simpul dari karya-karya Pramoedya. Simpul kesatu adalah kebenaran. Kebenaran bukan kekuasaan. Kebenaran menuntun, sementara kekuasaan memerintah. Kebenaran, seperti halnya traktat sejarah, adalah tempat orang melanglangi dunia. Kebenaran adalah asas adalah lentera ke mana seseorang melangkah. Dengan kebenaran seseorang jadi tahu dari mana ia berangkat dan mengikuti ke mana pendulum tujuannya bergerak.

Simpul kedua adalah keadilan. Kebenaran harus ditabrakkan dengan kenyataan sosial dalam sirkulasi yang dialektis. Kebenaran yang tidak menyata dan memerjuangkan keadilan bukanlah ajaran, melainkan penjara langit. Di simpul keadilan ini kebenaran diuji dalam golak sejarah, baik di ranah struktural (kekuasan politik) maupun kultural (strategi kebudayaan). Pertautan antara kebenaran dan keadilan itu yang melahirkan simpul ketiga, yakni keindahan.

Keindahan yang dipahami Pramoedya tidak sama dengan keindahan yang dikonsepsikan oleh sastrawan Balai Pustaka dan para pewarisnya, yakni kemahiran mengutak-atik bahasa. Bagi Pramoedya, keindahan terletak pada kemanusiaan dan perjuangan untuk kemanusiaan: pembebasan terhadap penindasan.

Dari sini menjadi jelas bahwa cita-cita pembebasan adalah muara segala nafas cerita yang dikoreoscriptakan Pramoedya, termasuk anggitan dan gerak-gerik watak tokohnya. Maka seks (yang vulgar) menjadi sesuatu yang “tabu” dalam gulungan cita-cita pembebasan. Sebab seks vulgar di mana pertemuan dua jenis bibir anak manusia jadi tujuan dari setiap pergulatan, tegas Pramoedya dalam Realisme-Sosialis dan Sastra Indonesia, adalah khas “sastra ngak-ngik-ngok”.

Kalaupun seks kita temukan, maka jangan bayangkan pendetailannya sevulgar Ayu Utami dalam Saman dan Larung-nya yang dikomentari Pramoedya sebagai novel yang isinya seks melulu. Bacalah “making love” Minke dengan si Bunga Akhir Abad, Annelis, dalam Bumi Manusia yang mirip ritual penyembuhan dari sakit Annelis yang alih-alih membuat pembaca terangsang, malahan membuat kita tertawa dan menganggap pengarangnya sama sekali buta dengan soal-soal seks.

Selain kisah dalam Bumi Manusia itu, praktis kita kesulitan menemukan adanya seks yang romantis; yang banyak tersurat adalah adegan kekerasan seksual sebagaimana terbaca dalam Arus Balik ketika Idayu diperkosa Tholib Sungkar ataupun kisah-kisah gadis yang keperawanannya direnggut paksa oleh tentara-tentara Jepang dalam Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer. Bagi Pramoedya, kekerasan seksual terhadap perempuan menjadi salah satu mandat yang harus dibela dan diatasi dalam visi besar pembebasannya.

Pungkasnya, seks dalam wacana karya-karya Pramoedya diletakkan dan disimpan rapat-rapat dalam peti ideologi dan cita-cita besar untuk menyuluhi nasionnya. Karena memang tugas mengarang bagi Pramoedya adalah semacam mandat nasional yang mau tidak mau harus bisa mencerahkan kesadaran (politik dan humanisme) masyarakatnya. Maka pahamlah kita mengapa Pramoedya dengan cukup dominan meletakkan kehendak bebas dan perjuangan sebarisan srikandi—dan bukan seks (yang vulgar)—dalam setiap halaman karyanya.

Tidak ada komentar: