Senin, 20 April 2009

Jalan Raya Pos: Beberapa Kritik

Oleh Diana AV Sasa

Melihat kepiawaiannya mengaduk-aduk emosi pembaca melalui alur cerita yang runtut dan mengugah dalam Tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca)—yang ditulis dengan gaya tutur roman, menilik ketekunan dan kegigihannya dalam menyunting dan menyusun pelbagai sumber sejarah hingga menjadi karya Sang Pemula dan Panggil Aku Kartini Saja yang merupakan karya non fiksi—maka buku Jalan Raya Pos, Jalan Daendels nampaknya merupakan sebuah karya yang disusun Pramoedya Ananta Toer untuk menggabungkan gaya keduanya tapi justru kehilangan arah penulisan yang jelas.

Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, demikian judul yang tertera di sampul depan dengan ilustrasi sebuah latar belakang aktivitas kerja rodi, sebuah peta, dan seorang kumpeni menaiki kuda.

Pada ringkasan di sampul belakang dan pengantar penerbit di awal tulisan—entah mengapa tak ada pengantar penulis seperti pada karya-karya Pram yang lain—melalui Jalan Raya Pos, Jalan Daendels ini, Pram ingin menuturkan kembali sisi paling kelam pembangunan jalan yang beraspalkan darah dan airmata manusia Pribumi itu. Sebuah upaya memberikan sumbangan catatan sejarah pada dunia dengan menjahit-jahit serangkaian catatan perjalanan, beberapa hasil wawancara singkat, buku dan jurnal sejarah, ensiklopedi, serta beberapa surat kabar. Judul yang mengusik ingatan dan pengantar yang satir ini membuat keinginan untuk segera mengetahui fakta-fakta sejarah yang akan dituturkan serasa menyeruak begitu besar.

Diawali dengan sub judul Blora-Rembang, Pram mencoba memberikan sebuah gambaran ringkas mengenai Jalan Raya Pos atau Jalan Daendels. Jalan yang membentang sejauh 1000 km dari Anyer sampai Panarukan ini dibangun pada 1809 oleh Maarschalk en Gouverneur General Mr. Herman Willem Daendels melalui penjatahan pada para bupati yang wilayahnya dilalui jalan ini.

Sebenarnya Daendels tidak sepenuhnya membangun, pada beberapa ruas, dia hanya sekadar melebarkan karena jalan itu sudah ada sejak jaman kerajaan Majapahit. Selama masa pembangunan itu, ribuan nyawa warga pribumi melayang karena kelelahan, kelaparan, dan terserang malaria. Di bagian ini Pram juga menuliskan kenangan masa kecilnya seputar kota Blora-Rembang dan pengetahuan awalnya semasa sekolah mengenai jalan Daendels.

Kemudian dilanjutkan dengan sub bab Lasem, Pram mengulas lebih banyak—masih secara umum—tentang sejarah kebesaran kota Lasem, fakta-fakta mengenai Daendels-mulai dari ikhwal kedatangannya ke Indonesia yang tanpa dokumen, fakta bahwa dia adalah utusan negara Perancis yang sedang menguasai Belanda, sampai caranya memimpin yang kasar dan serampangan—gagasan awal mengapa Jalan Raya Pos dibangun, berikut tahap pembangunannya. Setelah itu kemudian dilanjutkan dengan sub bab Anyer.

Bab ini lebih banyak mengulas mengenai kedatangan awal Daendels ke Jawa. Dilanjutkan kemudian dengan sub bab Cilegon, Banten, serang, dan kota-kota lain yang dilalui jalan Daendels sampai Panarukan. Tidak jelas mengapa pembagian bab dimulai dari Blora dan bukan Anyer seperti mula jalan ini berujung. Karena disebutkan di awal bahwa ini adalah sebuah catatan perjalanan, barangkali perjalanan itu dimulai dari Blora. Tidak jelas kemudian dilanjutkan ke mana setelahnya. Hal ini membuat kerancuan pengertian karena pada tiap bab itu tidak semuanya membahas tentang jalan Daendels secara mendalam. Ada yang hanya sekadar catatan sejarah yang berhasil diingat (dihimpun?) penulis, ada juga yang sekedar penjelasan letak geografis secara umum (sekian kilometer ke utara/barat/timur dll).

Semestinya, pembahasan mengenai Blora, Rembang, dan Lasem yang panjang lebar itu tidak berada di awal, melainkan di tengah, tepat ketika membahas jalan yang melalui kota itu. Inilah kelemahan awal buku ini.

Buku setebal 148 halaman dengan ukuran 13 x 20 cm ini disusun dengan tipografi dan layout yang tepat. Pemilihan jenis huruf, ukuran huruf, jarak tiap baris, hingga jumlah baris pada tiap halaman nampak diperhitungkan betul sehingga memunculkan irama membaca yang tidak memerlukan kening berkerut atau mata menyipit. Cara bertutur Pram dalam karya ini juga sangat mudah dipahami, dan sebagai sebuah catatan sejarah, buku ini tidak terlalu berat untuk dibaca, bahkan bisa dibaca saat santai atau menjelang tidur.

Pram mengajak ingatan pembaca untuk melompat-lompat pada beberapa peristiwa sejarah yang pernah terjadi di kota-kota yang di lalui jalan Daendels itu. Kemudian sesekali di giring pada pengalaman pribadinya di kota itu. Terkadang Pram juga menyisipkan informasi ’unik’ yang tak ada hubungannya dengan bahasan, seperti bahwa Matahari, mata-mata yang terkenal itu ternyata lahir di Priangan (Anda pasti bingung jika tak pernah tau siapa itu Matahari).

Jika tidak terlalu serius, maka tak ada masalah dengan buku ini, tapi jika kita sedang serius dan ingin menggali data lebih banyak mengenai jalan Daendels, maka ’lompatan-lompatan’ itu akan sangat mengganggu konsistensi perunutan.

Pada halaman akhir dilampirkan beberapa sumber tulisan, sehingga nampak bahwa karya ini ilmiah. Akan tetapi sumber itu tidak benar-benar dirujuk, hanya sekadar dicantumkan saja. Jadi tidak jelas pada bagian mana sumber itu memberi kontribusi pada tulisan di dalam buku. Tidak ada foot note, apa lagi referensi. Sehingga, jika kita ingin menggali data lebih banyak, kita harus membaca sumber data itu lebih jauh-yang mayoritas berbahasa asing.

Ada juga dilampirkan sebuah peta kuno, tapi tak banyak membantu karena nyaris tak terbaca. Ketika mencoba merunutkan jalur jalan itu pada peta modern, terjadi kebingungan ketika menemukan beberapa persimpangan jalan alternatif. Jadi tidak ada gambaran jelas, apakah jalan itu masih ada mengingat perubahan luas wilayah selama kurang lebih 2 abad itu cukup signifikan.

Kota-kota seperti Anyer, Lasem, Surabaya adalah kota yang paling banyak berubah. Karena bencana, karena kondisi alam, atau juga karena pembangunan. Di Surabaya misalnya, tidak jelas yang mana Jalan Daendels yang menghubungkan Tambaklangun – Gresik - Surabaya dan Sidoarjo itu, karena memang saat ini ada beberapa jalur yang menghubungkan. Ketika disebut Wonokromo, semakin bingung dibuatnya, karena Wonokromo kini telah menjadi bagian dari Surabaya dan Tambaklangun masuk wilayah Gresik. Tidak ada informasi akurat mengenai hal ini.

Demikian pula dengan jalur Tuban-Gresik. Ada dua jalur yang bisa ditempuh, dan jika merunut info dari Pram, maka jalurnya bukanlah jalan yang sering dilalui jalur trayek kendaraan umum, melainkan jalur alternatif yang melalui tanjung kodok (itu jika persepsi dan pemahaman saya benar). Ketidakjelasan ini dikarenakan, semakin ke belakang, bahasan dari tiap bab semakin seadanya, informasi mengenai jalan Daendels juga minim, lebih banyak sejarah secara umum tentang kota itu, seakan hanya apa yang terlintas di ingatan saja yang diungkapkan.

Kisah genosida yang sejak awal didengungkan, tidak banyak diungkap pada bagian-bagian akhir. Hanya secuil informasi di awal-awal penulisan bahwa pada beberapa ruas, terjadi kematian pekerja besar-besaran karena kelelahan, kelaparan, dan juga karena serangan malaria. Bupati-bupati yang tidak dapat memenuhi target pembangunan, kepalanya dipenggal dan digantung di atas pohon sepanjang jalan. Juga kekejaman Daendels dalam memaksa rakyat pribumi menyerahkan tanahnya untuk dijadikan jalan tanpa kompensasi dan kewajiban mereka untuk turut membangun, melebarkan, meninggikan jalan di wilayahnya.

Sebagai referensi sejarah, yang di dedikasikan pada dunia, kelemahan detil informasi ini bisa vital karena menyangkut informasi yang akan disampaikan pada generasi mendatang.

Dengan sebuah kalimat “saya tidak pernah berjalan di atas bumi Panarukan” Pram mengakhiri penuturannya. Sebuah akhiran yang semakin membuat rancu ketika karya ini sering disebut—dan dinyatakan sendiri oleh penyusun—sebagai catatan perjalanan. Jika catatan perjalanan, maka perjalanan dari mana ke mana. Dari Blora ke Rembang atau Lasem? Jakarta - Bogor? Anyer - Bandung? Jakarta - Surabaya? Tidak jelas. Jika yang dimaksudkan adalah perjalanan hidup Pram, maka buku ini tengah kesulitan mencari genrenya.

Terlepas dari segala kelemahan tersebut, karya Pram ini—jika benar ini adalah karya Pram dan bukan sekedar serpihan catatan Pram yang dipadukan dengan beberapa sumber—telah memberikan masukan sejarah yang berharga bagi negeri ini. Karena memang tak banyak yang peduli pada sejarah yang telah terlupakan. Dan Pram adalah satu di antara yang tidak banyak itu.

Apresiasi tetap kita berikan karena harus diakui, ini mungkin satu-satunya sumber yang membahas mengenai jalan ini dalam bahasa Indonesia. Lagipula Jalan Raya Pos, Jalan Daendels memang bukan catatan sejarah yang serius seperti Sang Pemula, ini hanya sebuah catatan dari sekumpulan data sejarah dan romantisme perjalanan.

Informasinya juga sudah cukup layak untuk dijadikan pengingat tentang kebesaran dan sejarah kota-kota yang dilaluinya. Hendaknya buku ini menjadi pijakan awal bagi generasi selanjutnya untuk menyusun literasi yang lebih komprehensif, terstruktur baik, dan ilmiah mengenai Jalan Raya Pos, Jalan Daendels. Sebuah jalan yang telah membawa pengaruh perubahan besar di sektor ekonomi, budaya, dan sosial bangsa ini hingga sekarang. Sehingga nanti akan ada sebuah literasi sejarah yang bisa lebih layak untuk dijadikan referensi pelajaran sejarah formal yang selama ini hanya berpaku pada satu sumber. Maka anak cucu kita akan mendapat informasi yang tepat mengenai sejarah bangsanya. Dan tidak sekali-sekali melupakannya.

* Diana AV Sasa, pencinta buku dan bagian dari klub KUBUGIL (Kutu Buku Gila). Tinggal di Surabaya.



1 komentar:

Djefi Febian mengatakan...

Permisi Admin, Jika ada yang berminat dengan buku jalan raya pos, jalan daendels, silahkan kunjungi toko buku bekas online di www.aksiku.com, ini link untuk bukunya: http://www.aksiku.com/2014/03/jual-buku-jalan-raya-pos-jalan-daendels.html