Senin, 20 April 2009

Nyanyi Sunyi Pram di Perpustakaan Yogya

Oleh Fahri Salam

Hingga Pram meninggal, karya-karyanya masih seperti sayup suara yang lerai di rumah-bahasanya sendiri.

“Saya punya minat khusus dengan dia karena dia realistis,” kata Sujiyati, merujuk alasannya mencintai karya-karya Pram, dengan mimik serius dan nada tegas.

Sujiyati mengajar bahasa Indonesia di kelas tiga SMU Negeri 3 Yogyakarta di jalan Kota Baru. Ibu ini berusia paruh baya, kulit hitam coklat, senada dengan setelan jas dan pantolan hitam keabu-abuan yang dia kenakan saat saya menemuinya awal Mei silam.
Kami duduk di atas kursi kayu berlapis busa di ruangan hall depan. Di hadapan bagian informasi di sayap timur. Di bawah kipas yang tergantung di langit-langit ruangan yang tinggi.

Pintu masuk sekolah ini menghadap ke arah jalan di sisi selatan. Melewati lorong beberapa langkah. Bertemu ruangan luas yang langsung terhubung halaman lapang di tengah-tengah gedung. Pohon-pohon besar yang rimbun terpacak di situ. Deretan bangku dari beton. Para siswa yang sedang duduk mengobrol dan terdengar berisik, menerobos tanpa penghalang, ke telinga kami.

Hal itu bikin suara Sujiyati timbul-tenggelam. Sesekali saya perlu minta padanya untuk mengulangi apa yang dia katakan.

Sujiyati tampak serius ketika disinggung nasib kepengarangan Pram. Dalam kurikulum sastra yang dikenalkan pada siswa sekolah menengah, nama Pram, katanya, sampai sekarang tak sekalipun tercatat, baik untuk referensi maupun soal ujian. Lebih karena minat khusus Sujiyati dan atas inisiatif sendiri nama Pram terlontar di ruang kelas. Tak jarang Sujiyati menyuruh siswanya membaca karya Pram.

Pernah satu kejadian dia bikin soal ujian yang menyangkut karya Pram. Kawan mengajarnya terheran-heran. Sujiyati tanya alasannya. Si kawan menjawab dengan menghubungkan Pram dan “komunis”.

Sujiyati memang tampak masygul ketika saya meminta berkisah bagaimana dia menyarankan anak didiknya membaca karya Pram. dia memang melakukannya. Tapi muridnya bertanya-tanya lantaran tak paham dan mungkin banyak tak mengenal. Dan di antara mereka ada juga yang sudah membuat cerita dengan gaya dan bahasa pergaulan setingkat usia mereka, yang bikin Sujiyati bangga sekaligus miris, lebih karena gempuran novel-novel chiklit dan teenlit yang belakangan marak di tanah penerbitan Jawa.

Sujiyati menjawab dengan amat singkat. Dalam karya yang pernah dia baca, terutama karya Buru, Pram memperlihatkan, seperti ungkapan Sujiyati, ”Kemampuan mengubah musibah jadi berkah.”

PERPUSTAKAAN pusat pemerintah daerah Yogya terletak di sisi Jalan Malioboro di jantung kota Yogya. Terhimpit toko-toko yang berderet sepanjang tepi jalan. Kios-kios kecil kaki lima menutupi tampangnya yang kusut. Pada bibir jalan raya, tertancap papan nama bertulis keterangan nama perpustakaan dengan tinta hitam tebal di atas balok kayu bercat putih.

Penampilan perpustakaan ini muram. Dari kejauhan terlihat gelap dan gugup dengan toko di samping kiri-kanan yang berkilau-kilau. Kala tiba di mulut pintu, bau apek dari udara ruangan pengap langsung menyergap hidung yang membikin sesak dada.
Pengunjung langsung bersitatap dengan meja panjang petugas administrasi yang terletak di muka pintu. Meja ini juga sebagai pembatas yang memungkinkan orang tak gampang mencuri koleksi. Ada lemari loker yang merapat di sisi dinding depan, menyisakan jalan keluar-masuk bagi pengunjung, di sebelah kiri pintu masuk. Laci katalog merapat di sudut tembok kanan, dekat dengan tangga yang menghubungkan lantai dua yang berisi buku-buku pelajaran, kamus, dan buku-buku tentang Yogya.

Di sepanjang tepi tembok berjejer rak-rak berisi kliping koran. Umumnya bertarikh tengahan 60-an. Di tengah-tengah ruangan diisi rak buku sastra dan bundelan majalah. Koleksi sastra Indonesia menempati rak paling dekat membelakangi meja petugas. Butiran-butiran tablet karbol putih bertamburan di atas rak-rak.

Saya perlu mencari karya Pram di situ. Dalam katalog pengarang, yang masih pakai cara manual, saya langsung tertuju pada nama berinisial TOE. Tapi di sana tak jumpai kartu bertuliskan Pramoedya Ananta Toer. Mungkin saja terselip. Mungkin saja hilang. Atau mungkin saja tak pernah ada. Tetapi saya diyakinkan seorang ibu petugas bahwa ada buku Pram. Ia pernah melihatnya. Ia menunjuk pada rak yang biasa menjadi tempat buku-buku Pram.

”Coba lihat di situ, Mas,” katanya sambil menuding ke arah rak tersebut.
Apa yang saya bayangkan secara muluk rupanya bertolak-belakang. Bahkan, jauh dari batas ukuran sederhana. Sugito Prabowo, seorang petugas di situ, mengatakan pada saya koleksi buku Pram hanya ada dua, Anak Semua Bangsa dan Arus Balik.

Saya datang ketika kedua buku itu sedang dipinjam. Sugito bilang pada saya kenapa tidak mencari di Perpustakaan Nasional di Jakarta. Dia pernah bekerja di situ, sebelum jadi petugas perpustakaan daerah Yogya.

Lelaki berusia 40-an ini orangnya hangat. Tetapi kehangatannya ini, dengan mengajak saya ngobrol, bikin saya bependapat bahwa dia tak mengenal Pramoedya.

”Pramoedya… Pramoedya… ehm… Atanta….”

”Pramoedya Ananta Toer,” kata saya.

”Yang lahir di Jepara?” katanya, tak yakin. ”Bukan,” jawab saya, ”Blora….”

Sugito duduk di belakang meja di dekat loker. Ia memakai safari biru, kancing atas terbuka, berkeringat. Tubuhnya menahan udara yang panas dalam gedung.

Siang itu perpustakaan bakal ditutup, tepat pada pukul 12 di hari Sabtu.

Di perpustakaan ini saya juga melihat-lihat katalog dua pengarang asing yang dikagumi Pramoedya, Maxim Gorki dan John Steinbeck. Karya kedua pengarang ini diterjemahkan Pram. Pada 1950 Pram menerjemahkan Tikus dan Manusia Steinbeck dari bahasa Inggris, lalu Ibunda Gorki pada 1955 dari gabungan Inggris dan Belanda. Pram juga menerjemahkan satu karya Leo Tostoy, Kembali pada Tjinta Kasihmu, dari Belanda Huwelijksgeluk pada 1950. Ketiga terjemahan ini belakangan dicetak ulang.

Saya melihat kartu pengarang Gorki dan Steinbeck di laci katalog. Karya mereka yang diterjemahkan Pram pun tersimpan. Tapi tentu saja bukan saduran kerja Pram. Semuanya masih bahasa asing.

Ini bikin saya lucu, geli, dan agak gemas. Koleksi karya Gorki di perpustakaan Yogya itu ada sebelas. Pram cuma dua. Mereka ini dihubungkan oleh satu keyakinan bahwa karya sastra mesti bertumpu pada aliran realisme sosialis.

”Saya suka realisme sosialis, karena itu suatu realisme yang berhubungan dengan masalah tanggungjawab sosial,” kata Pram di buku wawancara Saya Terbakar Amarah Sendirian.

Kondisi perpustakaan milik pemerintah daerah Yogya itu amat kontras dengan perpustakaan Kolosani Ignatius yang saya sambangi kemudian. Tidak sebatas segi fisik bangunan, kebersihan, kenyamanan, maupun pelayanan. Tetapi juga menyangkut koleksi buku-buku Pram.

Kolosani terletak sekitar satu kilometer ke arah timur dari perpustakaan pemerintah Yogya. Para pengunjung yang datang mencatatkan nama terlebih dulu di buku tamu di atas meja petugas jaga di samping mulut pintu. Ada sofa merapat ke tembok berjendela di samping kanan pintu. Ruang perpustakaannya menjorok lebih ke samping, satu unit gedung tersendiri, dihubungkan atap dan dibatasi jalan masuk buat kendaraan dari ruangan tamu di pintu masuk.

Perpustakaan ini sudah pakai komputer buat daftar katalog buku. Jumlahnya delapan plus tujuh mesin printer. Mereka berada di atas meja-meja yang disusun berjejer setinggi dada, membelakangi ruang baca, bertentang meja petugas berbentuk siku panjang yang membatasi para pengunjung sekaligus sebagai loker.

Ada dua kursi berlapis busa di samping pintu, merapat ke tembok, mengapit meja bertaplak kain putih berajut bunga berjaring-jaring, dan pot berisi daun-daun imitasi di atasnya. Di sampingnya ada lemari duduk berlapis kaca, berisi empat majalah dengan halaman yang terbuka, memperlihatkan foto-foto yang bercerita ihwal teologi.

Ruang baca ada di sebelah sayap kanan. Sebelum masuk ke ruang baca tersebut ada sebuah meja yang tampaknya sengaja dipasang petugas sebagai penghalang. Di atasnya, selain ditaruh pot bunga sebagai pemanis, ada kertas yang menempel berisi kalimat pengumuman bahwa buku yang habis dibaca selayaknya mendapat kepercayaan para pengunjung.

Sekali ini setelah lama tak mengujungi lagi perpustakaan tersebut, yang sempat jadi rutinitas kehidupan saya di Yogya, hanya perubahan kecil itu yang bikin saya tersenyum sekaligus sedikit terkejut. Perubahan lainnya ada pada letak lembaran kertas pemesanan kopian buku yang ditempatkan di dalam ruang baca. Sebelum ini ia biasa berada di meja petugas, di dalam keranjang kecil hijau dari plastik, bersisian dengan kertas peminjaman buku.

Saya mendekati satu monitor di ujung kanan. Memencet entri pengarang dan menuliskan inisial “Toer”. Di layar monitor deretan karya-karya Pram terhampar.
Semuanya berjumlah 41. Ada karya yang terbit sebelum dan sesudah 1998. Ada karya yang diterjemahkan ke bahasa asing. Beberapa di antaranya dari judul yang sama, cuma beda penerbit, terutama untuk karya Tetralogi Buru macam Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa. Ia juga menyimpan beberapa buku kajian tentang karya Pram.

Ada Kelurga Gerilja terbitan 1955. Perburuan (1955). Tjerita Tjalon Arang (1957). Tempo Doeloe (1982). Arus Balik (1995). Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995 & 1997). Terbitan pasca 1998 lebih banyak lagi seperti Arok Dedes, Bukan Pasar Malam, Cerita dari Blora, Drama Mangir, Sang Pemula. Penerbitnya macam-macam. Dari Pembangunan, Dinas Penerbitan Balai Pustaka, Bara Budaya, Hasta Mitra, hingga Lentera Dipantara.
Dipastikan, perpustakaan Kolosani merupakan perpustakaan umum di Yogya yang menyimpan karya-karya Pram terlengkap!

Hal yang menarik sebenarnya lebih banyak datang dari saudara jauh Kolosani: Universitas Sanata Dharma. Kita tahu dua tempat ini di bawah satu naungan Yayasan Sarikat Jesuit. Saya perlu mendatangi USD di gedung perpustakaannya di jalan raya Gejayan.

Tempatnya tenang. Saya mengelilingi ruangan dari lantai bawah hingga lantai dua. Saya tak tahu kalau di luar hujan sangat deras. Begitu keluar dari pintu kaca yang tertutup rapat, suara hujan menyergap dan saya benar-benar terkejut.

Di perpustakaan itu buku-buku Pram berjumlah 38. Banyak terbitan sebelum 1998. Kita bisa membuka-buka lembaran buku dengan ejaan lama macam Panggil Aku Kartini Sadja (1962), Mereka Jang Dilumpuhkan (1956 & 1961), Keluarga Gerilja (1955), hingga Hoa Kiau di Indonesia (1960) yang bikin Pram berkenalan dengan penjara setahun di era Soekarno.

Saya melihat-lihat daftar karya Pram lewat komputer. Sayangnya, saat saya datang ke situ, buku-buku yang ada tengah dipinjam. Marsudi, wakil kepala perpustakaan, bilang pada saya banyak peneliti yang datang ke sini.

Dia bercerita buku-buku Pram sempat disimpan di almari dan terkunci sewaktu pemerintah melarangnya. Ketika 90-an ada pergantian kepala perpustakaan, dia bersama yang lain menyarankan pada kepala baru untuk membuka buku-buku Pram. Mereka sepakat.
”Waktu itu hanya boleh dibaca di tempat,” katanya tersenyum.

JIKA Jorge Luis Borges, sastrawan Iberia dari Argentina, menulis bahwa sebuah literatur berbeda dari literatur lain—sebelum maupun sesudahnya—bukan karena teksnya, melainkan karena cara ia dibaca, tak salah kalau senarai kalimat itu saya tujukan buat buku-buku Pram. Saya menempatkan ini atas kajian skripsi sarjana-sarjana sastra yang saya tengok di dua kampus di Yogya: UGM dan Universitas Negeri Yogyakarta.

Saya datang ke perpustakan kedua kampus tersebut seraya melihat-lihat juga koleksi buku-buku Pram yang mereka simpan. Di UGM saya mendatangi gedung perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya. Saya menuju laci katalog yang terletak di sudut tembok di mulut tangga.

Gedung ini berada di sebelah barat dari pintu masuk. Kita harus melewati loket petugas perpustakaan yang menghadap ke lapangan terbuka. Suasananya ramai. Penuh lalu-lalang para mahasiswa yang tengah beraktivitas.

Sekitar tujuh skripsi yang tersimpan di laci yang membahas karya Pram. Subjek karya dan analisisnya macam-macam. Gadis pantai untuk analisis Stantonian. Sosiologi sastra buat Bukan Pasar Malam dan Larasati. Anak Semua Bangsa dari segi tema, fakta cerita, dan sarana sastra. Dua pembedahan strukturalisme genetik dan kritik sastra feminis untuk Bumi Manusia. Terakhir, Drama Mangir dilihat dari intertekstual plot dan tokoh.

Kebanyakan anak-anak lulusan 2004. Saya kira daftar itu bisa bertambah dari tahun lulusan sebelum 2000 dan kemungkinan terbuka untuk waktu-waktu setelah ini.
Perpustakaan fakultas ini juga menyimpan 19 buku karya Pram. Di antaranya empat koleksi sebelum 90-an. Anak Semua Bangsa (1981), Rumah Kaca (1988), Tjerita dari Blora (1952), Tjerita dari Djakarta (1957).

Jumlah skripsi yang sama saya dapatkan di perpustakaan sastra UNY. Empat untuk Bumi Manusia dan masing-masing satu Gadis Pantai, Jejak Langkah, dan Arus Balik. Koleksi buku Pram sebanyak 27 judul. Kebanyakan baru. Ada satu Cerita dari Blora terbitan 1994.

Saya banyak menemukan saran pada lembaran penutup skripsi para mahasiswa itu bahwa karya Pram dapat menjadi bahan pengajaran sastra di sekolah. Mereka juga mengusulkan agar buku Pram bisa menjadi koleksi di perpustakaan sekolah menengah.
Saat membaca itu saya teringat Max Lane, penerjemah karya Pram ke bahasa Inggris dan salah satu kolega Pram yang paling serius mendalami pokok-pokok pemikiran Pram. Ia juga menjadi penyambung buku-buku Pram ke publik dunia.

Dalam suatu acara ulang tahun penghabisan Pramoedya Ananta Toer di Taman Ismail Marzuki, 6 Februari silam, dia datang dengan sosok tinggi-besar, kulit merah terbakar, pakai kemeja putih. Dia yang menenangkan perdebatan anak-anak muda yang hadir di acara tersebut yang belum terima Bumi Manusia bakal dibikin film dan Pram memperoleh royalti yang besar. Max Lane bilang kesempatan ini harusnya dijadikan suara bersama mendorong pemerintah agar buku-buku Pram jadi bacaan wajib sekolah dasar hingga universitas dan diajarkan di kelas-kelas.

Tepuk tangan bergemuruh. Saya kira semua orang di dalam ruangan itu setuju.


KARTONO pengajar kelas bahasa Indonesia di SMA Kolese De Britto. Dia kolumnis isu-isu pendidikan di harian Kompas. Orangnya bersahabat. Energik. Mudah tersenyum.
Saya menemuinya di suatu siang yang terik di tempatnya mengajar. Dia memakai kemeja biru bergaris, mendatangi saya di ruangan administrasi, dan kami duduk di meja tamu di tepi lorong terbuka menghadap halaman tengah sekolah. Semilir angin berhembus sejuk.

Kartono termasuk penggemar Pram. Ia berkenalan dengan karya Pram semasih mahasiswa sastra Indonesia di USD pada 80-an. Alex Sudewo, dosen yang ia kagumi, berjasa besar membawanya ke pintu masuk buku-buku Pram.

Dia bercerita saat kelas kritik sastra dia diminta Sudewo untuk bahas tiga novel Pram berdasar garis lokus tempat: Gadis Pantai, Larasati, dan Midah Si Manis Bergigi Emas. Ini mengantarkan Kartono kemudian pada fase akhir studi sarjananya. Dalam kajian skripsi pada 1989 dia mengambil studi perbandingan latar sosial karya Korupsi Pram dan Ladang Perminus Ramadhan KH.

Saat itu dia kesulitan mengakses satu buku Pram tersebut di perpustakaan. Dia mendatangi Alex Sudewo yang sekaligus jadi pembimbing skripsinya. Profesor itu bilang pada Kartono untuk mengambilnya. ”Ini kajian akademis. Saya yang menjaminnya,” kenang Kartono. Alex Sudewo sekarang mukim di Jakarta. Kondisinya sakit-sakitan lantaran sudah tua.

Dari pembacaan kedua karya pengarang Indonesia itu, Kartono punya penilaian secara khusus terhadap karya Pram. ”Realisme sosialnya khas. Pram menangkap peristiwa-peristiwa sosial yang tak ditangkap pengarang lain.”

Kini, giliran Kartono memperkenalkan Pram pada murid-muridnya.

Pada akhir 1999, Kartono mendapat undangan mengajar di Australia bagian selatan. Dia terperanjat saat melihat murid-murid di sana memegang dan membaca buku The Girl from the Coast (Gadis Pantai). Menjadi kajian di kelas-kelas. Guru-guru di sana memandang aneh pada Kartono yang bercerita penuh keheranan. ”Memangnya kenapa?” tanya mereka. Kartono berkata karya Pram tak diajarkan di sekolah kami. Mereka lebih tergeragap.
Saya bilang kepada Kartono bahwa Pram jarang mendapat penghargaan dari dalam negeri. Seraya main-main bagaimana kalau De Britto memberi penghargaan pada Pram. Kartono terbahak.

”Bagaimana menurut Anda jika Pram diajarkan di sekolah?” Kali ini saya serius.
Kartono diam sejenak. ”Harus ada pemahaman dari guru-guru. Mereka diberi pemahaman akan konteks seorang Pram,” katanya. Secara pribadi dia setuju.

”Bagaimanapun sikap politik seseorang, dia tetap pengarang terbesar. Pram telah banyak menyumbangkan Indonesia ke dunia internasional. Dia dibesarkan oleh penindasan. Dia anak jaman,” kata Kartono.

”Buku itu ya Pram sendiri. Pram itu sebagai buku itu sendiri.”

Kartono sudah jadi bagian dari apa yang disebut Pram “anak-anak rohaninya”. Banyak orang yang sudah ikut barisan para Pramis ini. Saya kira karya-karya Pram tetap mengelana dari generasi ke generasi. Tetapi saya tak tahu sampai kapan negara masih menutup mata terhadap Pram. bahkan setelah ia pergi selama-lamanya.

”Di Indonesia orang masih saja membicarakan tentang pribadi saya, bukan karya saya. Sebagai penulis, saya tidak selalui diakui. Banyak sekali buku tentang karya sastra Indonesia yang bahkan tidak mencantumkan nama saya….”

* Fahri Salam, wartawan dan penulis



Tidak ada komentar: