Senin, 20 April 2009

Mesin-Mesin Pram

Oleh Muhidin M Dahlan

Pada awalnya adalah Three Musketeers: Hasjim Rahman, Jossoef Isak, dan Pramoedya Ananta Toer. Ketiganya punya kesamaan. Sama-sama musuh Orde Baru. Sama-sama ditendang ke penjara. Dan sama-sama keras kepala.

Ketiganya bertemu setelah Pram keluar dari Buru pada 1979. Lalu lahirlah Hasta Mitra. Pram yang menamainya. Hasta Mitra berarti tangan yang bahu-membahu. Dan ketiganya bergandeng tangan. Tugas dibagi: Pram penulis, Joesoef Isak penyunting dan sesekali melayout, dan Hasjim Rahman mengurusi bisnis dan pemasaran.

Pada 1980 kerjasama itu membuahkan hasil: Bumi Manusia terbit. Indonesia terkaget-kaget. Pemerintah kelabakan. Para pembaca gembira. Koran-koran ramai-ramai mengulas buku itu. Dalam sekejap nama Pram kembali berkilau setelah 12 tahun menghilang. Banyak kalangan menawarkan bantuan berupa modal. Salah satunya BNI. Mereka tergiur dengan penjualan Bumi Manusia yang sangat fantastis untuk zaman itu: 60-an ribu eksemplar. Tapi manis itu hanya bertahan 6 bulan sebelum kemudian dilabrak larangan.

Hasta Mitra kita tahu kemudian tak sekadar penerbit seperti biasanya. Ia adalah mesin dengan kekuatan penuh mendorong nama Pram kembali ke permukaan setelah sekian lama menghilang. Bahkan mesin Hasta Mitra itu pun berjasa mendorong nama Pram ke pentas internasional dan dipanggil-panggil menjadi kandidat Nobel Sastra.

Hasta Mitra pada mulanya diperuntukkan bagi karya-karya tapol yang tak mungkin bisa diakomodasi oleh penerbit-penerbit yang sudah ada. Tapi hanya buku Pram yang melejit. Hasta Mitra pun kemudian identik dengan penerbit karya-karya Pram.

Lalu tak hanya Bumi Manusia yang diterbitkan. Tapi juga Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Namun usianya di pasar paling banter 60 hari saat larangan pemerintah datang membabatnya. Bahkan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu memecah rekor: 10 hari terbit langsung ditusuk surat larangan. Karena tahu semua buku yang diterbitkannya pasti dilarang, Isak pun berseloroh dan menyebut Hasta Mitra sebagai penerbit di hari Jumat. Sengaja dipilih Jumat terbit agar punya waktu dua hari buku beredar sebelum ketemu hari Senin ketika kantor kejaksaan kembali aktif seperti semula.

Hasta Mitra yang awalnya banyak untung, tiba-tiba limbung ekonominya terkait dengan gelombang larangan. Satu per satu lembaga-lembaga yang berencana membantu memberikan modal lari tunggang-langgang. Dan praktis, Hasta Mitra harus mendanai sendiri penerbitannya. Berharap dari penjualan tak mungkin. Buku belum sampai ke toko buku sudah harus dikembalikan ke gudang. Demi sebuah perlawanan dan emoh tunduk, jalur penggalangan dana paling konservatif pun ditempuh. “Kami ambil uang dapur yang disisih para isteri agar buku-buku Pram selanjutnya tetap terbit," tutur Isak suatu hari.

Demikianlah, Hasta Mitra menjadi ikon mesin Pram yang tak pernah mau tunduk pada apa pun. Seperti halnya watak keras kepala Pram. Namun kongsi mesin Hasta Mitra yang berperadu dengan mesin pelarangan Orde Baru itu tak selamanya bisa berjalan. Tangan-tangan yang saling menggenggam itu tak selamanya saling memegang.

Cerita renggang hingga putusnya hubungan Pram dengan Joesof Isak itu terjadi tatkala Hasjim Rahman wafat. Setelah kepergian Hasjim, Hasta Mitra hampir pasti dikelola sendiri Joesoef Isak. Mulai dari penyuntingan, pemasaran, bahkan kerjasama dengan penerbit-penerbit luar negeri. Sementara Pram tetap pada posisinya semula: penulis.

Dan posisi Pram ini adalah posisi yang pasif. Menunggu dan menunggu.
Seluruh akses penerbit luar negeri dan penerimaan honorarium penulis harus lewat satu pintu. Dan pintu itu adalah di rumah Joesoef Isak di kawasan Duren Tiga, Jakarta Selatan. Pram memendam kecewa setelah tahu honorarium buku-bukunya dipotong di Duren Tiga tanpa ada keterangan apa pun. Tapi Pram mendiamkan saja. Karena tak mau berurusan hanya soal uang dengan sahabatnya.

Hingga peristiwa itu datang pada akhir 2002. Pram dan putrinya Astuti Ananta Toer menangkap basah pembajakan karya-karya Pram di Yogyakarta. “Saya kemari (Yogya, red) mengurus pembajakan buku-buku saya,” kata Pram kepada wartawan di kediaman Djoko Pekik di Bantul, Yogyakarta. Ya, penggelembungan jumlah cetakan itu betul-betul mengusik kesabaran Pram hingga ia pun melepaskan tangan dari Hasta Mitra dengan catatan pembajak dari Yogyakarta—yang diberi order cetak Joesoef Isak—harus mencicil seluruh royalti dari buku yang dikutilnya secara tak sah.

Lalu lahirlah Lentera Dipantara. Pram pula yang menamainya. Lentera Dipantara artinya lampion atau mercusuar di antara dua benteng laut Nusantara yang pertama kali dipekikkan Raja Kertanegara di era Singhasari. Pram pula yang membuat logonya.
Sejatinya ide membuat penerbit yang dikelola sendiri oleh keluarganya sudah lama terpendam. Tapi karena masih ada Hasta Mitra, impian itu tetap tertanam dalam kepala. Setelah peristiwa pembajakan itu, Pram lalu menyerahkan semua hak penerbitan karyanya kepada mesin baru bernama Lentera Dipantara.

Mesin inilah yang menjadi mesin baru dan resmi Pram hingga akhir hayatnya. Dibantu oleh beberapa kawan mudanya dan dipimpin langsung putera bungsunya, Yudhistira Ananta Toer, kini Lentera Dipantara sudah menerbitkan 20-an judul buku. Saat ini sedang mempersiapkan 50 judul lagi. Ada buku lama, ada juga buku-buku baru yang sekian lama terserak dalam kardus-kardus arsip. Di antaranya: Surat-Surat Pram dan Jassin, Esai Panjang tentang Multatuli, Artikel-Artikel, Catatan Harian, dan sebagainya. Pada 2005 telah terbit Menggelinding (Buku Satu). Kini menyusul Tanpa Gendang dan Seruling.

1 komentar:

Subowo. mengatakan...

Berikut ini kami muat kembali "Surat Pembaca" bantahan dari pihak keluarga Joesoef Isak yang dimuat Tempo Online, 07 Juni 2010 terhadap tuduhan miring terhadap Joesoef Isak oleh pihak tertentu dalam artikel Tempo 26 April 2010 "Memilih Berpisah".

Tulisan Menyesatkan

Kami gusar terhadap tulisan Tempo edisi 26 April-2Mei 2010 berjudul "Memilih Berpisah" berkaitan dengan Hasta Mitra. Dalam tulisan itu diterangkan soal almarhum Joesoef Isak yang memotong honorarium almarhum Pramoedya Ananta Toer sebagai berikut, "... Lambat-laun Pramoedya merasa ada yang janggal karena kerap kali honorariumnya dipotong tanpa alasan." Masih dalam satu nada, Tempo menyebutkan, Joesoef juga telah melakukan pembajakan hasil karya Pramoedya. "... dengan cara menggelembungkan jumlah cetakan buku yang dilakukan atas dasar perintah cetak Joesoef itu membuatnya (Pramoedya) kecewa."

Keberatan kami adalah Tempo telah tidak proporsional mengulas hal yang belum jelas juntrungannya, tanpa mengkonfirmasi sumber independen dan melakukan penyelidikan menyeluruh. Kami menganggap Tempo menyebarkan fitnah mengenai almarhum Joesoef Isak. Informasi yang kami kumpulkan dari berbagai pihak, termasuk para mantan anggota organisasi seniman sebelum 1965-terutama dari mereka yang dalam kategori nonsahabat atau kenal almarhum secara biasa-biasa saja-bertolak belakang dengan apa yang ditulis Tempo. Informasi tersebut mencakup bukan hanya berkaitan dengan kisruh pembajakan, melainkan juga royalti penulis di dalam dan luar negeri pada awal 1980-an ketika Hasta Mitra mulai berdiri hingga pasca-Orde Baru, awal 2000-an.

Menurut kami, apa yang disebut perselisihan di tubuh Hasta Mitra adalah hal jamak yang terjadi dalam sebuah perusahaan. Andai memang perselisihan di antara ketiga pendiri Hasta Mitra-Pramoedya, Joesoef, dan Hasjim Rachman-ada, kami ingin mengingatkan bahwa mereka bertiga sudah bekerja dengan baik menjawab tantangan pada zamannya.

Subowo
Desantara
Lutfi Yusuf