Oleh Eka Kurniawan
Dalam pengantar wawancaranya, majalah mahasiswa Universitas Gadjah Mada, Balairung (1994), dalam edisi kususnya menulis: kalau kuas lembut sejarah boleh mengoleskan merah, biru, putih, kuning, maka perjalanan hidup seorang Pramoedya Ananta Toer adalah pekat sempurnanya jelaga. Delapan belas tahun hidupnya dihabiskan dalam dunia paling kelam produk lalim kekuasaan, penjara. Secara bergiliran dicicipinya nyinyir terali besi tiga rezim kekuasaan: tiga tahun dalam tawanan Belanda, setahun (1960) dalam penjara Orla, dan 14 tahun yang melelahkan dalam penjara Orba.
Pengalaman pertama Pramoedya dengan penjara tak bisa dilepaskan dari gema revolusi di masa itu. Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan Soekarno Hatta pada 17 Agustus 1945 ia dengar beberapa waktu kemudian di persembunyiannya di desa Tanjung yang membuatnya memutuskan diri untuk pergi ke Surabaya memastikan informasi tersebut. Dari Surabaya, perjalanan diteruskan ke Jakarta. Dalam perjalanan tersebut, Pramoedya menyempatkan diri mampir di Blora dan sempat menyaksikan pementasan sandiwara berjudul Indonesia Merdeka. Drama tersebut tidak begitu baik dan cenderung mengecewakan menurut penilaian Pramoedya, yang kelak kemudian memberinya keputusan untuk menulis naskah yang lebih sesuai dengan semangat kemerdekaan. Untuk maksud tersebut, ia kemudian menulis Perburuan, meski secara objektif roman pendek tersebut lebih merupakan karya kontemplatif daripada sebuah karya patriotik ihwal perjuangan kemerdekaan.
Akhirnya, setelah sebentar berkunjung ke Blora, Pramoedya kembali ke Jakarta pada bulan September 1945, dan menyaksikan Jakarta yang seolah-olah bangun dari tidur panjangnya. Di sana-sini, sudut-sudut kota dibangun. Namun situasinya sendiri sangat kacau. Anarki yang berlebihan tampak di mana-mana, yang ditimbulkan pergeseran kekuasaan yang tengah terjadi. Tentara Jepang masih mencoba mempertahankan sisa-sisa kekuasaanya, sementara tentara Sekutu mulai berdatangan ke Jakarta. Di tengah-tengahnya adalah tentara Republik yang mencoba mengamankan wilayahnya sendiri.
Pada Oktober 1945, Pramoedya bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan ditempatkan di Cikampek pada kesatuan Teruna—kemudian menjadi inti divisi Siliwangi—sebagai prajurit II. Dalam waktu singkat, ia menjadi sersan mayor.
Di masa tugasnya di Cikampek, Pramoedya menyempatkan diri menulis naskah Sepuluh Kepala Nica, selain membuka taman bacaan untuk resimen yang berisi koleksi buku-bukunya sendiri. Akan tetapi, naskah tersebut kemudian hilang di tangan penerbit Balingka, Pasar Baru, Jakarta.
Perkenalannya dengan medan perang ini antara lain ia ungkapkan melalui sebuah cerita pendek berjudul Dendam (dari kumpulan cerpen Subuh) dengan berlatar berlatar sebuah markas tentara yang baru didirikan pada masa sekitar bulan November 1945.
Situasi perang secara langsung dialaminya pula ketika terjadi penyerbuan besar-besaran tentara Inggris atas Kranji-Bekasi yang merupakan pertahanan kedua setelah Jakarta. Penyerbuan ini berlangsung melalui pasukan baja, infanteri, dan angkatan udara serta kesatuan-kesatuan besar artileri. Pramoedya, bersama dua orang lainnya, merupakan tiga orang terakhir yang lolos dari kepungan.
Peristiwa itu terjadi sekitar Oktober 1945-Juli 1946. Masa-masa itulah yang kemudian menjadi latar belakang roman yang ditulisnya berjudul Ditepi Kali Bekasi. Menurut Pramoedya, roman yang diterbitkan tersebut hanya seperempat naskah aslinya; sisanya konon disita Nefis (Netherlands Indies Field Security, organisasi intelejen tentara Belanda di Indonesia), dan tidak pernah dikembalikan. Sisa roman ini secara lengkap terbit 1957, berisi fragmen Krandji-Bekasi Djatoeh yang terbit 1947 melengkapi cetakan pertama Ditepi Kali Bekasi yang terbit 1951.
Masa-masa selanjutnya merupakan masa-masa penuh frustasi, baik bagi Pramoedya sendiri maupun situasi masyarakat secara umum. Selepas perjanjian Linggarjati yang ditandatangani oleh pemerintah Republik dan Belanda, pertentangan segera merebak antar tentara pemerintah yang pro-Linggarjati dan Laskar Rakyat yang anti perundingan dan kompromi. Dari peristiwa ini, Pramoedya menjadi sadar bahwa tempatnya bukanlah di ketentaraan dan ia segera saja mengajukan permohonan untuk berhenti, yang antara lain juga dipengaruhi kebijakan rasionalisasi anggaran militer serta korupsi yang merajalela ketika itu. Setelah permohonannya dikabulkan, Pramoedya masih menunggu gajinya yang belum dibayar selama tujuh bulan untuk beberapa waktu, namun akhirnya ia pun harus meninggalkan Cikampek dan berangkat ke Jakarta tanpa uang yang menjadi haknya.
Keadaan di Jakarta sendiri tidaklah lebih baik. Suasana saling curiga terjadi di antara orang-orang Republik sendiri. Pramoedya mencoba menggambarkan keadaan genting semacam itu dalam cerita pendek gado-gado seperti termuat dalam kumpulan cerpen Pertjikan Revolusi.
Di Jakarta Pramoedya kemudian bekerja pada ”The Voice of Free Indonesia”, di mana roman Ditepi Kali Bekasi mulai disusun dan diterbitkan (yang diterbitkan saat itu adalah fragmen Krandji-Bekasi Jatoeh). Selain itu, ia pun mendapat order dari atasannya untuk mencetak serta menyebarkan pamflet dan majalah perlawanan. Itu terjadi pada saat Belanda mulai melakukan agresi militer pertama 21 Juli 1947.
Dua hari kemudian ia tertangkap marinir Belanda dengan surat-surat bukti di dalam sakunya. Disiksa oleh satu peleton marinir totok, indo, dan Ambon. Barang-barang di rumahnya disita. Dimasukkan ke dalam tahanan tangsi di Gunung Sahari dan tangsi polisi di Jagomonyet (seperti diceritakan dalam Pertjikan Revolusi). Akhirnya ia dipenjarakan di Bukit Duri tanpa proses wajar, dan selanjutnya dipenjarakan lagi di pulau Damar (Edam).
Untuk pertama kalinya, Pramoedya berkenalan dengan sisi gelap kekuasaan: penjara. Di sini ia mendapatkan banyak pengalaman hidup, terutama dalam pergaulannya dengan sesama kawan di penjara. Seperti halnya tokoh Hardo yang mendapatkan pencerahan selama bertapa di gua Sampur, penjara Belanda memberinya pencerahan dalam bentuk lain: dorongan untuk menulis. Sebenarnya, di penjara ini tahanan dilarang menulis.
Namun, dengan berbagai cara, Pramoedya berhasil menyembunyikan kertas dan menulis secara diam-diam. Ini terutama dilakukannya pada malam hari dengan mengandalkan penerangan dari sebuah pelita. Dalam keadaan yang sungguh berat, beberapa buah naskah berhasil diselesaikannya di sini, antara lain Perburuan dan Keluarga Gerilja.
Penderitaan yang menimpa berkali-kali, seringkali terbebaskan oleh nalurinya untuk terus menulis. Sebagaimana dikatakannya sendiri, “Dengan patiraga itu si kawula datang pada sang Gusti: inilah diriku, kukembalikan semuanya kepada-Mu; ambillah semau, bunuhlah kawula ini sekarang juga kalau memang sudah tidak berguna bagi kehidupan. Ya, memang sengaja aku hendak bunuh diri dengan bertapa.” Pengalaman mistis yang dipengaruhi tradisi Jawa semacam inilah yang menurut Pramoedya justru membawanya pada pencerahan. Kuncinya adalah penyerahan diri, dan dari sikap seperti itu ia mulai menulis. Tak peduli pada penjara, pada siksaan, dan pada penderitaan yang menimpanya.
Kedua naskah itu akhirnya bisa diselundupkan keluar pintu penjara melalui seorang yang dikenalnya sendiri di penjara itu juga, Prof. Mr. G.J. Resink. Selain kedua naskah tersebut, juga diselundupkan beberapa cerita pendek yang disiarkan antara lain lewat Mimbar Indonesia dan Siasat, serta sebuah terjemahan dari karya John Steinbeck, Tikus dan Manusia.
Selama dalam penjara, Pramoedya memang menyempatkan diri belajar bahasa Inggris. Lebih dari itu, ia pun mempelajari ekonomi, sosiologi, dan sejarah filsafat, yang kesemuanya ia dapatkan dari kawan setahanan.
Di penjara Bukit Duri ini, Pramoedya ditahan selama dua setengah tahun. Itu bukanlah masa menyenangkan dalam riwayat hidupnya, meskipun kreativitasnya berkembang cukup pesat. Pengalaman-pengalaman selama di penjara Bukit Duri disusunnya dalam roman panjang berjudul Mereka Jang Dilumpuhkan. Secara garis besar, roman tersebut membersit amarah atau dendam si Aku yang menderita akibat kebebasan dan kemanusiaannya dicuri, hanya karena ingin memperjuangkan bangsanya.
Tanggal 3 Desember 1949 Pramoedya dibebaskan bersama kelompok tahanan yang terakhir. Peristiwa itu merupakan konsekuensi dari dicapainya kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB). Penjajahan kolonial Belanda berakhir. Namun secara paradoksal, Pramoedya justru melihatnya sebagai kekalahan revolusi. Naiknya Sang Merah Putih tak lebih hasil kompromi kalau bukan kapitulasi melalui KMB, bukan hasil perjuangan revolusi.
Tahun 1960 Pramoedya kembali harus mengakrabi penjara, yang disebutnya sebagia siksaan terberat dalam hidupnya. Ia ditahan karena terbitnya buku Hoa Kiau di Indonesia. Penahanan ini diawali dengan keluarnya PP 10/60, sebuah peraturan presiden yang bersifat rasialis, yang menghalau kaum minoritas etnis Cina dari usaha mereka di wilayah Indonesia. Pramoedya tampil sebagai pribadi yang menentang itu, antara lain melalui artikel-artikel yang dimuat dalam Berita Minggu, dan kemudian dibukukan dengan judul Hoa Kiau di Indonesia.
Akibat dari penentangannya terhadap PP 10/60 itu, ia dipanggil oleh PEPERTI (Penguasa Perang Tertinggi) dan bukunya segera saja dilarang beredar. Sebelum disekap di RTM (Rumah Tahanan Militer) tanpa proses yang wajar, ia diinterogasi oleh Mayor Sudharmono (kelak kemudian menjadi Wakil Presiden RI). Setelah itu ia dipindahkan ke penjara Cipinang karena dianggap ‘mengacau’ di RTM, sebagai buntut diketahuinya penyekapan Pramoedya oleh pihak pers yang kemudian disiarkan Radio ABC Australia. Di sinilah ia baru tahu kalau dirinya ditahan dengan surat penahanan yang ditandatangani oleh A. H. Nasution.
Tak ada karya fiksi yang dibuatnya berdasarkan peristiwa ini, melainkan hanya sebuah buku harian yang ditulisnya di penjara Cipinang. Namun buku tersebut hancur dalam peristiwa 1965. Di tahun ini, untuk ketiga kalinya Pramoedya harus berhadapan dengan benteng kekuasaan. Kali ini ia ditahan pemerintah Orde Baru pimpinan Soeharto yang baru saja menggulingkan Orde Lama pimpinan Soekarno, setelah pemberontakan PKI—dikenal dengan istilah Gestapu—gagal.
Pada 13 Oktober, rumahnya dikepung dan dilempari batu oleh sekelompok pemuda bertopeng. Kemudian ia diculik tim tentara dan polisi disertai penghinaan dan pemukulan, antara lain dengan gagang tommygun. Akibat pemukulan ini, pendengarannya rusak untuk selama hidupnya. Selain itu, semua harta benda yang ada di rumahnya dirampok, dan kumpulan naskah yang belum diterbitkan, koleksi buku yang mencapai 5000 jilid beserta dokumen majalah, dimusnahkan.
Ia ditahan di penjara Salemba sampai Juli 1969, setelah sempat dipindah ke penjara Tangerang selama beberapa waktu. Dari Salemba ia dibawa ke Nusa Kambangan, sebuah delta antara Jawa Barat dan Jawa Tengah, tempat penjahat kelas berat dipenjarakan sejak zaman kolonial. Nusa Kambangan ternyata hanya pelabuhan transit. Pada 16 Agustus, ia diberangkatkan ke Pulau Buru bersama ribuan tahanan politik lainnya.
Lebih dari sepuluh tahun ia terpaksa tinggal di pulau Buru sebagai tahanan tanpa proses pengadilan. Saat terpenting di masa itu adalah saat ketika ia diberi izin untuk menulis, yaitu tahun 1973. Alasan yang dikemukakan adalah karena adanya rencana pembebasan para tahanan, dan diharapkan mereka mulai melatih diri kembali mengerjakan sesuatu sebagaimana keahliannya. Di sini lahir tulisan-tulisan reportasenya, yang setelah ia bebas kemudian diterbitkan dengan judul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Juga tetralogi Karya Buru, yang mengantarnya mendapat nominasi Nobel di tahun ’80-an, serta roman panjang Arus Balik. Selain itu, masih ada beberapa naskah yang dirampas dan tidak dikembalikan.
Dalam pembukaan buku Bumi Manusia, Pramoedya antara lain menulis: “Han, memang bukan sesuatu yang baru. Jalan setapak ini memang sudah sering ditempuh, hanya yang sekarang perjalanan pematokan.” Han adalah nama panggilan dari Prof.Mr.G.J.Resink, sahabatnya. Bumi Manusia yang ditulisnya di Pulau Buru mungkin mengingatkan Pramoedya pada pengalaman di penjara Belanda, ketika naskah Perburuan dan Keluarga Gerilja diselundupkan Resink. Dengan cara yang sama, Pramoedya berharap naskah-naskahnya bia selamat keluar dari Buru.
Sejarah kembali berulang. Tahun 1949 ia keluar dari penjara Belanda dengan rombongan terakhir, begitu juga pada akhir 1979. Ia dilepaskan dan berangkat ke Jawa juga dengan rombongan terakhir. Sejak itu Pramoedya bebas, tetapi itu semu belaka. Sebagai warga negara Indonesia, ia lama tidak memperoleh kemerdekaan berbicara dan buku-bukunya dilarang beredar. Bahkan untuk beberapa waktu ia diwajibkan melapor secara rutin, sebelum akhirnya ia menolak melakukan hal itu.
Demikianlah Pramoedya yang hidup bagai seorang paria yang kehilangan hak asasinya sebagai manusia dan warga negara Indonesia. Pernah dihukum tanpa proses pengadilan, dan tidak mendapatkan kesempatan berbicara di muka umum. Namun, semua itu tak melunturkan kebesarannya sebagai seorang pengarang, yang diakui bahkan menembus batas-batas geografis negerinya; negeri tempat ia dilahirkan, dibesarkan, dan sempat dilupakan.
* Eka Kurniawan, novelis dan penulis buku Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis
Senin, 20 April 2009
Buku, Perang, dan Penjara
Diposting oleh [I:BOEKOE] di 20.16
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
:: Awal :: Kliping :: Esai :: Resensi :: Tips :: Tokoh :: Perpustakaan :: Penerbit :: Suplemen Khusus :: Buku Baru :: Undang-Undang ::
Tidak ada komentar:
Posting Komentar