Oleh Dani Wicaksono
Prof. Dr. Harry Aveling adalah Indonesianis kelahiran Sidney, Australia, 30 Maret 1942. Ia mencurahkan kecintaannya pada studi-studi sastra Melayu dan Indonesia semenjak tahun 1962 hingga sekarang.
Kecintaan dan ketekunan tersebut mengantarkan Profesor Doktor di bidang Creative Arts dan Literary Translation dari University of Technology ini menjadi pengajar di Universiti Sains Malaysia (1972-1975) di Penang, dan Guru Besar Tamu, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia (2006-…).
Bagi Aveling, laku penerjemahan adalah, “Tugas kita yang sangat sakral. Sebagai perantara budaya.” Ia yang menganggap Pramoedya sebagai sastrawan nomor satu di Indonesia merasa perlu memperkenalkan kepada dunia luar bahwa di Indonesia ada pengarang agung yang dipenjarakan di Pulau Buru selama 14 tahun tanpa proses peradilan, yang karya-karyanya sangat hebat dan pantas dikagumi.
Lalu ia pun menerjemahkan beberapa karya Pram yang terserak dalam sebuah kompilasi yang diberi judul A Heap of Ashes, meskipun diakuinya belum pernah bertemu muka dengan sang penulis.
Buku ini adalah perpaduan dari: Yang Sudah Hilang, Kemudian Lahir Dia, Dia yang Menyerah (ketiganya adalah cerpen-cerpen dari Cerita dari Blora), Bukan Pasar Malam, dan Sunyi Senyap di Siang Hidup. Dari pilihan ceritanya, terang bahwa buku yang terbit di Australia tahun 1975 ini diniatkan oleh sang penerjemah sebagai sebenar-benarnya upaya untuk memperkenalkan kepada publik riwayat kehidupan Pramoedya Ananta Toer, yang memang tersiar dalam sebagian karya-karyanya.
Penerjemah novel Perburuan, Gadis Pantai, dan Nyanyi Sunyi, serta artikel Pram Sikap dan Peranan Kaum Intelektual Di Dunia Ketiga ini ditemui DN Wicaksono di kampus Universitas Indonesia.
Sastra Indonesia dikenal oleh bangsa asing, antara lain, berkat jasa para Indonesianis yang demikian besar menaruh minat dan perhatian terhadap perkembangan sastra Indonesia. Bagaimana pendapat Anda?
Sangat terhormat. Sebenarnya itulah tugas kita yang sangat sakral. Sebagai perantara budaya. Budaya kami dengan budaya Indonesia. Yahh… Tak kenal maka tak sayang, demikian kata orang. Jadi ini penting sekali untuk memperkenalkan, mendekatkan hati orang juga.
Sastrawan Indonesia yang pantas bersanding dengan sastrawan-sastrawan dunia?
Sitor Situmorang sangat berkelas. Toety Heraty, Dorothea, Goenawan Muhammad. Iwan Simatupang, Arifin C. Noer, dramawan… Banyak sekali yang harus diperkenalkan.
Termasuk Pram?
Termasuk Pram. Mungkin Pram nomor satu.
Pertama kali bertemu dengan Pram?
Ada perkenalan, ada pertemuan. Sudah lama saya berkenalan dengan karya-karya Pram. Tapi kali pertama bertemu dengan dia… saya pikir tahun 1989. Sesudah dia keluar dari Buru. Saya sudah menerjemahkan karya-karya dia jauh sebelum bertemu. Dan memang tak sempat bertemu. Tapi salah satu tujuan saya dalam menerjemahkan itu supaya dunia luar dapat tahu mengenai pengarang yang agung ini, yang dipenjarakan di Indonesia tanpa ada proses peradilan.
Tahun 1989 saya bertemu dengan dia. Saya membawa Gadis Pantai waktu itu. Saya meminta persetujuan kepada dia untuk menerjemahkan Gadis Pantai ke dalam bahasa Inggris. Dia setuju menulis di halaman pertama. Tak ada syarat-syarat apapun. Pokoknya dia menerima begitu saja. Jadi, saya menerjemahkannya di Australia, dan buku itu terbit tahun 1991, di rantau ini, di Asia Tenggara.
Saya merasa seperti akrab. Karena dia senang sekali dengan terjemahan A Heap of Ashes. Itu semasa dia di Buru. Dia sudah terima buku itu dari seorang wartawan. Dan sesudah itu dapat dirasakan bahwa Pram senang sekali masih diakui sebagai seorang sastrawan dan tidak dilupakan oleh dunia luar Indonesia.
Kapan mulai menerjemahkan karya-karya Pram?
Mulai menerjemahkan itu pada tahun 1975, saya kira. Waktu itu saya menyusun satu buku yang berjudul A Heap of Ashes yang memuat tiga buah cerita pendek. Dan satu novelet. Satu, Yang Sudah Hilang mengenai kekanak-kanakan dia. (Buku) ini adalah kumpulan riwayat hidup Pram, dari masa muda sampai dewasa. Sesudah cerpen tentang childhood, ada Kemudian Lahir Dia mengenai pergerakan nasionalis, khususnya mengenai pekerjaan bapaknya Pram. Kemudian Dia yang Menyerah mengenai zaman Jepang. Itu mengenai revolusi, kacau-balau keluarga diri sendiri. Bukan Pasar Malam mengenai masa selepas revolusi, kekecewaan Pram yang luar biasa terhadap hasilnya revolusi. Aduh… tidak ada revolusi sebenarnya dalam arti perubahan masyarakat. Tidak terjadi. Masyarakat masih “duduk”.
Dan sesudah itu cerita yang terakhir: Sunyi Senyap di Siang Hidup yang ditulis atau terbit pada tahun 1956 dan menceritakan kekecewaan, penderitaan seorang penulis waktu itu, yang mulai sudah cukup tua, sudah kawin sekali lagi. Jadi, ini mengenai Pram yang mileage, satu pemandangan yang cukup lengkap.
Pada tahun yang sama (saya) menerbitkan buku The Fugitive, (terjemahan dari) Perburuan. Ini waktu saya mengajar di Penang, Malaysia. A Heap of Ashes saya terjemahkan di Australia, sebelum mengajar—mulai mengajar dari 1972 sampai 1975—di Penang, dan The Fugitive saya buat ketika sedang mengajar di Universitas Sains Malaysia. Mmmm, pada waktu yang sama dengan Iwan Simatupang. Ziarah. The Pilgrimage. Yang bukunya memang sangat berbeda. Tetapi, bagi saya, (buku-buku itu) menunjukkan kekuatan sastra Indonesia.
Anda takut pada waktu menerjemahkan karya-karya Pram?
Tidak takut. Pada waktu itu tahun 1996. Saya dicekal, tidak boleh masuk Indonesia. Alasan pokoknya adalah karena saya menerjemahkan karya-karya Pramoedya Ananta Toer.
Saya disuruh keluar. Sesudah satu tahun saya bisa kembali ke Indonesia. Selama dua minggu saja. Saya diundang oleh suatu kelompok PEN di rumah ibu Toety Heraty. Banyak orang yang datang malam itu, termasuk Pram.
Padahal, kalau bertemu lagi dengan Pramoedya, saya bisa masuk daftar hitam lagi. Tetapi saya nekat berfoto bersama dia. Haha… Yeah, I had to do that, and I was proud to do that.
Usaha-usaha penerjemahan karya-karya Pram ke bahasa asing—terutama bahasa Inggris—membuat nama Pram terkenal di dunia internasional sehingga Pram sering mendapatkan penghargaan dari luar negeri, semisal Magsaysay Award. Anda punya kebanggaan khusus tentang hal ini?
Saya merasa bangga. Dia akhirnya diakui oleh dunia luar Indonesia, setelah keluar dari Buru. Tugas saya sebelum dia keluar dari Buru sebenarnya adalah untuk memperkenalkan karya-karyanya. Sesudah adalah giliran angkatan yang kedua: Max Lane, John McGlynn, dll. Jadi, ada angkatan saya yang pada tahun tujuh puluhan, dan ada Max Lane.
Sebagian mengulang apa yang telah saya lakukan sebelumnya. It’s okay.
Jadi, ada yang baik dan ada yang buruk tentang publisitas Pramoedya. Kebanyakan penuh puji-pujian oleh karena Pramoedya melambangkan perlawanan terhadap pemerintahan Soeharto.
Pramoedya disamakan dengan Solzhenitsyn. Dia dianggap sebagai seorang pejuang politik. Pandangan Pram membuat pemerintahan Amerika bersimpati, juga dunia di luar Indonesia yang melihat Indonesia sebagai sebuah negara dengan pemerintahan militeristik, yang didominasi oleh rezim otoritarianisme.
Saya agak kecewa dengan pandangan yang kurang simpatik terhadap Indonesia. Kerja saya adalah supaya orang bersimpati kepada Indonesia. Karya-karya Iwan Simatupang, dan yang lain itu saya terjemahkan supaya orang di luar bersimpati kepada Indonesia. Ingat, resepsi umum waktu itu adalah dunia tidak bersimpati kepada Indonesia. Tidak mau memahami, tetapi mau menyerang atas nama “demokrasi”. Haha…
Anda pernah juga menerjemahkan “Sikap dan Peranan Kaum Intelektual Di Dunia Ke Tiga”.
Saya menerjemahkan langsung dan menerbitkan itu di Malaysia. Tahun 1987, saya kira. Dan diterbitkan oleh Majalah Tenggara, di Malaysia. Dan makalah oleh Pram itu diterbitkan dalam satu makalah lain oleh Usman Awang, penyair agung Malaysia. Dua-duanya membicarakan peranan sastra dalam membebaskan manusia.
Pemandangan orang Malaysia terhadap Pram memang lebih positif. Buku-bukunya tidak dilarang di Malaysia. Bahkan beredar dengan luas. Sampai buku Pram, yaitu Keluarga Gerilya, dikaji di SMU, menjadi sebagian dari silabus kesusastraan Malaysia tahun tujuh puluhan.
Kedudukan karya Pram di khasanah sastra dunia?
Saya kira, terus terang, kedudukannya ambivalen. Pada satu pihak dikagumi, dibaca dengan luas, dihormati sebagai orang yang menolak pemerintah yang tidak adil, tetapi pada pihak lain buku itu, terus terang, agak melodramatis. Bumi Manusia, terutama, yang mengenai seorang murid yang jatuh cinta pada seorang gadis suci, lalu kawin, dan dipisahkan... ini cerita panji, cerita lama, seperti buku Harlequin.
Tulisan Pram tidak selalu bagus. Ada yang bagus, ada yang memang kurang bagus. Kalau berurusan dengan sejarah, (karya-karya Pram itu) bagus! Kehidupan di kampung itu bagus. Kehidupan zaman revolusi cukup bagus. Tetapi kadang-kadang karakternya agak datar. Not very well developed. Hampir stereotype.
Karakter tokoh-tokoh dalam karya Pram itu adalah pemuda dan perempuan yang tangguh, ulet. Tidak tahu mengapa. Mungkin karakterisasi ini sama dengan gaya Jawa. Wayang. Arjuna sifatnya begini-begitu…tidak perlu dikaji, semua sudah tahu.
Tetapi Pram menentang keras feodalisme Jawa?
Dia orang Jawa. Kalau tidak peduli, dia tidak akan mau menentang. Tetapi kalau memang terikat dan dibentuk oleh budaya Jawa, dia bisa sangat cinta dan sangat benci terhadap alam yang membentuknya itu. Dan memang kehidupannya Pram seperti perang besar dengan budaya Jawa.
Pram menerima spiritualitasnya orang Jawa. Sikapnya terhadap raga menunjukkan seperti orang yang sedang beryoga untuk mengumpulkan kekuatan jiwa, kekuatan semangat. Seperti semangat Bushido-nya orang Jepang. Itu semangat perjuangan. Pram belajar mengenai kesaktian jiwa orang Jawa, kesaktian yang dapat dikembangkan melalui disiplin. Disiplin menulisnya menunjukkan hal itu. Dia belajar itu dari budaya Jawa. Self-training, self-development. Dari sini, Pram menolak sekaligus menerima budaya Jawa.
Pram berulang kali mendapat nominasi Nobel Sastra (sejak 1981).
Saya pernah juga diminta menominasikan Pram, dua tiga kali. Tahun 1990, saya kira. Tidak diterima. Tetapi saya paham. Hadiah Nobel memang bukan untuk yang berjuang saja, bukan hanya untuk mengakui prestasi orang, tetapi juga karyanya. Dan karya-karya Pram ada yang baik, baik sekali, ada yang buruk, buruk sekali, ada yang lumayan.
Seperti Midah, Si Manis Bergigi Emas, itu tidak bagus menurut saya. Keluarga Gerilya tidak begitu bagus juga. Orang Indonesia jarang menyebut buku itu. Kalau yang Tetralogi Pulau Buru itu, kadang-kadang bagian ‘ini’ bagus, setelah itu kurang bagus.
Dan menang atau tidak menang, saya kira tidak apa. Ini hanya permainan saja. Tahun ini orang Eropa yang menang, tahun besok orang Asia harus menang, tahun ini perempuan harus menang, tahun besok akhirnya pengarang yang sudah lama dilupakan harus diakui... yah, jangan menganggap serius.
Karya-karya Pram yang mana yang sangat Anda suka?
Mmm… dua. Satu, Gadis Pantai. Memang cerita itu sangat mengharukan. Simpati Pram pada gadis pantai itu sangat kuat. Saya senang dengan buku itu. Dua, tentu saja adalah A Heap of Ashes. Itu suatu kumpulan yang bagi saya cukup lengkap, cukup representatif, dan cukup diabaikan juga, hahaha… Tidak boleh terbit lagi, maksud saya. Kalau Perburuan, The Fugitive, terbit dua kali. Kalau yang dari Tetralogi, saya suka Bumi Manusia. Ini buku yang bagus. Idenya bagus: pro-Jawa tetapi anti-Jawa, prodemokrasi tetapi anti-Barat.
Sampai akhir novel itu, si Minke bisa belajar bahwa budaya Jawa tidak selamanya buruk. Minke belajar mengakui dan menghormati budaya Jawa, seraya belajar bahwa budaya Barat yang dikaguminya sering kali adalah budaya yang munafik.
Ya, yang tidak mau memberikan kemerdekaan kepada orang lain. Bangga atas demokrasi, tetapi menjajah orang lain.
Pengaruh Pram pada Anda?
Menghormati Indonesia, itu satu. Tidak pernah give up untuk mengenal Indonesia. Di zaman Orde Baru, saya dicekal. Tetapi saya masih percaya kepada “Proyek” Indonesia yang dibayangkan oleh Pramoedya sebagai negara yang damai, adil, dan makmur. Mungkin belum tercapai juga sampai sekarang, tetapi itu harapan saya.
Jadi Pram sangat cinta kepada Indonesia dan kepada “ideal” Indonesia. Dari karya-karyanya saya tahu hal itu. Dialah sang nasionalis sejati. Dia kecewa ketika negara ini tidak makmur, tidak adil. But still he believes, dan sampai mati he believes, dan I’m sure he believes… dan saya juga percaya akan the ideal of Indonesia. Yah!
Saran Anda pada pemerintah Indonesia mengenai kampanye beberapa pihak untuk memasukkan karya-karya Pram dalam kurikulum pendidikan di Indonesia?
Saya rasa, sekaranglah saatnya. Sekaranglah saatnya mencabut larangan atas buku-buku Pram. Sekaranglah saatnya untuk berkata: Oke, kita harus menghargai Pramoedya, kita harus memasukkan karya-karyanya sebagai bagian dari kebudayaan nasional, dan tidak perlu mendendam lagi.
Bagaimana sastra Indonesia pasca-Pram?
Mmm… Sejujurnya, sudah lama kita mengalami masa pasca-Pram. Penulisan Pram pada tahun 1980-an memang bagus, tetapi itu adalah penulisan realis yang berakar pada gaya penulisan tahun 1950-an. Dan pasca-Pram ada Iwan Simatupang, ada Seno Gumira Ajidharma, ada Budi Dharma, ada macam-macam perkembangan. Jadi tidak perlu takut. Oke, hari ini Pram tidak ada, tetapi ada pembukaan baru, permulaan baru, sebab kita sudah berada dalam masa pasca-Pram sejak lama.
Anda datang ke pemakaman Pram?
Tidak. Pram masih hidup dalam rasa. Dalam buku-bukunya, Pram masih hidup. Dalam penghormatan saya, dia masih hidup… Untuk apa yang telah dia lakukan, untuk apa yang telah dia persembahkan, untuk apa yang telah diwariskannya, Pram masih hidup.
Saya akan datang ke kubur Pram, suatu hari kelak.
Kata-kata terakhir mengenang almarhum Pramoedya Ananta Toer?
Terima kasih. Thank you for what you have given to Indonesia, for what you have given to the world. Sebab dunia akan memahami Indonesia secara lebih baik melalui apa yang telah Anda tulis.
Senin, 20 April 2009
Prof. Dr. Harry Aveling: “Karena Pram, Saya Hormati Indonesia”
Diposting oleh [I:BOEKOE] di 19.49
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
:: Awal :: Kliping :: Esai :: Resensi :: Tips :: Tokoh :: Perpustakaan :: Penerbit :: Suplemen Khusus :: Buku Baru :: Undang-Undang ::
Tidak ada komentar:
Posting Komentar