Oleh Dani DN. Wicaksono
Barangkali kalimat berikut ini tidak akan melegakan banyak pengarang. Ada pencapaian-pencapaian tertentu di mana seorang penulis bisa disebut besar, atau jauh lebih besar: jangkauan karya.
Inilah kenyataan zaman ini. Tidak ada seorang penulis menjadi besar tanpa dukungan dan bantuan dari, selain pembacanya, orang-orang terdekatnya: jaringan penerbitan, sanak-keluarga, atau editornya. Pun, tidak ada penulis menjadi jauh lebih besar tanpa ada ikhtiar dan niat baik dari orang-orang yang mengupayakan penerbitan karya-karya sang penulis ke dalam bahasa asing, paling tidak ke dalam satu atau lebih bahasa internasional yang berlaku sementara ini.
Ini adalah persoalan tentang sejauh mana sebuah karya bisa ‘terbang’. Apakah seorang pengarang merasa cukup bila tulisannya sudah demikian dikenal di dalam negeri? Sebagian pengarang akan mengiyakan. Sebagian lainnya mungkin akan menggelengkan kepala. Sebagian lagi, yaitu orang-orang yang bukan pengarang, akan merasa tidak rela. Yang terakhir ini saya sebut sebagai malaikat-malaikat pelindung yang memberi sayap kepada sang pengarang.
Malaikat-malaikat ini bergelar penerjemah. Pada prinsipnya, mereka adalah para Indonesianis yang demikian besar menaruh minat dan perhatiannya terhadap perkembangan dan pertumbuhan sastra Indonesia, sehingga bisa dikenal oleh bangsa asing (Harian Pikiran Rakyat,10/7 2003).
Untuk keperluan tulisan ini, merekalah yang menyematkan sayap pada karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Merekalah yang diluapi oleh niat baik untuk memperkenalkan kepada dunia luar bahwa di sini, di tanah Indonesia ini, ada pengarang hebat, seturut Harry Aveling, yang dikurung di sebuah pulau terasing tanpa proses peradilan. Merekalah yang memberi daya terbang bagi sang harimau yang terpenjara, yang benar-benar menyanyikan kesunyian seorang bisu. Dengan bahasa lain, tentu saja.
Saya tidak bisa merangkum semuanya, tetapi ada beberapa nama bisa disebut, dan memang pantas disebutkan.
Harry George Aveling
Inilah Indonesianis kelahiran Sidney, Australia, 30 Maret 1942, yang mencurahkan kecintaannya pada studi-studi sastra Melayu dan Indonesia semenjak tahun 1962 hingga sekarang. Kecintaan dan ketekunan tersebut mengantarkan Profesor Doktor di bidang Creative Arts dan Literary Translation dari University of Technology ini menjadi pengajar di Universiti Sains Malaysia (1972-1975) di Penang, dan Guru Besar Tamu, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia (2006-…).
Bagi Aveling, laku penerjemahan adalah, “Tugas kita yang sangat sakral. Sebagai perantara budaya.” Ia yang menganggap Pramoedya sebagai sastrawan nomor satu di Indonesia merasa perlu memperkenalkan kepada dunia luar bahwa di Indonesia ada pengarang agung yang dipenjarakan di Pulau Buru selama 14 tahun tanpa proses peradilan, yang karya-karyanya sangat hebat dan pantas dikagumi.
Asia Tenggara adalah targetnya yang terutama. Memang, Cerita dari Blora sudah beredar di Eropa (dalam bahasa Rusia) sejak 1956—berarti karya-karya Pram sudah diterjemahkan ke bahasa asing—tetapi Asia Tenggara belum mengenal Pram dalam bahasa Inggris. Maka ia menyusun sebuah kompilasi yang berjudul A Heap of Ashes, meskipun ia belum pernah bertemu muka dengan sang penulis.
Buku ini adalah perpaduan dari: Yang Sudah Hilang, Kemudian Lahir Dia, Dia yang Menyerah (ketiganya adalah cerpen-cerpen dari Cerita dari Blora), Bukan Pasar Malam, dan Sunyi Senyap di Siang Hidup. Dari pilihan ceritanya, terang bahwa buku yang terbit di Australia tahun 1975 ini diniatkan oleh sang penerjemah sebagai sebenar-benarnya upaya untuk memperkenalkan kepada publik riwayat kehidupan Pramoedya Ananta Toer, yang memang tersiar dalam sebagian karya-karyanya.
Pada tahun yang sama, Aveling meluncurkan The Fugitive, terjemahan dari karya Pram, Perburuan. Ini waktu Aveling mengajar di Penang, Universiti Sains Malaysia. Dari data yang diperoleh, sepertinya buku The Fugitive diterbitkan dalam waktu dan oleh penerbit yang sama dengan karya Iwan Simatupang, The Pilgrim (Ziarah). Kedua-duanya diterjemahkan oleh Harry Aveling, sama-sama diterbitkan pada tahun 1975 oleh Heinemann Educational Books (Asia), Hongkong.
Yang menarik, penerbitan The Fugitive di Singapura itu dianggap buruk dari segi bisnis oleh Pramoedya sehingga tidak laku, dan Pram hanya mendapat royalti sebanyak 7 US$ dalam waktu satu tahun (Mutiara, 19-25 Sept. 1995). Sementara, The Pilgrim-nya Iwan Simatupang beserta penerjemahnya sekaligus memperoleh penghargaan First ASEAN Literary Prize (1977).
Setahun setelahnya, masih dengan penerbit yang sama, Aveling menyusun bunga rampai cerpen-cerpen Indonesia yang berjudul From Surabaya to Armageddon, Indonesian Short Stories. Pada buku ini Aveling menyertakan tiga cerpen dari Cerita dari Blora: Inem, Anak Haram, dan Sunat.
Setahun berikutnya, Aveling menerjemahkan Sikap dan Peranan Kaum Intelektual Di Dunia Ke Tiga. Makalah tersebut dibuat Pram untuk sebuah diskusi yang diselenggarakan Senat Mahasiswa Universitas Indonesia pada 1987—yang berbuntut pada penangkapan dan pengeluaran sejumlah mahasiswa penyelenggara diskusi. “Saya membaca naskahnya di Malaysia. Saya menerjemahkan langsung dan menerbitkan itu tahun 1987, saya kira. Dan diterbitkan oleh Majalah Tenggara, di Malaysia.”
Pada kira-kira tahun 1989, Aveling menemui Pramoedya yang sudah keluar dari Buru. “Saya membawa Gadis Pantai waktu itu. Saya meminta persetujuan kepada dia untuk menerjemahkan Gadis Pantai ke dalam bahasa Inggris,” demikian Aveling berkisah. Pram setuju. Tanpa syarat-syarat apapun. Maka Aveling menerjemahkannya, dan menerbitkan buku itu tahun 1991, di Singapura.
Oleh karena perhatiannya yang serius terhadap karya-karya Pramoedya, maka tak berlebihan bila Harry Aveling kita anggap sebagai salah satu sayap Pramoedya. Dia adalah angkatan pertama penerjemah karya-karya “Seorang Bisu” (dengan izin langsung dari Pramoedya sebelum ada Hasta Mitra), salah seorang yang berjasa menafsir “Nyanyi Sunyi”-nya ke dunia luar, terutama Asia Tenggara.
Max Lane
Barangkali ia adalah sayap yang paling disayang Pramoedya. Penerjemah karya-karya Pram angkatan kedua (yang seizin Hasta Mitra—penerbit yang dikelola Pram, Hasjim Rahman, dan Joesoef Ishak).
Selain muda, berwawasan, dan memiliki jaringan internasional, Max Lane adalah aktivis politik asal Australia, yang merupakan salah satu tokoh terhormat di pengurus teras Persatuan Rakyat Demokratik periode paling awal—organisasi yang kelak berubah menjadi Partai Rakyat Demokratik (PRD), di mana Pramoedya Ananta Toer pernah didaulat menjadi anggota kehormatannya.
Awalnya, lulusan 1972 jurusan Studi Malaysia dan Indonesia Universitas Sidney ini datang ke Indonesia sebagai kerani di sebuah kantor dagang Australia di Jakarta. Itu tahun 1973. Tetapi ia kemudian mengundurkan diri dan menetap di Yogyakarta, di mana ia menikahi Aini Chalid, seorang aktivis mahasiswa UGM, dan WS. Rendra, penyair yang demikian kritis terhadap ketidakadilan sosial. Di Jakarta, Lane juga mengenal Hariman Siregar yang kala itu masih menjadi Ketua Dewan Mahasiswa UI, yang sangat mengagumi Pram.
Tahun 1980-an, ketika Max Lane bekerja sebagai staf kedutaan Australia di Jakarta, Tetralogi Pulau Buru, diawali dengan Bumi Manusia, mulai diterbitkan (Juli 1980) oleh Hasta Mitra. Tatkala itu, Hariman Siregar dikabarkan membeli novel Pram dalam jumlah banyak untuk dibagi-bagikan kepada kawan-kawannya (sebagaimana dituturkan oleh Wilson dalam Majalah Pantau, November 2001).
Ada benang samar-samar yang merajut hubungan Max Lane, pemborongan buku oleh Hariman, dan Pramoedya. Apalagi pada pertengahan tahun 1980-an itulah Max Lane pertama kali berkenalan dengan Pramoedya. Tentu saja tidak bisa dipastikan.
Tetapi yang jelas, Lane inilah yang menerjemahkan Bumi Manusia (1982), Anak Semua Bangsa (1984), Jejak Langkah (1990), dan Rumah Kaca (1992) ke dalam bahasa nenek moyangnya, dan diterbitkan oleh Penguin Book Australia.
Sampai-sampai, tahun 1982, ia diusir dari kantor kedutaan oleh Dubes Australia Fred Dalrymple ketika ketahuan mengerjakan proyek itu. Dipulangkan ke Australia. Peristiwa inilah yang membuatnya berinisiatif untuk menerbitkan hasil terjemahannya di Pengun Book Australia (dan diambil alih oleh Penguin Book Amerika antara 1996-1997).
Pria kelahiran 1950 yang juga pernah menerjemahkan Perjuangan Suku Naga-nya Rendra ini menyatakan bahwa, “Sebelum baca Pramoedya, Max Lane adalah orang baik-baik saja yang mau jadi diplomat. Max Lane yang sesudah membaca buku-buku Pramoedya full time jadi aktivis politik, ikut gerakan progresif, menjadi aktivis full time yang prioritas utamanya adalah bagaimana membantu pergerakan mencari keadilan sosial” (Radio Nederland Ranesi, 1 Mei 2006). Ia merasa telah ‘direkrut’ oleh Pramoedya.
Katanya sendiri, Max Lane sudah selesai pula menerjemahkan Arok Dedes dan juga Hoakiau di Indonesia. Ini berarti semakin menegaskan peranannya sebagai sayap Pramoedya yang paling berjasa. Sebab, dengan penerjemahan Max Lane itulah komunitas pembaca Pram meledak luar biasa. Sedunia.
Senin, 20 April 2009
Sayap-sayap Dunia Pramoedya
Diposting oleh [I:BOEKOE] di 19.55
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
:: Awal :: Kliping :: Esai :: Resensi :: Tips :: Tokoh :: Perpustakaan :: Penerbit :: Suplemen Khusus :: Buku Baru :: Undang-Undang ::
Tidak ada komentar:
Posting Komentar