Senin, 20 April 2009

Yang Cantik Yang Tak Mudah (Di)Takluk(kan)

Oleh Muhidin M Dahlan

Pramoedya Ananta Toer dan Orde Harto ibarat air dan minyak. Bukan saja keduanya saling mendelik dingin, tapi juga melahirkan ketegangan yang rantah yang mengantarkan Pramoedya ke penjara selama 14 tahun. Tidak hanya fisiknya yang divandalisasi Orde Harto, tapi juga karya-karyanya coba dihapus dari ingatan sejarah dan publik sastra Indonesia.

Salah satu karyanya yang terlupa itu adalah Midah Simanis Bergigi Mas. Tidak seperti novel-novelnya yang lain yang sarat beban dan jalinan sejarah yang kukuh dan golak revolusi, Midah adalah novel ringan, novel remaja yang saya kira sangat pas dan uaaapik untuk dibacai murid-murid SMP dan SMU.

Novel ini ditulis Pramoedya Ananta Toer pada warsa 50-an dengan mengambil seting tempat: DJAKARTA. Novel ini—seperti nafas novel-novel lainnya—menjadikan perempuan sebagai tokoh utamanya. Nama tokoh utama itu Midah. Pendek sekali namanya. Hanya Midah. Kulitnya kuning. Wajahnya agak bulat. Kalau tersenyum, ih manisnya. Cantik parasnya, lentik suaranya, kuat hatinya.

Midah dilahirkan di tengah keluarga yang to’at beragama. Hadji Abdul nama bapaknya. Fanatik terhadap musik-musik berbau Arab. Umi Kalsum yang menjadi penyanyi favoritnya. Sampai ketika usia 9 tahun kehidupan Midah sangat enak. Ia dimanja dan dipangku-pangku. Karena memang ia anak tunggal.

Situasi berubah ketika Midah mempunyai adik yang mulai membanyak. Di rumah ia sudah mulai disepelekan. Perhatian bapaknya sudah sepenuhnya kepada adik-adiknya. Ia tak lagi dipangku-pangku. Ia tak lagi ditemani ayahnya untuk mendengarkan lagu Umi Kalsum. Midah sekarang seperti terkucil di rumahnya. Adik-adiknya telah merampas semuanya.

Karena tidak betah, Midah sering keluar rumah dan biasanya pulang sore atau bahkan malam hari. Begitu seterusnya. Tapi bapaknya cuek saja. Apalagi ibunya. Situasi tidak berubah sama sekali. Ini makin membetahkan Midah untuk bermain-main di jalanan.

Di jalanan itulah Midah kena pikat dengan pengamen keliling. Terutama lagu-lagu kroncong yang mereka bawakan. Midah senang sekali dengan keroncong. Ia ternyata sudah bosan dengan Umi Kalsum. Dibelinya beberapa piringan hitam kroncong. Sesingkat itu, Midah sudah hafal semua isinya. Saat itulah ia kepergok bapaknya. Ia dihajar habis-habisan gara-gara mendengarkan lagu haram di rumah. Di antara rasa takut berkecamuk di hati, Midah menyimpan benci kepada ayahnya ini. Ibunya juga tak bisa berbuat apa-apa. Di hadapan bapaknya, ibunya tak memiliki kekuatan.

Sampailah suatu hari ketika ayahnya ingin menikahkan Midah dengan laki-laki pilihan ayahnya. Dan syaratnya: selain laki-laki itu berasal dari Cibatok, desa ayahnya, juga berharta dan to’at kepada agama. Setelah tiga bulan perkawinan, Midah lari dari lakinya, Hadji Terbus, dengan membawa beban hamil karena (ke)tahu(an) Hadji Terbus memiliki banyak bini. Ia terseret di tengah rimba kejam jalanan kota Jakarta tahun 50-an.

Dalam fase pelarian inilah Pramoedya menggambarkan perempuan muda usia ini berjuang sekeras-kerasnya dan sekuat-kuatnya untuk bertahan hidup. Midah dituturkan sebagai orang yang tak mudah menyerah dengan nasib hidup; walaupun ia hanya menjadi penyanyi dengan panggilan “simanis bergigi emas” dalam kelompok pengamen keliling dari satu resto ke resto yang lain, bahkan dari pintu ke pintu rumah warga.

Dengan kandungan (hasil perkawinannya dengan Hadji Terbus) yang makin membesar dari hari ke hari, Midah memang tampak kelelahan. Lelah sangat.

Tapi manusia tidak boleh menyerah pada kelelahan. Hawa kehidupan jalanan yang liar dan ganas harus diarungi. Dan kita tahu Midah memang kalah (secara moral: ia menjadi penyanyi + pelacur kelas elite) dalam pertaruhan hidup itu dengan senyum.

Pram, lewat novel ringan ini, memperlihatkan ketegangan antara jiwa seorang humanis dan moralis. Di satu sisi Pram ingin menegaskan kekuatan seorang perempuan berjiwa dan berpribadi kuat melawan ganasnya kehidupan. Seorang perempuan yang tak mudah ditaklukkan oleh apa pun. Perempuan yang melela mengarungi hidup dengan segenap keyakinan yang penuh sungguh.

Tapi di sisi lain Pramoedya juga ingin memperlihatkan kebusukan kaum moralis—lewat tokoh Hadji Trebus dan Hadji Abdul—yang hanya rajin zikir tapi miskin citarasa kemanusiaan. Dan juga serakahnya tak ketulungan. Walaupun novel ini ringan dan tipis, tapi tidak picisan.

Tidak ada komentar: