Senin, 20 April 2009

Yudistira Ananta Toer: “Kami Dilarang Meminta-minta”

Oleh Muhidin M Dahlan

Yudistira Ananta Toer adalah anak bungsu dan sekaligus pemimpin redaksi Lentera Dipantara dan Mata Pusaran. Berikut kesaksiannya.

Sejak kapan Anda memakai nama “Ananta Toer” di belakang nama Anda?

Sejak lahir. Tapi sewaktu SD di Utan Kayu nama itu dihilangkan. Terutama dari pihak keluarga Ibu. Karena kata Ibu tak aman memakai nama itu.

Pernah bermasalah di sekolah?

Pernah. Awalnya tak ada hubungan dengan status Bapak sebagai tahanan politik. Saya berkelahi dan dihukum lari keliling lapangan. Nah Guru Bahasa Indonesia membentak saya. ‘Kamu tahu siapa Bapak kamu, hah? PKI tahu.” Apalagi waktu itu saya membuat perkumpulan band sekolah di rumah. Saya diinstruksi Guru bahwa perkumpulan band saya itu dalam waktu 1x24 jam dibubarkan. Padahal cuma band doang.

Dari siapa tahu bahwa Pak Pram adalah pengarang?

Dari ibu. Juga dari tamu-tamu yang datang.

Bagaimana perasaan Anda ketika menemukan Anda dan keluarga Anda berada dalam tekanan masyarakat?

Atas tindakan masa lalu Bapak, saya sangat terpukul. Saya merasakan betul bagaimana dikucilkan. Di pihak keluarga Ibu juga iya. Mereka semua takut menerima kita. Kami semua sangat terpojok. Tak bebas ke mana-mana. Di rumah saja. Terus-terusan di rumah, ya saya kemudian main musik. Cuma itu yang bisa menghibur.

Oh ya, kabarnya Anda pernah bergabung dengan band yang menjadi cikal bakal band Slank yang sekarang ini…

Iya, sewaktu di SMA Cikini. Saya waktu itu vokal. Tapi belum Slank waktu itu. Namanya Cikini Stone Complex atau CSC. Sewaktu band sekolah bubar, beberapa dari kelompok band sekolah itu, seperti Bim Bim dan Welly, membuat grup band baru yang kemudian sekarang dinamai Slank.

Agak unik, keluarga Anda dikenal sebagai keluarga penulis, tapi Anda memilih musik.

Karena tak ada yang mengajarkan menulis. Malah menulis menjadi aktivitas yang membuat keluarga kami terkucil. Tak ada yang bisa dibuat di rumah kecuali main musik. Itu hiburan kami, terutama saya.

Anda ditinggal Pram ketika berusia dua bulan. Dan bagaimana perasaan Anda ketika pertama kali ketemu Pram?

Saya sudah di SD waktu itu dan tentu saja penasaran. Yang saya dengar sampai saya berusia 14 tahun adalah Bapak itu orangnya keras. Saya pingin tahu sosok seorang ayah buat saya. Dan pertemuan itu saya akui memang hambar. Cuma Bapak megang pundak saya. “Oh ini anak saya.” Cuma itu saja dibilangnya. Padahal waktu itu saya kepingin seperti apa memiliki seorang ayah. Lalu saya tidur di samping Bapak. Tapi dia suruh pindah dan membentak. “Kamu sudah besar, tidak boleh tidur sama orang tua.” Terus saya pindah. Malam kemudian saya tidur di samping Bapak lagi. Karena saya kepingin bagaimana hangatnya dalam pelukan Bapak. Ternyata pagi-pagi itu saya sudah diangkat dan ditaruh di kamar mandi. Seminggu kemudian saya dibikinkan kamar di belakang yang terpisah dari rumah utama. Kata Bapak, “Mulai sekarang kamu tidur di sana. Sendiri.” Saya pun lalu tidur di situ. Nggak boleh nyampur, seperti sebelumnya saya tidur dengan Ibu dengan kakak-kakak berempat.

Hubungan Anda dengan Pram, hangat atau dingin-dingin saja?

Saya kira hubungan saya dingin sekali. Mungkin karena usia saya sudah terlampau dewasa untuk bertemu. Sehari-hari berjalan begitu saja. Seperlunya saja. Pun Bapak memanggil saya seperlunya saja. Bahkan kalau saya mengantar ke Blora atau pergi mengantar ke sana atau ke sini.

Pernah meminta sesuatu kepada pram?

Pernah. Waktu itu saya meminta kacamata yang dia balas dengan lemparan asbak rokok. Waktu itu saya hampiri Ibu dan bilang bahwa saya butuh kacamata. Kata Ibu, “Bilang sama Papi sana.” Saya kemudian menghampiri Bapak. “Pak, saya perlu kacamata nih. Saya agak sulit membaca.” Ia tak mengatakan apa-apa sebelum saya kaget ketika melihat asbak terbang ke arah saya. Setelah kejadian itu sampai sekarang saya tak pernah meminta sesuatu. Dia bilang jangan pernah mengharapkan sesuatu dari orang lain. Kalau pingin sesuatu berusaha sendiri.

Apa saja yang diajarkan Bapak?

Membaca buku. Membaca koran. Kata Bapak, dalam membaca koran, baca dulu halaman depan. Satu hari harus bisa menemukan dan memahami tiga kata baru yang tak pernah kita tahu, seperti istilah daerah dan sebagainya. Bila perlu itu dicatat dalam buku. Nama orang yang kita kenal. Semua ditulis.

Bagaimana Pram mengajarkan Anda membaca. Maksud saya membaca buku?

Pertama kali Bapak ngajar membaca buku adalah ketika Bapak menyodorkan buku Ajip Rosidi yang sangat tebal dan itu pertama kali saya membaca buku setebal itu. Semalaman saya bekerja keras memahami isinya. Pas ditanya, ternyata bukan isinya, tapi siapa penerbitnya. Bapak mengajarkan bahwa membaca itu harus semuanya. Tuntas. Semuanya. Bukan hanya isi atau materi buku, tapi juga penerbitnya, nama pengarangnya, editornya, dan seterusnya.

Kalau Pram mengajarkan menulis?

Menulis catatan harian. Bahkan sejak di Buru, kami semua sudah ditekankan untuk menulis buku harian. Bukan cuma saya, tapi semua anaknya. Karena memang itu yang dimau Bapak. Maka setelah beberapa saat bertemu, saya langsung ditanya, mana buku harian. Dan saya kasih tiga buku harian. Kata Pram, dalam buku harian itu apa saja harus ditulis, apa saja yang kita lihat, kita tahu. Dia lihat begitu saja buku harian saya. Tapi Bapak nggak komentar apa-apa. Sampai sekarang pun dengan cucunya dia masih menyuruh buat buku harian. Alasan Bapak menyuruh demikian agar kelak ketika besar kita semua tahu sejarah hidup diri sendiri.

Anda selalu menyopiri Pram kalau ke Blora. Apa pengalaman Anda ketika mengantar Pram ke Blora?

Pram itu senang sekali kalau ngebut di jalan. Dia pingin tahu sampai di mana batas kekuatan mobil itu. Awalnya saya bilang di jalan raya seperti ini tak bisa begitu. Tapi dia ingin tahu kecepatan mobil itu sampai seberapa. Karena apa yang dia punya selalu dia banggakan. Dan saya jalankan saja apa yang dia mau. Sewaktu-waktu dia bilang terus… terus… terus… kiri terus… ternyata ada mobil di depan dan hampir nabrak. Dia langsung berdiri dalam mobil seperti orang ngerem.

Apa yang Anda kesankan dengan pribadi Pram?

Dia pekerja keras. Dan hampir tak kenal waktu. Saking kuatnya bekerja, dia jarang sekali bercanda. Dia bicara seperlunya saja. Ingin sesuatu atau minta diantar ke mana….

Apa yang membuat Anda terhadu ketika jelang pram berangkat?

Ketika Bapak memeluk saya. Itu pertama kali saya dipeluknya. Dan itu berlangsung ketika ia hampir berangkat selamanya. Tak pernah begitu selama hidup saya. Pertama kali ketemu saja tak seperti itu.

Tidak ada komentar: