Senin, 20 April 2009

Mujib Hermani: "Pram: Ya sudah, saya tidak mau jadi presiden!"

Oleh Muhidin M Dahlan dan Siti Azizah

Bagaimana ceritanya Anda bisa begitu dekat dengan Pram?

Waktu itu 1998 saat ada launching buku, saya datang ke rumahnya di Utan Kayu. Lantas turun hujan. Niatnya berteduh barang sebentar kemudian pamit pulang. Tapi saat izin pulang Pram menahan. Sehingga hari itu dari siang hingga magrib atau kurang lebih 5 jam untuk pertama kalinya saya berlama-lama bersama Pram di rumahnya. Sambil merokok dan panjang lebar kami mengobrol.

Perkenalan yang berbuah akrab kira-kira kapan?

Kalau akrabnya mulai 2002. Saya sudah rutin berkunjung. Lama-lama menjadi dekat dengan keluarganya. Apalagi ada kasus pembajakan buku-buku Pram di Yogyakarta. Saya yang mengabari soal itu. Ceritanya: secara tak sengaja saya membaca buku Korupsi. Tapi ketika saya baca dan perhatikan beda sekali kertas isi dan covernya. Saya ingat betul bagaimana kertas isi dan cover Korupsi yang saya jual pada 1998. Dalam logika percetakan, dalam sekali cetak misalnya 3000-6000 ekslempar tidak mungin ada beda kertas. Saya menaruh curiga bahwa ada pembajakan. Awalnya Pram tak percaya dengan hal itu. Meski sampai saat ini saya tak bisa menuduh pihak mana yang melakukannya. Apa pihak penerbit (Joesoef Isak+Hasta Mitra, red) atau percetakan (Andre Martias+CV Adipura, red) atau konspirasi keduanya. Anak-anaknya yang tak pernah terlibat dalam persoalan buku, setelah kejadian tersebut, menjadi perhatian terhadap nasib royalti ayahnya. Dari sini mulanya Lentera Dipantara ada. Saya membantu di sana.

Kapan pertama kali membawa Pram ke pubik yang lebih luas?

Tahun 2000. Saat iklim politik sudah memberikan hawa kebebasan pada Pram dan karya-karyanya. Sebelumnya Pram demikian berjarak dengan pembaca. Pembaca harus berkunjung ke rumah Pram. Karena waktu yang terbatas dan Pram kewalahan menerima tamu-tamunya, saya berinisiatif kenapa tidak Pram saja yang mengunjungi penggemarnya. Katakanlah jumpa penulis dengan pembacanya. Reformasi memberikan ruang gerak yang bebas untuk Pram dan karya-karya Pram.

Biasanya apa yang diucapkan pertama kali saat Anda berkunjung ke rumahnya?

Pertama-tama Pram bertanya, “Ada kabar apa, ada berita apa?” Itu berarti ke rumah Pram harus bawa kabar. Yang kedua ditanya adalah: “Sudah makan belum?”

Apa saja yang diobrolkan?

Hampir semua hal. Dari persoalan politik, budaya, sastra, perempuan, sampai soal kalkun.

Kalkun?

Pram tertarik dengan kalkun. Kemudian bertanya tentangnya. Ada seorang kawan yang sok tahu menjawab, “Kalkun itu hidup di air, telurnya besar-besar.” Namun Pram tidak puas dan meminta saya mengantarnya ke Gramedia mencari referensi ayam kalkun. Didapatinya majalah Trubus. Kemudian dia tahu bahwa sesungguhnya kalkun tidak hidup di air. Kontan Pram menunggu kawan yang sok tahu tadi. Seminggu berselang orang tersebut muncul di rumahnya. “Ah, kamu tidak tahu tentang kalkun, sini saya kasih tahu,” seloroh Pram bersemangat. Setelah membaca Trubus Pram memutuskan membeli 7 kalkun: 5 betina 2 jantan. Saat bertemu dengan Pram, saya tanya, “Bung, ada kabar apa dengan kalkun?” “Wah tarung mulu. Nanti kalau saya pulang masih tarung mau saya tebas. Kata bukunya memelihara kalkun untuk ketenangan jiwa, tapi ternyata repot amat,” terangnya. Jelas saja begitu. Pram pelihara 2 jantan. Hingga akhirnya nasib kalkun-kalkun itu tak lagi mendapat perhatian Pram. Diberikannya pada kawan yang mau membawanya ke Jakarta.

Apa lagi?

Suatu kali Pram mengkhayal jadi presiden. “Kalau saya jadi presiden, kamu mau jabatan apa?” tanyanya pada saya. “Saya mau jadi pangab.” “Kenapa pangab?” tanyanya penasaran. “Pangab kan pegang senjata. Di negara kita banyak koruptor. Saya mau tembaki orang-orang yang korupsi.” “Wah, itu ga boleh, kita kan negara hukum, hukum harus ditegakkan,” sanggahnya protes. “Hukum sekarang ga jalan, Bung,” kata saya. “Siapa lagi kalau bukan kita yang menjalankannya.” Tapi saya terus ngotot ingin jadi Pangab dan menembaki para koruptor. “Ya sudah, saya tidak mau jadi presiden,” Pram mengakhiri perdebatan dan langsung masuk untuk kemudian duduk lagi.

Cerita apa lagi?

Soal duren di kebunnya di Bojong. “Bung, nanti kita makan duren,” kata Pram sambil menunjuk pohon durian yang sudah memperlihatkan buahnya yang berduri. Tapi seminggu sebelum panen, pohon durian itu Pram tebang. “Daripada jadi beban!” jawabnya ketika ditanya kenapa dengan pohon duriannya. Pasalnya, sebelum di panen Pram sudah ada yang manen. Dia merasa terbebani dengan janji-janjinya kepada kawan untuk makan duren bareng. Namun dia tidak bisa menahan orang yang mencurinya lebih dulu. Itu jadi beban di kepalanya.

Apalagi yang berkesan?

Putrinya, Mbak Rina (Arina Ananta Toer, red), tanam bunga bonsai. Pram bingung, apa maksud Rina menanam begitu banyak bunga-bunga. Menurutnya, bunga tidak produktif. Saat itu saya kompori Pram. “Iya Bung, seharusnya ditanami cabai, tomat, atau jahe itu pot-pot.” Besoknya Pram menebas bunga-bunga Rina. Hahahaha. Pram begitu: selalu mengukur sesuatu dengan produktivitas.

Masih soal bunga. Mbak Titi (Astuti Ananta Toer, red) menanam bunga untuk pembatas jalan. Karena mungkin menilai tidak produktif, bunga-bunga itu dicabutnya. Oleh Mbak Titi ditanam lagi. Oleh Pram dicabut lagi. Begitu dan begitu hingga Mbak Titi menang dan bunga-bunga itu bermekaran. Barulah Pram berkomentar: “Bagus juga ya, Nduk.”

Tamu seperti apa yang diterima oleh Pram?

Pada dasarnya Pram menerima semua tamu-tamunya. Dari kalangan apa pun. Pejabat, artis, pembacanya, dan sebagainya. Tapi Pram paling suka dengan kawan muda. Apalagi penulis. Dia sangat menghargai karya tulis. Kalau dia merasa nyaman dengan seseorang, dia akan banyak ngomong. Tapi bila tidak suka, dia akan banyak diam.

Apa yang menarik dan membedakan Pram dengan tokoh-tokoh yang lain?

Pram selalu merasa muda. Menganggap kawan muda adalah kawannya. Sehingga dia bertanya saat tidak tahu dan tidak paham sesuatu. Dan akan selalu memberikan masukan dan informasi apabila dia tahu. Begitu sebaliknya. Tidak menggurui. Dan yang pasti Pram kawan diskusi, guru, sekaligus orang tua bagi saya.

Merasa muda?

Iya. Suatu kali di samping rumahnya saya bermain layangan berdua dengan kawan. Bangun tidur Pram langsung menghampiri. “Kamu bahagia ya waktu kecil. Bisa main layangan. Saya main gundu saja tidak bisa,” ujar Pram.

Pernahkah Anda berbicang masalah-masalah rahasia dengannya?

Sering. Banyak hal off the record. Contohnya tentang Pram yang dikhianati teman-temannya. Akan tetapi Pram langsung bermuram durja bila kita menyinggung soal perpustakaan. Perpustakaan miliknya dibakar. Tiba-tiba pembicarannya meledak-ledak. Tampak sekali emosi di wajahnya. Sepanjang hidup dia menyesali kejadian itu.

Kabarnya Pram membuat catatan harian, kapan terakhir dia menulisnya?

Betul sekali. Sampai terakhir-terakhir kemarin sebelum komanya dia masih sempat menulis catatan hariannya. Saya pernah baca. Dia menggambarkan dengan jelas. Misalnya suatu hari dia kedatangan tamu. Dia akan menuliskan posisi duduk si A di sebelah kirinya, misalnya. Dan bila Pram tidak kenal atau lupa nama orang itu dia mendeskripsikannya. Misal orang tersebut berambut gondrong, berkulit putih. Lalu apa saja yang diobrolkan dituliskan di buku catatan itu. Misalnya, ada pendapat lawan bicaranya yang tidak disetujui, dia akan menuliskan di catatan hariannya seperti kalimat footnote sebagai anjuran. Pram tidak langsung mengkritik.

1 komentar:

Subowo. mengatakan...

Berikut ini kami muat kembali "Surat Pembaca" bantahan dari pihak keluarga Joesoef Isak yang dimuat Tempo Online, 07 Juni 2010 terhadap tuduhan miring terhadap Joesoef Isak oleh pihak tertentu dalam artikel Tempo 26 April 2010 "Memilih Berpisah".

Tulisan Menyesatkan

Kami gusar terhadap tulisan Tempo edisi 26 April-2Mei 2010 berjudul "Memilih Berpisah" berkaitan dengan Hasta Mitra. Dalam tulisan itu diterangkan soal almarhum Joesoef Isak yang memotong honorarium almarhum Pramoedya Ananta Toer sebagai berikut, "... Lambat-laun Pramoedya merasa ada yang janggal karena kerap kali honorariumnya dipotong tanpa alasan." Masih dalam satu nada, Tempo menyebutkan, Joesoef juga telah melakukan pembajakan hasil karya Pramoedya. "... dengan cara menggelembungkan jumlah cetakan buku yang dilakukan atas dasar perintah cetak Joesoef itu membuatnya (Pramoedya) kecewa."

Keberatan kami adalah Tempo telah tidak proporsional mengulas hal yang belum jelas juntrungannya, tanpa mengkonfirmasi sumber independen dan melakukan penyelidikan menyeluruh. Kami menganggap Tempo menyebarkan fitnah mengenai almarhum Joesoef Isak. Informasi yang kami kumpulkan dari berbagai pihak, termasuk para mantan anggota organisasi seniman sebelum 1965-terutama dari mereka yang dalam kategori nonsahabat atau kenal almarhum secara biasa-biasa saja-bertolak belakang dengan apa yang ditulis Tempo. Informasi tersebut mencakup bukan hanya berkaitan dengan kisruh pembajakan, melainkan juga royalti penulis di dalam dan luar negeri pada awal 1980-an ketika Hasta Mitra mulai berdiri hingga pasca-Orde Baru, awal 2000-an.

Menurut kami, apa yang disebut perselisihan di tubuh Hasta Mitra adalah hal jamak yang terjadi dalam sebuah perusahaan. Andai memang perselisihan di antara ketiga pendiri Hasta Mitra-Pramoedya, Joesoef, dan Hasjim Rachman-ada, kami ingin mengingatkan bahwa mereka bertiga sudah bekerja dengan baik menjawab tantangan pada zamannya.

Subowo
Desantara
Lutfi Yusuf