Sabtu, 21 Juli 2007

Ensiklopedi Maya Omi tentang Indonesia

Oleh AN Ismanto

Situs piaraan Omi Intan Naomi itu bernama rainforestwind/indonesia. Sekilas, jika melihat seluruh tulisannya yang berbahasa Inggris, situs ini tampak seperti brosur untuk turis. Terlebih jika melihat pernik-pernik pada frontpage-nya yang “eksotik” dan “oriental”. Namun, sebelum berenang-renang lebih dalam, pengunjung situs ini akan diperingatkan oleh tulisan di sudut kanan atas: THIS PAGE IS NOT MADE BY A TOURIST, EXPATRIATE, TOUR GUIDE, OR AIRLINE STEWARD.



Nuansa yang menguar dari situs ini memang bukan turistik, apalagi curhat a la blog biasa. Yang tercium justru kucuran peluh, dan mungkin airmata dan kemarahan yang tertahan—Omi memang menulis dengan sense of humor yang akut, tetapi kerap terasa runcing, bahkan sinis. Situs ini bisa dimaknai sebagai upaya Omi untuk mempromosikan Indonesia kepada khalayak internasional—masuk akal jika bahasa yang digunakan adalah bahasa Inggris.

Pembaca yang mengenal Omi sebagai seorang penerjemah buku-buku babon feminisme (Gegar Gender) dan etika pers (Anjing Penjaga) atau sebagai penyair dan kolomnis Kakikata di harian Suara Merdeka, juga akan mendapati bahwa Omi adalah seorang pecinta kucing (ia memberi nama kucingnya Totti-merujuk kepada Francisco Totti), kritikus dan pemerhati seni rupa, tari, musik, sosial, dan lingkungan.

Di situs ini, Omi merangkum lokus-lokus kebudayaan dan lanskap-lanskap penting Indonesia, yang didominasi tradisionalisme Jawa dan Yogya (mungkin karena ia begitu mencintai Yogya), dan memajangnya kepada publik maya dengan gaya menulisnya yang berani dan pretensius. Yang tercakup antara lain asal mula dan variasi nama Yogyakarta, Kraton, alfabet dan lingustika (bukan hanya gramatika) bahasa Jawa, pakaian pengantin, Malioboro, dangdut, Tuhan dan pembantaian, sejarah Jawa dan Indonesia, Komunitas Tionghoa, etnisitas Indonesia, sejarah seni, film, dan kesusasteraan Indonesia, etcetera.

Kebudayaan Jawa ia bahas habis-habisan, terutama Yogya. Ia menulis: Other Indonesian provinces might have oil, timber, goldmines, etc. to tap; Yogya has never been that lucky. Its residents are mostly college students, poets, novelists, painters, sculptors, event organisers, and the like—although as a matter of course there also exist laundrypersons and plumbers. Its economy is mainly sustained by tourism and cultural activities, such as running colleges, holding poetry-readings, selling paintings and sculptures, organising events, and the like—in which laundry and plumbing contribute much.

Tentang Borobudur, lanskap Jawa yang paling paling tenar di kalangan publik luar negeri, Omi menjadi satiris. Di bawah foto khas candi raksasa itu, ia menulis: The largest Buddhist monument on this planet is in Central Java: the Borobudur temple. Made of carved stone blocks, it remains an awesome architectural job after two thousand years, although it doesn't really impress the locals.

Frasa although it doesn’t really impress the locals menyiratkan kritik Omi bagi, baik warga awam maupun pemerintah, tentang atensi kepada relik identitas diri dan budaya yang sungguh-sungguh tidak memadai.
Tentang kehidupan kesenian, ia mengurutkan tiga lokus kebudayaan penting di Indonesia menurut “ketenaran” masing-masing di kancah internasional, yaitu Bali, Yogyakarta, dan Bandung, lengkap dengan daftar galeri seni, seniman, dan kolektor. Tentang Jakarta, ia menulis dengan sinis: setelah ketiga kota itu, ada Jakarta. Kota ini tidak begitu penting dari segi kesenian, tetapi di sanalah uang bergentayangan (diterjemahkan dengan bebas).

Pada seksi Personal Writing on Java and Indonesia, Omi berjuang membenahi salah paham tentang Indonesia. Salah satunya adalah artikel yang merupakan balasan dalam korespondensinya dengan Gordon Stanton pada 1999. Di sini, Omi dengan garang menjawab tuduhan stereotipik Stanton, tuduhan yang juga mendekam di kepala individu-individu Barat terhadap Indonesia, bahwa orang Indonesia adalah orang-orang yang hipokrit.

Sikap hipokrit, tulis Omi, adalah sikap yang dipelajari dan dimunculkan oleh proses sosialisasi dan dibentuk oleh keadaan. Menurut teori ini, tidak ada yang terlahir sebagai seorang hipokrit. Kesan itu kerap dinisbatkan kepada orang Jawa karena tuntutan keadaan. Kesan itu bersumber pada pandangan dunia Jawa, yaitu keharusan untuk menjaga ketenteraman dan perdamaian dengan semua orang dan semua hal.
Menyembunyikan emosi-emosi tertentu dari pandangan mata publik dan mengumbarnya hanya pada ranah privat sangat dibutuhkan agar tidak terjadi goncangan dalam tertib sosial dan kosmos. Orang Jawa dapat berkata “ya” ketika ia sebenarnya bermaksud mengatakan “tidak” agar ketenangan dan ketenteraman orang lain tetap terjaga. Mengungkapkan langsung inti pembicaraan juga dianggap sebagai tindakan yang barbar. Seseorang bisa saja bertamu ke rumah tetangganya, menanyakan kesehatan, rematik mertua, prestasi anak di sekolah, dan usia kehamilan istri tetangga tersebut, sebelum mengungkapkan maksud sebenarnya—untuk meminjam uang.

Menyombongkan diri adalah dosa besar bagi orang Jawa. Tidak pantas bagi seseorang untuk berkata “Saya penulis yang baik”, sehingga hal itu harus dihindari. Hal ini juga terbawa-bawa dalam surat lamaran kerja, yang jika menuruti kebiasaan melamar kerja di Barat akan menyantumkan promosi diri. Ini menimbulkan ketegangan budaya tersendiri.

Mencintai istri sendiri adalah urusan privat, sehingga suami tidak boleh memamerkan cintanya di hadapan orang lain. Karena itu, di Jawa tidak banyak suami istri yang berciuman di depan publik.
Omi menuliskan semua yang terbersit dalam pikirannya, merangkum apa saja yang ada, dan menegasi semua yang berpretensi merendahkan Indonesia. Situs ini seolah-olah sebagian dari diri Omi sendiri, yang tetap merayakan Indonesia dan terus berjuang meski telah tiada. Jika melihat isinya yang meruah-ruah, ia bisa dianggap sebagai semacam ensiklopedia kecil tentang Indonesia, atau strategi silent struggle untuk menegakkan kebudayaan Indonesia.

* AN Ismanto, kontributor Indonesia Buku di Bantul


Tidak ada komentar: