Oleh Muhidin M Dahlan
Pasien ada, dokter (selalu) menulis. Dan setiap pasien di seluruh Indonesia mahfum, semua tulisan dokter dalam secarik resep itu nyaris tak terbaca saking buruknya. Resep itu ditulis dengan spirit kekritingan yang sempurna. Jika ditanya siapa yang tahu persis itu isi resep, maka jawabnya cuma tiga: dokter, apoteker, dan Tuhan.
Lalu muncul joke-joke atau bahkan menjadi alamat, jika tulisan tangan Anda di sekolah atau universiteit buruk dan nyaris tak terbaca, pastilah tulisan tangan Anda itu disebut secara spontan sebagai “Tulisan Dokter”.
Ada lagi istilah lain untuk menunjuk tulisan acakadut itu: “Tulisan cakar ayam”. Kalau ada “Pondasi cakar ayam”, maka ada “tulisan cakar ayam”. Atau Sutami yang menemukan “pondasi cakar ayam” pertama kali untuk pembangunan Jembatan Semanggi di Jakarta Pusat itu terinspirasi oleh “tulisan cakar ayam” seorang dokter? Wallahua’lam.
Lebih dari menulis resep, dunia dokter adalah dunia mulia. Tangan mereka adalah tangan kedua Tuhan yang ‘menentukan’ hidup-mati seorang manusia. Mereka ‘tahu betul’ luar-dalam manusia hanya dengan melihat anatomi keseluruhan tubuhnya dalam ruang periksa atau ruang bedah yang sempit itu.
Pengetahuan yang melimpah tentang manusia itu disertai dengan akurasi catatan yang cermat dan kaya akan detail peristiwa kesehatan seseorang dalam sebuah log book. Kerja detail dan akurasi teruji itu nyaris melampaui kerja seorang novelis.
Maka jika pencatatan yang detail itu menjelma menjadi tulisan yang digarap serius layaknya penulisan novel, maka buku seorang dokter akan terbaca sangat istimewa dan menawan. Kita akan mendapatkan suspens tiada akhir dengan suara getir yang menggetarkan, dan membuat setiap pembacanya akan merenung apa arti diri sendiri, semesta, dan Tuhan.
Bacalah misalnya buku dr John Manangsang yang judulnya sepanjang sepur: Papua Sebuah Fakta dan Tragedi Anak Bangsa, Pergumulan Etika, Moral, Hukum, Sosial, Budaya, Kedokteran, SDM, dan Kemanusiaan; Refleksi 15 Tahun Pasca Kisah Nyata: “Catatan Seorang Dokter dari Belantara Boven Digul dan Komentar Para Pakar Indonesia”.
Buku ini tak hanya meriwayatkan manusia di sepotong kawasan bernama Digul, tapi juga menyeret dan menggodam-godam rasa kemanusiaan kita di meja bedah puskesmas Tanah Merah yang miskin fasilitas itu. Sang dokter begitu lirih, detail, mencatatkan pengalamannya bergelut dengan harapan manusia-manusia Tanah Merah untuk keluar dari kelamnya nasib dan penyakit. Di tangan dr John, neraka Tanah Merah dan seberkas harap berlomba di jalur yang sempit yang terkadang saling menggesek dan menggasak.
Dengan hanya bersenjatakan silet untuk operasi sesar dan anus buntu, martil yang menghantam gagang pahat dan obeng pinjaman tetangga untuk operasi lutut, serta listrik yang byar-pet ketika dinihari tiba, dr John memberitahu betapa kelamnya pedalaman Papua.
Untuk tahu bagaimana dahsyatnya tulisan seorang dokter yang digarap dengan serius, baca pula buku dr Ang Swee Chai, From Beirut to Jerussalem: Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan. Dr Ang Swee adalah dokter orthopedi yang dikirim di medan pembantaian Lebanon: Shabra-Shatila. Sebelum Israel menggempur habis-habisan Lebanon setahun lalu, Shabra-Shatila sudah menjadi uji coba praktik pembantaian yang mahangeri Israel di tahun 1982.
Dengan hanya paspor seorang dokter, dr Ang Swee mampu menguak betapa mengerikannya perlakuan Israel. Perang itu tak hanya mengubah persepsi Ang Swee terhadap apa itu manusia Palestina yang kerap disebut-sebut sebagai “Demolition Man”, melainkan juga menyuarakan kepada dunia bahwa perang hanya menciderai jiwa-jiwa manusia.
Ia memang bukan reporter media massa yang bejibaku di tengah front pertempuran Lebanon. Ia hanya menceritakan apa yang dilihatnya di tenda-tenda darurat rumah sakit dan di antara deretan manusia yang terluka dan mengerangkan maut. Namun dari ceritanya yang menusuk tajam itu, bukunya menjadi saksi tentang pembantaian manusia yang mengiris. Detail-detail yang dipaparkannya membuat pembaca ikut serta dalam setiap momen dan menyadari bahwa orang yang dibela oleh dr Ang Swee sejatinya bukan lagi berdasar atas etnik dan kepercayaan (ia beragama Kristen dan pro-Israel), melainkan atas dasar kemanusiaan.
Selain dua buku itu, tak ada lagi buku tulisan seorang dokter yang memukau. Boleh jadi buku itu begitu menarik karena peristiwa yang melatarinya adalah peristiwa besar seperti perang dan/atau di tengah bencana alam yang luar biasa dan/atau di arena kelaparan akibat infrastruktur yang brengsek.
Tapi sebuah tulisan yang menggetarkan, tak mesti dihasilkan dari arena-arena yang ekstrim, tapi juga bisa di laboratorium yang bersifat sehari-hari. Sebab ketajaman setiap tulisan dokter terletak pada: (1) bahwa mereka memiliki data akan detail peristiwa yang dihadapinya dan (2) bagaimana memperlakukan dan mengolah data itu secara memikat dan bahasa yang liris-naratif.
Di zaman revolusi, Soedjatmoko adalah kampiun penulis dan intelektual Indonesia yang pernah dilahirkan Ika Daigaku (sekarang Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Salemba). Ia adalah aktivis Prapatan 10, asrama mahasiswa para juru suntik. Bersama aktivis Menteng 31, Cikini 71, Gang Bluntas, mereka turut mengambil peran signifikan dalam peristiwa Proklamasi 1945.
Namun kini, dokter kita tinggal segumpil yang mau menyandingkan antara profesinya sebagai dokter dan penulis yang tekun. Betapa jarang dokter yang menulis buku tentang kesaksiannya, baik sebagai manusia maupun sebagai seorang dokter ketika berhadapan dengan peristiwa kesehatan (sehari-hari).
Yang menulis di media massa pun hanya sedikit. Paling itu-itu saja. Sebut saja dr T Jacob, Kartono Muhamad, dan Hermawan Nadesul.
Dokter gigi dan peneliti terdepan asal UGM, Ika Dewi Ana, mengatakan buku bacaan dokter itu merentang dari buku ilmiah sampai buku porno. Tapi tak sedikit jumlah dokter yang tak mau lagi membaca. Sebuah penelitian yang dilakukan Australia-Indonesia didapatkan hasil bahwa nyaris semua responden yang terdiri dari dokter dan perawat tak pernah merujuk pada buku referensi saat ditanya cara pemakaian jarum suntik. Semua bersandar pada kata ini, diajari oleh ini, dan sebagainya. Padahal buku bisa memberi jawaban lebih memuaskan.
Kalau dokter tak mau lagi membaca, tak mau lagi bertanya pada buku, lalu bagaimana mereka tergerak menulis (yang baik).
Sabtu, 04 Agustus 2007
Para Dokter, Menulislah!
Diposting oleh [I:BOEKOE] di 19.19
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
:: Awal :: Kliping :: Esai :: Resensi :: Tips :: Tokoh :: Perpustakaan :: Penerbit :: Suplemen Khusus :: Buku Baru :: Undang-Undang ::
4 komentar:
mas muh, memang bagus pendapat sampean, dokter harus menulis. tapi mas...
saya kok merasa bahwa dunia bagi anda adalah buku, kisah, sastra, dst. dan kalau sekarang sampean menghimbau (semua dokter) untuk menulis (sepertinya yang sampean maksud di sini menulis kisah), apa bukan perampatan itu namanya? generalisasi? apa dokter-dokter harus menulis "kisah", sementara panggilan hidup mereka adalah mengobati pasien (buka jam 5 pagi sampai jam 8 pagi, terus ke rumah sakit, atau ke kampus kalau dia juga dosen sampai sore, terus jam 5 sore sampai jam 11 malam buka praktek lagi dan baru tutup kalau pasiennya sudah habis) apakah sampean masih tetep ingin merampatkan: dokter, menulislah!?
apa sempat terlintas juga di benak sampean bahwa dokter-dokter itu juga kuliah s2 dan meneliti lalu diterbitkan di jurnal kedokteran yang gunanya untuk saling mengembangkan pengetahuan sesama dokter yang mana akhirnya akan meningkatkan dunia kesehatan kita? apa itu bukan nulis? menurut saya, yang sangat wajib ditulis dokter itu ya ini, BUKAN MENULIS KISAH SEPERTI YANG SAMPEAN HIMBAU ITU.
menulis kisah, bagi kaum dokter, hanyalah fardu khifayah, yang bisa diwakilkan kepada dokter-dokter yang karirnya memang membutuhkan penceritaan.
dan menurut saya, sepertinya di titik ini sampean harus mulai introspeksi untuk tidak menyeragamkan segala sesuatu. kisah itu dunia sampean dan saya (setidaknya sebagian saja sih, :D). dunia mereka ya ada sendiri lah. as if you know all they do!!!!!
@ Si Pemimpi
Memang semuanya tak perlu dituliskan. Tak semua orang harus menulis. Bahkan ketika tak satu pun dokter menulis tak apa-apa.
Tapi tahukah Anda, bahwa tradisi mengungkapkan apa yang dalam pikiran dengan cukup baik nyaris lumpuh di perguruan tinggi. Karena konteksnya dalam dunia kedokteran, maka secuil fakta yang memprihatinkan juga berada di sana.
Setiap dokter memang berbeda karakter. Tapi yang menjadi memrihatinkan kemudian, tak ada dorongan dan rangsangan perguruan tinggi atau institusi untuk mendorong para civitasnya menulis dengan baik di bidangnya.
Kisah yang saya cerap dari Ika Dewi Ana adalah kisah yang memilukan, bagaimana para dokter tak mau merujuk ke buku untuk menegaskan pendapatnya dan malahan kata si ini dan kata si itu. Sekilat informasi yang saya cerap, di institusi yang sama di luar negeri, tradisi mengungkapkan gagasan lewat tulisan terawat dengan baik.
Dan dokter memiliki cukup bahan untuk hal seperti itu. Tak perlulah dia menulis kisah atau novel yang gigantik. Bahkan untuk menulis catatan apa yang dilakukannya terhadap pasien hari itu tak sempat.
Saya hanya menderet beberapa gelintir dokter yang menulis dan membagi dunia mereka kepada publik yang awam. Sehingga ketahuan, oh dunia mereka itu begini ya begitu ya. Ternyata, dokter jarang membaca karena sibuknya karena mengejar job di sana job di sini.
Tapi kalau memang tak mau menulis rekam jejak, ya nggak apa-apa. Bersiaplah untuk terlupa.
::muhidin m dahlan
GENERE CAFE
CAFE PUSTAKA
Untuk Pertama kalinya, kami undang untuk berkunjung ke sebuah Cafe Pustaka. Berkunjunglah ke Cafe kami.
Kunjungi kami di :
http://generecafe.blogspot.com.
Sebuah Ruang Pustaka yang kami suguhkan bagi para pengunjung setia penikmat Blogger di Seluruh Indonesia.
Simpanlah undangan kami ini, apabila suatu saat nanti anda membutuhkan sebuah Cafe Pustaka sebagai bahan refrensi anda.
Hormat kami,
Genere Cafe
Kalau dokter menulis seperti seorang penulis, bisa-bisa para dokter beralih profesi. Tulisan dokter itu lain, karena bentuk tulisannya harus ilmiah dan sumber2nyapun harus jelas, dan yang pasti harus bisa dijadilan acuan untuk dokter2 lain serta dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Dalam jurnal itulah bentuk tulisan dokter, karena kebenarannya harus diuji, kesalahan dalam karya tulis dokter akan menjadi kesalahan yg fatal.
Posting Komentar