Oleh Muhidin M Dahlan
Gordon W. Allport, seorang psikolog—sebagaimana dikutip Jalaluddin Rakhmat (1994, Cet. 6: 26)—mengatakan ada dua cara manusia beragama: ekstrinsik dan intrinsik.
Yang ekstrinsik memandang agama sebagai sesuatu untuk dimanfaatkan, dan bukannya untuk kehidupan, something to use and not to live. Orang yang beragama dengan cara ini memang melaksanakan hampir semua ritual agama: salat, puasa, zakat, bahakan naik haji—tapi tidak di dalamnya, melainkan di bagian kulitnya yang paling luar. Dan jangan mengharapkan cara beragama seperti ini melahirkan realitas hidup yang manusiawi, melainkan patologi sosial: irihati, kebencian, dan segala bentuk banalitas lainnya.
Berbeda dengan cara beragama yang intrinsik. Cara beragama seperti ini lebih substansial, lebih ke dalam, agama menjadi faktor pemadu. Ia menghujam dalam aras kehidupan yang manusiawi. Inilah barangkali yang disebut Jalaluddin Rakhmat sebagai “Islam Aktual” yang coba bertarung hidup-mati melawan ganasnya kelaliman. Ia melawankan “Islam Aktual” ini dengan istilah “Islam Konseptual” yang tidak bisa ngapa-ngapain ketika berhadapan dengan realitas.
Lalu di mana kita letakkan sosok Pramoedya Ananta Toer dalam frame beragama seperti di atas? Lumayan susah memang. Menempatkan Pram dalam bingkai agama (Islam), kita seperti berhadapan dengan tikungan yang berbahaya. Sebab belum apa-apa, beberapa lapis kalangan Muslim sudah mendakwanya—hingga sekarang—bahwa Pram adalah komunis dan komunis pastilah ateis dengan kebencian kepada agama yang luar biasa. Dan memang, dalam beberapa tempat di tubuh karyanya, Pram mempersoalkan pola-tingkah kaum beragama dengan sedikit rasa nyinyir.
Tapi benarkah Pram seorang ateis; ataukah ia seorang teis dalam makna lain; ataukah ia seorang pramis?
Ada seloroh yang mengatakan: sebetulnya, justru orang ateislah yang serius membincangkan Tuhan. Ya, walaupun hanya seloroh, benarlah adanya bahwa kaum yang selama ini dicap tidak mau mengakui Tuhan inilah yang paling rutin mengkaji soal Tuhan.
Bukan hanya kebetulan belaka ketika Charles Darwin menampik campur tangan Tuhan dalam soal mata rantai penciptaan. Bukan hanya soal retorika pidato podium ketika Marx mengguritkan dengan garang bahwa agama adalah candu bagi kaum gembel. Dan bukan soal gramatika semata ketika Nietzsche turun dari bukit sambil menyanyikan kidung Zharatustra: Gott ist gestorben.
Tapi kajian kaum ini tidak seperti umumnya teolog yang sebelumnya berangkat dari keimanan yang absolut. Kaum ateis atau “kafir” ini berangkat dari kebersangsiaan, berangkat dari negasi, yang karena itu sangat kritis. Dan kesemua kesangsian itu sebetulnya berangkat dari realitas pandirnya kaum beragama, pandirnya kaum beriman dalam memberikan suguhan tontonan memikat dan jawaban cespleng atas kekalutan sosial. Sebetulnya bukan Tuhan yang berada di balik lauh mahfuz yang ditolak oleh kaum “kafir” ini, tapi tuhan (dengan “t” kecil) yang diusung-pahami oleh pandir-pandir beriman itu; tuhan, yang ketika hinggap dalam ceruk kepala pandir beriman itu, entah kenapa tiba-tiba saja hilang elan rasionalismenya dan kritisismenya memandang jatuh-bangunnya manusia dalam gelembung busa sejarah.
Pramoedya, sebagaimana kaum “kafir” itu, juga memandang agama dengan sangat kritis. Dan tak usah diragukan, Pram adalah seorang muslim seperti muslim pada umumnya: Allah Tuhannya, Muhammad nabinya. Kakeknya dari pihak ibu adalah seorang haji dan priyayi Jawa. Bahkan, ia juga pernah ke tanah haram bersama ayandanya menunaikan ibadah haji dan beberapa saat studi bahasa, sosiologi, dan filsafat di Sekolah Tinggi Islam Jakarta (sebelum ditutup ketika perang antara Jepang dan Sekutu meletus) dengan HM Rasjidi sebagai guru filsafatnya. Itu diakuinya sendiri.
Tapi, “Aku tetaplah pemeluk Islam statistik,” tulis Pram dalam catatan biografinya, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (edisi revisi, 2004: 140). “Aku memang dari keluarga Islam dan tak pernah berpikir lain daripada Islam. Konsep filsafat dan tauhid atau teologis dalam masyarakat dan lingkungan hidupku tercampur aduk dengan kebatinan, karena sejak umur limabelas terpengaruh oleh bacaan yang sudah tercampur dengan gaung konsep Yahudi dan Hellenisme tanpa sistimatika. …”
Renggangnya hubungan Pram dengan agama sebetulnya sudah terjadi sejak dini sekali. Sepengakuannya, pernah waktu ia masih duduk di kelas dua sekolah dasar gurunya yang bernama Hadji Sodik bercerita tentang penyiksaan di neraka. Entah kenapa, hingga di usia tuanya, cerita itu terus saja mengiang-ngiang dalam ingatannya. “Guru itu tidak mengerti jiwa kanak-kanak. Sebetulnya dia telah melakukan kekeliruan meracuni jiwa kanak-kanak dengan kekejaman dan sadisme, karena itu mengganggu pertumbuhan jiwa,” seru Pram.
Pun demikian setelah Pram lulus sekolah dasar dan tak bersekolah lagi, nenek tirinya menganjurkan pada ibunya agar Pram meneruskan pelajaran di pondok. “Aku mendongkol dan hari itu juga dengan keretapi aku pergi ke Juana untuk menghinda¬rinya. Tak ada seorang pun bekas pondok yang dapat aku jadikan teladan. Mengapa aku mesti jadi orang yang tidak bisa kujadikan teladan?”
Soal nihilnya keteladan kaum pandir beriman itu bisa kita baca langsung dalam novelnya Midah dan Gadis Pantai. Di situ, karakter kaum beragama yang taat, haji, banyak berzikir, dicungkil-cungkil sedemikian rupa dan tampak memuakkan. Pribadi yang menjadi bantalan olok-olok satire yang empuk. Ada orang saleh yang rajin baca Quran dan Hadis, tapi rajin juga memperbudak saudaranya sesama manusia. Ada orang bersorban dan berkopiah haji, tapi kebutuhan memperturutkan naluri zakarnya sama kuatnya dengan zikirnya.
Tokoh-tokoh yang dihadirkan Pram dalam karyanya itu adalah tipikal sempurna manusia beragama secara ekstrinsik. Dan makin sempurna tipikal itu dalam kacamata Pram ketika di Pulau Buru. Di situ ia melihat pandir-pandir beriman itu sedang menjajakan dakwahnya di depan para tapol. Dalam pandangan Pram, mereka tak ubahnya para inkuisisi: memaki dan mengutuk, mengadili dan menghukum, dan tanpa menyadari penceramah sebenarnya sedang memanifestasikan dunia keranjingan leedvermak. Metode mengajarkan agama mereka masih dengan cara lama, menakut-nakuti orang dengan neraka dan mengiming-imingi surga yang itu tidaklah pada tempatnya di alam modern ini—sekalipun untuk kanak-kanak.
Dan protes Pram kepada pandir-pandir beriman itu secara memikat terjadi ketika ia—sebagaimana terbaca dalam Arus Balik—menemukan sebongkah realitas bahwa politik Islam dalam sejarahnya di Jawa (periode Demak pasca Patih Unus) adalah tak ubahnya mesin pembunuh bagi sesamanya. Di tangan Trenggono, oleh sejarah resmi Islam, agama ini memang berhasil membawa Demak ke arah kegemilangan. Tapi menurut Pram, kemenangan itu bersifat negatif. Agama hanya dijadikan kedok untuk merayah dan menjajah sesama manusia bangsanya sendiri lewat ekspansi darat bersama sekutu utamanya para Wali yang membonceng untuk mengislamkan orang-orang Jawa.
Membaca novel gemuknya itu, kita kemudian disadarkan, ternyata “hanya” karena kerakusan menguasai tanah Jawa, semua-mua Wali itu “emoh” mengambil peran signifikan menghalau datangnya kemerosotan besar yang dibawa Eropa. Karena itu, mestinya pembesar-pembesar agama Islam Pulau Jawa, terutama Wali Songo—tanpa harus melupakan kebesaran jasa mereka—harus juga bertanggung jawab atas jatuhnya Jawa dan Nusantara.
Potret (ber)agama (pandir-pandir beriman) yang disaksikan Pram dalam satu putaran hidupnya, entah kebetulan atau tidak, ah, mengapa justru (semuanya) potret yang bertampak sangat buruk dan tidak menggugah selera sama sekali. Potret yang banal.
Melihat marunnya kenyataan sosial agama (Islam) yang tak seindah santiaji teks yang dijanjikannya, dan setelah melewati tahun-tahun pembuangan yang melelahkan jiwa-raga, Pram pun lalu bersalin ideologi ke “humanisme” (minus universal?). Di situ Pram menemukan segugusan nilai di mana manusia mendapat pengakuan dan penghargaan. Individu mendapatkan tempat yang sedikit lebih terhormat.
Dengan “humanisme”, Pram sesungguhnya tengah membangun “agama” barunya. Itulah PRAMIS. “Pramis” bukan menunjuk pada “para pengikut/pembaca Pram (yang fanatik)”, sebab Pram sendiri anti terhadap pemujaan idola. “Pramis” menunjuk pada sebangunan keyakinan Pram sendiri yang paling personal sebagai pengarang yang terus menampung kontradiksi tindakan antara individualisme dan gerak sosial dalam masyarakat.
Di satu sisi ia bertapa di altar kesunyian pribadinya dan “emoh” dengan segala macam di selingkungannya. Namun di sisi lain, pesan-pesan yang nyembul dari karya-karyanya selalu menyerukan solidaritas kemanusiaan. Bahwa martabat manusialah—dan bukan kekuasaan—yang mestinya menjadi kanun hidup.
Macam kontradiksi itu sudah dikatakan sendiri oleh Pram dalam sebarisan pengakuannya: “Setiap pengarang yang kreatif hampir selalu seorang individualis, berwawasan mandiri, sulit untuk dapat menyesuaikan diri dengan orang lain, keadaan lain, apalagi bila sama sekali baru. Seorang individualis hanya mendengarkan apa yang menurut pikirannya sendiri lebih tepat atau lebih baik, tanpa atau kurang mengindahkan yang selebihnya… Kebiasaan kerja ini menimbulkan watak individualis, banyak kali melupakan atau tidak menggubris lingkungannya dengan tatatertibnya. Watak individualisnya menyebabkan ia tidak disukai oleh lingkungannya, apalagi oleh orang-orang yang mengutamakan tatatertib. Sebaliknya kemashurannya menyebabkan ia dikagumi. Ia hidup dalam dua ekstremitas di dalam masyarakatnya sendiri. Setidak-tidaknya: di Indonesia.” (NSSB: 115-116)
Dari kredo itu jelas, Pram bukanlah seorang ateis atau seorang komunis; walaupun ia sangat kritis terhadap agama (baca: pandir-pandir beriman). Kalaupun ideologi komunis yang sering dituduhkan pandir beriman itu kepadanya menang dalam sejarah Indonesia, mungkin Pramoedya-lah saf pertama yang akan diseret ke bui lantaran semangat individualisme dan independensinya yang kerap tak bisa ditawar.
Pramoedya juga bukan seorang teis, kalau teis kita artikan dalam pengertian ekstrinsik, yakni orang yang taat beragama lengkap dengan segala asesorinya tapi khilaf bahwa agama juga memiliki ruh pembebasan dan pembelaan kepada kaum mustad’afin. Walaupun kita tahu bahwa Pram juga seorang muslim sebagaimana muslim umumnya.
Lalu siapa dan apa basis keyakinan Pram?
“Ideologi saya adalah PRAMIS.”
Tegasan Pramoedya itu menjadi semacam ringkasan dari pungkas ikhtiarnya dalam menapaki lorong panjang pencarian makna kemanusiaan hingga tutup hayat.
Senin, 20 April 2009
Agama Pramoedya Ananta Toer: Ateis, Teis, atau Pramis
Diposting oleh [I:BOEKOE] di 19.05
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
:: Awal :: Kliping :: Esai :: Resensi :: Tips :: Tokoh :: Perpustakaan :: Penerbit :: Suplemen Khusus :: Buku Baru :: Undang-Undang ::
4 komentar:
ulasan yang bagus , menambah wawasan tentang penulis besar PAT.,
sbetlnya smua mahkluk hidup ini boneka,tentunya qt harus meyakini dalang yg mainkan smua mahkluk menurut keyakinan masing2, yg pasti kbenaran adalah tujuan hidup, biar smua baik2 saja.
Posting Komentar