Oleh Muhidin M. Dahlan
“Banyak orang yang cerdas! Banyak orang yang pandai! Tapi kecerdasan dan kepandaiannya itu hanya diperuntukkan untuk tujuan yang keji-keji belaka. Itu banyak terjadi, dan engkau tak boleh memasukkan dirimu ke dalam golongan orang yang seperti itu.” (Pramoedya Ananta Toer)
Pendidikan adalah segala-galanya bila ingin maju. Maju harkat pribadinya, maju nasionnya, maju peradabannya. Itulah satu dari banyak hal yang diangankan Pramoedya Ananta Toer kalau kita membaca secara seksama beberapa novelnya, terutama sekali roman Kwartet Buru.
Protagonis dalam kwartet tersebut, Minke dan Nyai Ontosoroh, mampu menyulih kepandiran dan kegagapannya sebagai pribumi berjiwa tengik dan korban pengoplosan martabat, berkat tingkat melek pendidikan yang dicerap. Tak peduli apakah pendidikan itu berlangsung dalam proses formal (Minke—HBS) maupun nonformal (Nyai Ontosoroh—kursus pembukuan dan administrasi perusahaan susu dan ternak dan penyerapan buku-buku bacaan Eropa dari lakinya yang totok bernama Herman Mallema).
Di awal abad, lewat novel Burunya, Pram mengangankan bahwa kemajuan bisa dicapai jika unsur mitos yang mencandra akal dan feodalisme yang membungkam rasio bisa ditusuk tumpas dengan pendidikan. Sebab kedua paham itu menghalangi seorang manusia untuk merebut martabatnya sebagai manusia yang maju dan merdeka karena dipaksa oleh sebuah hierarki yang dibentuk oleh sistem feodalisme raja-raja. Karena itu, walaupun Pram orang Jawa totok, ia menolak kejawaannya itu dengan tegas. “Aku bukan Jawa dan ogah berbahasa Jawa. Aku orang Indonesia.”
Sebuah adegan ketegangan pendidikan dan feodalisme diperlihatkan Pram dalam salah satu paragraf di Bumi Manusia: “Aku mengangkat sembah sebagaimana aku lihat dilakukan punggawa terhadap terhadap kakekku dan nenekku dan orangtuaku. Dalam mengangkat sembah serasa hilang seluruh ilmu dan pengetahuan yang kupelajari tahun demi tahun belakangan ini. Hilang indahnya dunia sebagaimana dijanjikan oleh kemajuan ilmu.... Sembah—pengagungan pada leluhur dan pembesar melalui perendahan dan penghinaan diri sampai sedatar tanah kalau mungkin! Uh, anak-cucuku tak kurelakan menjalani kehinaan ini.”
Karena tak rela menjalani kehinaan, maka Pram mengangankan bahwa semua pribumi kelak bisa mengecap pendidikan yang tinggi. Walaupun kita tahu Pram tak sanggup menjejaki angan-angan itu.
Ia hanya lulusan SMP kelas 2 di Surabaya sebab sekolah keburu bubar karena serangan balatentara Jepang. Lalu di Jakarta pada usia 17 atau 20 tahun, sembari bekerja di kantor berita Jepang, Domei, Pram coba mendaftar ikut kuliah filsafat dan sosiologi di Sekolah Tinggi Islam yang diasuh Dr Rasjidi dengan bayaran duapuluh lima rupiah hasil dari menjual kemeja kaos putih dan biru muda yang baru dua kali dikenakannya.
Tapi hasilnya nihil. Dan ia pun mengembara mencari pengetahuan dari buku-buku dan dari klipingan koran dengan cara otodidak, lalu himpunan data-data itu menjelma menjadi karya-karya besar lagi terpuji dan mengukuhkan namanya menjadi sastrawan dunia.
“Walaupun seorang yang nggak tamat SMP, saya ini doktor lulusan Amerika, hehehehehe,” ujar Pram bangga.
Tapi bagaimana dengan sekarang? Dalam beberapa kali kesempatan, Pram sungguh prihatin dengan tergusurnya pendidikan yang mengajarkan watak yang mandiri, kuat, dan cerdas, menjadi pendidikan yang terkomersialisasikan. Alih-alih ingin menggapai kualitas pendidikan yang baik dengan harga terjangkau, para pelaku di dunia pendidikan kita lebih sibuk dan berpeluh menaikkan ongkos daripada menaikkan kualitas pendidikan.
Walhasil, watak yang dihasilkan dalam dinding-dinding kelas sekolah tak lebih dari watak manusia-manusia lama yang masih berada di alam agraris dan feodal. Watak ingin menjadi pegawai negeri, ambtenaar, menjadi birokrat. Ada banyak alasan mengapa profesi ini menjadi cita-cita, walaupun gajinya relatif kecil. Salah satunya adalah status pegawai negeri menjanjikan jaminan kepastian hidup dan masa depan.
Pendidikan kita, diakui atau tidak, selama ini memang tidak serius mencetak manusia-manusia yang berjiwa berdikari dan mampu merintis sebuah kerja mandiri dan tak harus menjadi budak bagi orang lain atau menjadi manusia kuli. Pendidikan kita seakan menjangkar dan memerluas kesadaran serta meluapkan keinginan bahwa kelak bila lulus nanti akan menjadi pegawai negeri. Paling tidak menjadi pelamar pekerjaan dengan menenteng ijazah ke sana kemari dan mengantri panjang untuk mengambil formulir kartu kuning di Depnaker ketika bursa kerja di buka secara massal.
Para praktisi pendidikan barangkali menolak asumsi bahwa pendidikan menjadi terdakwa dalam hal ini. Namun kenyataan berbicara jujur bahwa sistem pendidikan kita tak merangsang manusia untuk berkarya dan mandiri, melainkan mencetaknya sebagai manusia benalu dalam masyarakat. Buktinya, setiap tahun meruyak sebarisan panjang angka pengangguran sarjana yang kemudian menginspirasikan Iwan Fals menciptakan lagu “Sarjana Muda” yang liriknya menggelitik itu: “Engkau sarjana muda resah tak dapat kerja/ tak berguna ijazahmu/ empat tahun lamanya bergelut dengan buku/ sia-sia semuanya....”
Saya teringat kepada kisah dituturkan Basuki Resobowo (1916-1999) dalam buku esai terbarunya yang diterbitkan setelah empat tahun meninggal dan mungkin buku satu-satunya di dunia, Bercermin di Muka Kaca (Ombak, 2004). Basuki adalah salah seorang pelukis yang juga termasuk barisan pertama di balik lahirnya Lekra. Saat itu Bung Bas, begitu ia kerap disapa, bersama Soedjojono ngelmu di Taman Siswa yang diasuh sendiri oleh Ki Hajar Dewantara. Lima tahun kuliah, selain disebabkan oleh hidup bohemian Basuki, pada akhirnya batas waktu menempuh pelajarannya dihentikan oleh Ki Hajar.
“Sudah cukup, kau boleh keluar dari sini (Taman Siswa-red). Kau berbakat ke luar negeri. Seperti Rusli.… Di sini tidak ada ijazah. Saya mendirikan sekolah ini untuk membangun watak. Tidak untuk membagi-bagi ijazah. Tapi kalau kau mau surat keterangan tamat belajar, sana ambil sendiri di kantor….”
Dan memang agak musykil kita temukan di tengah luberan jumlah lembaga-lembaga pendidikan saat ini yang bekerja membangun watak manusia Indonesia seperti Taman Siswa-nya Ki Hajar itu. Kebanyakan yang ada sekadar mengobral janji dan sangat royal memberi ijazah. Asalkan ada sejumlah uang, sehari pun ijazah jadi dan titel pun mendekeng dengan mentereng di depan atau di belakang nama.
Maka dari itu, bila penuntasan kasus korupsi dan penyelewengan sangat sulit untuk diberantas, adalah sesuatu yang tak diherankan. Rendahnya usaha itu bukan hanya terkait dengan begitu rumitnya jaringan korupsi itu. Tak hanya terkait dengan aparat hukum dan negara yang memang memble dan tak becus. Akan tetapi juga terkait dengan soal kesadaran. Dan kesadaran itu adalah kesadaran hidup menjadi ambtenaar di republik yang sudah sesak dengan pegawai negeri ini (jumlah pegawai negeri sampai saat ini sangat gigantik melebihi negara mana pun: 8 juta orang. Wuihhh).
Berkatalah Pram pada Desember 2004 di Yogyakarta dalam sebuah konferensi pendidikan Asian South Pacific Bureau of Adult Education (ASBAE) yang dihadiri ornop se-Asia Tenggara dan Selatan, “Keinginan menjadi pegawai negeri adalah salah satu faktor kenapa korupsi mustahil diberantas. Di birokrasi itulah korupsi merajalela. Orang suci pun bisa jadi korup di sana. Dan pegawai negeri sudah bertumpuk-tumpukan. Pendidikan yang membentuk itu semua.”
Pram sepertinya ingin mengatakan untuk stop bercita-cita jadi pegawai negeri, menjadi ambtenaar. Stop pula atas kekaguman yang berlebih kepada orang-orang bertitel sepanjang sepur. “Banyak orang yang jadi dokter atau meester, hanya karena orangtuanya mampu membiayai, atau dia diongkosi oleh orang lain. Itu tak mengagumkan. Hanya orang yang kuasa mengangkat dirinya sendiri jadi dokter, atau meester, atau insinyur, dengan tenaga dan kekuatannya sendiri, itulah yang patut mendapat pujian. Itulah tandanya orang yang betul-betul punya kemauan, tandanya orang yang betul-betul mempergunakan kecerdasan, kekuatan, dan kepandaian yang dimilikinya…. Tak boleh engkau lupa bahwa titel akademi itu bukan tujuan manusia. Bukan, dan sama sekali bukan. Dia hanya alat belaka. Alat belaka, tak ubahnya dengan pisau, atau mobil, atau pacul—alat untuk menggampangkan orang dalam mencapai cita-citanya. Sekiranya engkau—anak rakyat jembel yang hidup di gubuk, makan tak ketentuan—bisa mendapat titel akademi, bukankah itu suatu kehebatan!” tulis Pram dalam Keluarga Gerilya (Cet 2, 2005: 320-321).
Andai kita masih percaya pada lembaga pendidikan, maka yang mesti dilakukan adalah mendorong lembaga-lembaga tersebut untuk membekali diri dengan kekuatan mendidik orang-orang dalam asupan pengetahuannya untuk menjadi manusia berwatak, mandiri, mau bekerja keras, serta memupuk daya saing dalam praktik bermasyarakat. Dan semua watak itu sulit kita dapatkan dalam mental orang-orang yang sedari dini bercita-cita jadi kaum ambtenaar, yang pemalas, miskin kreativitas, dan kerjanya rebutan proyek.
Senin, 20 April 2009
Pram, Sarjana Benalu, dan Repoeblik Kaoem Ambtenaar
Diposting oleh [I:BOEKOE] di 19.03
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
:: Awal :: Kliping :: Esai :: Resensi :: Tips :: Tokoh :: Perpustakaan :: Penerbit :: Suplemen Khusus :: Buku Baru :: Undang-Undang ::
Tidak ada komentar:
Posting Komentar