Senin, 20 April 2009

Anak Semua Bangsa, Bukan (Hanya) Anak Indonesia

Oleh Dani Wicaksono

Seumpama sastra Indonesia sebuah monumen, maka Pramoedya Ananta Toer adalah puncaknya. Puncak yang berkilau-kilau, sekaligus sunyi.

Tanpa bermaksud mengerdilkan arti pengarang dan aktivis sastra seluruh angkatan, barangkali hanya Pram, sementara ini, yang benar-benar mampu menegaskan dan memperjuangkan esensi humanisme: kebebasan mengada dan kebebasan berekspresi. Meskipun demi cita-cita itu ia harus mengorbankan kemerdekaannya sebagai seorang pribadi.

Pramoedya dan Indonesia

Barangkali inilah pergulatan paling perih, dan paling bermakna antara Pram dan tanah tumpah darahnya. Sebuah pertalian yang paradoksal.

Dengan mata nan tajam, Pram melihat sejarah Indonesia sebagai senarai kekecewaan. Tiga ratus lima puluh tahun Indonesia dijajah oleh Belanda. Tiga setengah tahun kemudian, Indonesia diperas hingga tuntas oleh Jepang. Sementara, selama dan sesudah itu, Indonesia dikungkung oleh feodalisme ala Jawa.

Revolusi memang telah berhasil membuahkan kemerdekaan yang bertanggal 17 Agustus 1945. Namun, makna revolusi sebagai perubahan tatanan masyarakat tidak tercapai dengan sempurna. “Tidak terjadi. Masyarakat masih ‘duduk,’” demikian kata Harry Aveling dalam sebuah perbincangan.

Masyarakat belum juga sadar bahwa Indonesia masih jauh dari sebutan adil, makmur, dan sejahtera, dan malah tenggelam dalam otoritarianisme pemerintahan Soeharto selama 32 tahun. Bangsa ini melarat dalam kekayaan sumber dayanya, terpuruk dalam kebesarannya, dan ditindas oleh pemimpinnya sendiri.

Sesuatu harus dilakukan, mesti diperjuangkan.

Pram iba melihat masyarakat Indonesia pada umumnya yang hanya tahu makan tanpa mampu menanam, hanya mengerti konsumsi tanpa bisa berproduksi. Amarahnya berkobar menyaksikan merajalelanya korupsi, hancurnya kebudayaan, dan amnesia sejarah merajalela di negeri ini.

Karena merasa diri hanya tahu soal pena dan kertas, Pramoedya mengambil peranannya sebagai orang yang harus membuka gerbang kesadaran bangsa, sebagai agen yang wajib mengenali dan membentuk watak bangsa. “Gagasan perjuangan untuk melahirkan bangsa Indonesia diawali oleh mereka (kaum intelektual) dengan kesadaran akan komitmennya terhadap bangsanya, dengan kejelian dan kepiawaiannya mengenali perangai bangsanya,” tulis Pramoedya dalam Sikap dan Peranan Kaum Intelektual di Dunia Ketiga (1987). Berkali-kali pula ia menyerukan bahwa penulis adalah kaum intelektual yang turut mengemban amanah politis untuk memperbaiki tatanan kehidupan masyarakatnya, sekaligus mencerdaskan bangsanya.

Sebagai pengarang, tugasnya adalah mencipta segala tulisan yang bernafaskan perjuangan. Pram membaktikan jalan kesusastraannya pada kemanusiaan Indonesia, dengan ketegasan batu karangnya yang tak kenal kompromi.

Seperti garis hidup seorang guru yang pernah ia lukiskan, Pram berkorban selama-lamanya demi tugas mahaberat yang ia pikul: membuka kebajikan dalam hati anak-anak bangsa.

Pram punya keyakinan bahwa hidup dan keyakinan atas hidup bukanlah kesia-siaan semata-mata. Baginya, hidup yang besar, yang bergerak, adalah hidup yang berjuang dan berkelahi. Dengan kata-katanya sendiri, “Menulis adalah adalah tantangan pribadi saya terhadap kediktatoran.” Kediktatoran dari kebodohan yang mengerdilkan bangsa, juga kediktatoran dari setiap rezim yang memenjarakan kebebasan.

Jasa Pram, terutama sekali, terletak di sini. Ia menjelma menjadi sesosok intelektual—yang pikiran dan ucapannya didengarkan dan dihormati oleh orang-orang sezaman maupun setelahnya—yang benar-benar menciptakan sebuah proyek ideal tentang Indonesia. Pramoedya mengajak, lewat sastra, semua pihak yang mendambakan gilang-gemilangnya masa kemerdekaan untuk bekerja bahu-membahu menciptakan Indonesia yang makmur, adil, sejahtera, dan demokratis.

Dan ia diganjar dengan ‘anugerah’ yang lebih dari sepantasnya oleh pemerintah: dijebloskan di Bukit Duri (1947-1949) oleh “sisa-sisa” pemerintah Belanda, dan dipenjarakan (sekitar 1963) pada masa Sukarno, lantas dikurung di Pulau Buru (1965-1979) tanpa proses peradilan pada masa Soeharto.

Sewaktu pemerintahan Megawati Soekarno Putri, ziarawan Taufik Rahzen dan budayawan Mudji Sutrisno mengusulkan Pram mendapatkan anugerah Bintang Mahaputra atas jasa-jasanya membangun bangsa dengan karya-karyanya. Tapi entah bagaimana ceritanya, usul itu menguap. Dan tahu-tahu yang keluar sebagai penerima adalah Mochtar Lubis.

Pramoedya dan Dunia

“Pramoedya ist ein Begriff,” kata Prof. Irene Hilgers-Hesse, Ketua Jurusan Melayu di Universitas Koeln, Jerman, pada tahun 1980, yang dikemukakan ulang oleh Ignas Kleden lewat Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan. Pramoedya bukan sekadar nama, tetapi sebuah pengertian, bahkan sebuah konsepsi.

Ia, dalam dirinya sendiri, adalah puncak dari sebongkah monumen batu yang tegak menjulang, yang terlampau kokoh untuk dihempaskan, bahkan oleh badai kekuasaan sekalipun. Ia, meminjam ungkapan Kleden, adalah suatu power differential yang menolak tunduk di hadapan gemuruh mesin-mesin otoritarianisme.

Pram adalah perlambang paling referensial dari perjuangan emansipasi kemanusiaan di Indonesia, sekaligus menjadi penjelmaan dari perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai tempat yang setara di antara bangsa-bangsa di dunia.

Jikalau Herriet Beecher Stowe dengan Uncle Tom’s Cabin-nya menggelorakan perang saudara di Amerika Serikat untuk menentang perbudakan, dan Aleksander Solzhenitsyn dengan The Gulag Archipelago-nya melukiskan kejamnya Rusia di bawah pemerintahan Stalin pada masa-masa pasca-Revolusi Bolshevik, maka Pramoedya Ananta Toer, seturut A. Teeuw, mencitrakan segala tahap perjuangan rakyat Indonesia, di garis depan, di medan perang, di gerilya kota Jakarta, dalam penjara penjajah, di masa pasca revolusi, segala bentuk penderitaan dan pengorbanan rakyat, segala keagungan dan kemelaratan rakyat.

Karya-karyanya yang sarat dengan muatan perjuangan bukanlah sejenis karya yang cukup dimiliki dan dipajang di rak buku di pojokan ruang tamu sebagai bahan pameran bacaan. Kesatuan dan keutuhan karya-karya Pram telah menjadi laksana blue print dari upaya penciptaan Indonesia dan manusia Indonesia yang ideal.

Dedikasinya yang mendalam pada manusia dan kemanusiaan itulah yang menghubungkan karier kepengarangan Pram dengan dunia internasional. “Ya, Adikku, kemanusian kadang menghubungkan seorang dari Kutub Utara dan seorang dari Kutub Selatan,” tulis Pram dalam Bukan Pasar Malam.

Benar, masyarakat dari Kutub Utara hingga Kutub Selatan mengenal puncak monumen itu sebagai orang yang tak pernah bungkam melawan segala kesewenang-wenangan. Di mata hati banyak orang, perjuangan Minke adalah perjuangan dunia melawan gelombang pasang sejarah ketidakadilan dan penindasan. Nasib buruk si Gadis Pantai adalah perlakuan umum yang diterima kebanyakan perempuan sedunia.

Dengan demikian, Pram telah menunjukkan jati diri dan arah kesusastraan Indonesia pada zamannya, dan menegaskan fungsi pengarang pada masyarakatnya. Pram berhasil mengukuhkan Realisme Sosialis dengan hakikatnya bahwa sastra, dan pengarangnya tentu saja, merupakan agen perubahan, dan harus mengabdi kepada kemanusiaan.

Dengan semua inilah Pram menempatkan diri secara tepat dalam tata kehidupan dunia, sekaligus diperhitungkan sebagai salah satu pusatnya yang mencengangkan.

Dunia menyanjung Pramoedya sama tinggi dengan penulis-penulis dunia, sejajar dengan Chinua Achebe (Nigeria), Umberto Eco (Italia), Carlos Fuentes (Mexico), atau Milan Kundera (Czechoslovakia) dan pendekar-pendekar sastra lainnya. Dunia mengakui Pram sebagai bagian terpenting dari peradaban sastranya.

“Seperti Aleksander Solzhenitsyn di Russia, Gunter Grass di Jerman, dan Yukio Mishima di Jepang, kau akan tahu Indonesia melaluinya. Bersanding dengan para penulis itulah saya mendudukkan Pramoedya,” ucap John McGlynn, orang Amerika yang menerjemahkan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu ke dalam bahasa Inggris (The Mute's Soliloquy, 1999).

Dunia pun seakan berlomba untuk memberinya penghargaan.

Ada paling tidak 12 penghargaan bergengsi berkelas internasional semisal Freedom to Write Award dari PEN Amerika (1988), dan Ramon Magsaysay Award dari Filipina (1995) disematkan kepada Pramoedya Ananta Toer. Umumnya, semua plakat itu menyatakan penghormatan terhadap ia yang dinilai brilian menonjolkan kebangkitan dan pengalaman modern rakyat Indonesia, kebebasan berekspresi, dan perjuangan tak kenal henti demi tegaknya demokrasi.

Ada paling tidak 8 negara berbeda dari mana penghargaan-penghargaan itu bersumber. Lima dari AS, dan masing-masing satu dari Belanda, UNESCO di Perancis, Jepang, Norwegia, dan Chili. Seolah-olah belum cukup, lebih dari lima kali (1981, 1986, 1995, hingga 2005, dan 2006) Pram dikabarkan masuk dalam daftar calon peraih Nobel Sastra.

Citra Indonesia di luar negeri sebagai pemerintahan militeristik yang menindas dan otoriter serta-merta membaik—sekalipun enggan diakui—oleh pencapaian Pramoedya.
Apa yang dunia berikan kepada dirinya seolah-olah menggenapi omongan Pram sendiri dalam Menggelinding I: harum mewanginya nama pengarang ditentukan oleh hasil penanya.

Dan hasil penanya tersebut membuatnya menjadi orang yang paling berpengaruh di Asia (Asian Heroes, selain Iwan Fals dari Indonesia) versi majalah Time pada 2002. Harum wangi karyanya mentahbiskan sang penulis sebagai bagian dari 100 intelektual terkemuka dunia 2005 versi Prospect, sebuah majalah dari Inggris.

Indonesia seharusnya malu kepada dirinya sendiri. Kementerian Kebudayaan dan Komunikasi Perancis—negeri yang memuliakan humanisme—menganugerahkan Chevalier de l’Ordre des Arts et des Letters (1999) kepada Pramoedya. Sementara, di sini, di tanah airnya sendiri, karya-karya Pram dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung.

Padahal, karya-karya Pramoedya diterjemahkan ke dalam lebih dari 43 bahasa di seluruh dunia (yang paling banyak adalah Bumi Manusia). Ini merupakan prestasi yang sulit dicapai oleh sastrawan nusantara, dan bahkan dunia. Karya-karyanya demikian luas dibaca di luar negeri, dan bahkan dimasukkan sebagai bagian dari silabus pendidikan sastra untuk sekolah-sekolah menengah di beberapa negara seperti Malaysia.

Pada titik ini, dunia seolah turut memiliki Pram, dan memandang Indonesia dari sisinya yang paling baik. Indonesia dikenang dan dihormati.

Diakui maupun tidak, Pram dengan karya-karyanya mampu mengubah imaji buruk rupa tentang Indonesia: bahwa Indonesia tidak hanya terkenal karena pelanggaran HAM-nya, tetapi juga karena prestasi dari orang-orang yang dirampas haknya itu.

Anak Semua Bangsa

Tidak berlebihan bila kemudian Pram diidentifikasikan sebagai Raden Mas Tirto atau Sinyo Minke sendiri. Segenap pencapaian, lanskap hidup, sampai garis perjuangannya menunjukkan kesamaan haluan dengan tokoh utama Tetralogi Buru itu.

Pantas kiranya ditegaskan pula bahwa kedudukan Pramoedya, oleh karenanya, adalah sebagai milik Indonesia dan sebagai harta pusaka dunia.

Maka, ketika ia dikabarkan meninggal, dunia terhenyak kehilangan. Berita ini menjadi headline di sejumlah surat kabar terkemuka dunia, ditulis oleh lebih dari 38 media internasional di internet, dari Arab hingga Afrika, dari Eropa sampai Amerika, juga Australia.

Ia yang dijuluki oleh Ong Sor Fern di Straits Times (8 Mei 2000) sebagai Indonesia's grand old man of letters pada akhirnya kalah pula. Bukan oleh Orde Baru yang ia benci setengah mati, tetapi oleh sebuah faktisitas yang tak tertolak oleh siapa pun manusia: kematian.

Betapapun sangat mendamba kebebasan, juga kemanusiaan, keadilan, dan kebenaran, serta bertarung demi cita-cita yang suci itu, anak kandung Revolusi Perancis ini akhirnya harus tunduk oleh maut. “Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”

Bung Pram, demikian ia minta disapa, pada akhirnya harus membaringkan tubuh renta yang sudah teramat lelah itu. Karet Bivak menjadi peristirahatan pamungkasnya setelah 81 tahun memahat konsepsi ideal tentang tanah airnya.

Namun ia tetap hidup dalam karya, dan menjadi ruh dari hidup itu sendiri. Langkah-langkahnya terjejak di Indonesia dan di seluruh benua. Hingga kapan pun, si Anak Semua Bangsa itu tak akan pernah terlupa.

* Dani Wicaksono, Wartawan Olahraga Harian Jurnal Nasional. Kontributor Indonesia Buku.

Tidak ada komentar: