Senin, 20 April 2009

Pramoedya Ananta Toer sebagai Kurir Sastra Dunia

Oleh Anton Kurnia

De plicht van een mens is mens te zijn—
Tugas manusia adalah menjadi manusia.
Multatuli)

Bisa jadi banyak karya para sastrawan dunia tak akan pernah dapat dinikmati oleh sebagian besar khalayak kita jika tak ada para penerjemah yang rela bersusah payah menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Dalam hal ini, andil para penerjemah sangat besar.

Pushkin, sastrawan ternama Rusia itu, suatu kali mengibaratkan para penerjemah sebagai “kurir sastra.” Pujian paling tinggi untuk para penerjemah mungkin diucapkan oleh pemenang Hadiah Nobel Sastra 1998 dari Portugal yang juga seorang penerjemah produktif, José Saramago. Bekas anggota Partai Komunis Portugal yang kerap berurusan dengan penguasa ini mengatakan bahwa para pengarang hanyalah menulis karya sastra dalam bahasa ibunya, tetapi sesungguhnya sastra dunia adalah ciptaan para penerjemah. Karya terjemahan adalah jembatan untuk menggali khazanah sastra dunia dan memahami budaya bangsa lain tanpa terhalang perbedaan bahasa.

Pramoedya Ananta Toer (1925-2006), sastrawan paling terkemuka kita yang dikenal luas dunia dan karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam sekitar 40 bahasa asing, di awal karirnya juga merupakan seorang penerjemah andal yang amat produktif.

Memanfaatkan sejumlah bahasa asing yang dikuasainya, antara lain bahasa Belanda dan Inggris, pada sekitar tahun 1950-an ia banyak menerjemahkan berbagai karya sastra dunia, di antaranya Tikus dan Manusia (novel John Steinbeck, 1950), Kembali pada Cinta Kasihmu (novel Leo Tolstoy, 1950), Perjalanan Ziarah yang Aneh (novel Leo Tolstoy, 1954), Kisah Seorang Prajurit Sovyet (novel Mikhail Sholokov, 1954), Ibunda (novel Maxim Gorky, 1956), Asmara dari Rusia (novel Alexander Kuprin, 1959), Manusia Sejati (novel Boris Polewoi, 1959) dan Dewi Uban (lakon He Tjing-Ce dan Ting Ji).
Sekitar setengah abad kemudian, beberapa karya terjemahan Pramoedya itu diterbitkan kembali. Ibunda (Maxim Gorky) diterbitkan ulang oleh Kalyanamitra pada 2000, sedangkan Tikus dan Manusia (John Steinbeck), Kembali pada Cinta Kasihmu (Leo Tolstoy) dan Dewi Uban (lakon He Tjing-Ce dan Ting Ji) diterbitkan kembali pada 2003 oleh penerbit yang didirikan oleh Pramoedya sendiri, Lentera Dipantara.

Dalm sebuah tulisan tentang proses kreatifnya, Pramoedya mengaku mula pertama menerjemahkan adalah saat ia ditawan Belanda antara tahun 1947-1949 di penjara Bukitduri, Jatinegara. Pramoedya yang pernah menjadi letnan TNI pada masa revolusi dipenjarakan gara-gara kedapatan membawa pamflet perlawanan terhadap aksi militer Belanda.

Saat itu usianya masih muda sekali, di awal likuran. Untuk mengisi waktu, di tengah segala keterbatasan seorang “manusia bubu”, ia belajar menulis dengan cara menerjemahkan karya penulis Amerika Serikat peraih Hadiah Nobel Sastra 1962, John Steinbeck, Of Mice and Men (1937), langsung dari edisi bahasa Inggrisnya yang berhasil ia bawa serta dalam tahanan.

Seperti halnya Pramoedya, John Steinbeck (1902-1968) dikenal dunia sebagai seorang pengarang humanis yang setia mengungkap persoalan-persoalan getir manusia dalam karya-karyanya.

Dalam novel pendek Of Mice and Men yang diterjemahkan Pramoedya menjadi Tikus dan Manusia, John Steinbeck berkisah tentang persahabatan dua manusia gembel: George dan Lennie—sesosok lelaki bertubuh raksasa, tetapi dengan kapasitas otak seorang bocah.

Layaknya manusia-manusia lain yang terserak di muka bumi dengan kesunyian masing-masing, mereka pun punya mimpi tentang masa depan yang indah. Jalan hidup membawa keduanya mengadu nasib di sebuah peternakan. Namun, malang tak dapat ditolak, di sana mereka menemui bencana: Lennie tanpa sengaja membunuh istri majikannya, seorang bekas pelacur yang bertabiat genit. Angan-angan dan rencana masa depan seorang anak manusia pun porak-poranda oleh sebab-sebab yang terjadi di luar kontrolnya.

Saat menerjemahkan novel itu, Pramoedya sekaligus mempelajari dan mencerna teknik penulisan Steinbeck, untuk kemudian ia gunakan bagi perkembangan kemampuan menulisnya sendiri. Pramoedya mengakui secara terbuka bahwa ia banyak belajar dari John Steinbeck dengan cara ini. “Teknik yang dihadiahkan Steinbeck padaku tampaknya akan menjadi milik tetap... Steinbeck menderetkan kata-kata sederhana bermuatan padat, kalimat-kalimat apik dan utuh,” tulisnya suatu kali.

Novel Ibunda karya Maxim Gorky (1868-1936), sastrawan terkemuka Rusia pengobar realisme sosialis, diterjemahkan Pramoedya dari edisi bahasa Belanda, Maatje, tak berapa lama setelah ia menikah untuk kedua kali, dengan Maemunah Thamrin—istri yang setia menemaninya hingga akhir hayatnya. Novel ini dikenal sebagai adikarya dalam genre realisme sosialis dan pada masanya sempat menjadi pengobar semangat kaum buruh tertindas di Rusia untuk ambil bagian dalam revolusi pada akhir masa kekuasaan Tsar di awal abad kedua puluh. Pramoedya mengagumi Maxim Gorky dan banyak belajar dari karya-karyanya.

Dalam sebuah wawancara khusus dengan André Vltchek dan Rossie Indira yang diterbitkan dalam buku Saya Terbakar Amarah Sendirian! (2006), Pramoedya kembali mengakui pengaruh John Steinbeck dan Maxim Gorky terhadap karya-karyanya. Bukan kebetulan ia menerjemahkan novel-novel terkemuka karya kedua sastrawan besar dunia itu.

Lebih lanjut ia mengemukakan alasannya, “Saya suka realisme sosialis, karena itu suatu realisme yang berhubungan dengan masalah tanggung jawab sosial.” Pada sebuah kesempatan, Pramoedya pernah menulis bahwa baginya keindahan itu terletak pada kemanusiaan, yaitu perjuangan untuk kemanusiaan, pembebasan terhadap penindasan. Jadi keindahan itu terletak pada kemurnian kemanusiaan, bukan dalam mengutak-atik bahasa.

Sementara itu, Dewi Uban merupakan lakon karya dua pengarang Cina, He Tjing-Ce dan Ting Ji. Lakon ini mengisahkan sebuah perlawanan kolektif terhadap penindasan, sebuah kisah yang konon diangkat dari kejadian faktual-historis yang kemudian menjadi setengah legenda di daratan Cina. Lewat kisah Dewi Uban, para penindas, kaum kapitalis tamak yang suka menipu, para pencoleng tak tahu malu yang menimbun kekayaan dari keringat dan kerja keras orang lain, ditelanjangi dan dihinakan.

Sebaliknya, mereka yang berani melawan dan setia menegakkan kebenaran pada akhirnya akan menemui kemuliaan. Karya ini mengingatkan kita pada nilai-nilai kemanusiaan bahwa penindasan dan kebohongan tak akan mampu menghancurkan kebenaran. Bahwa kejahatan dan kebusukan pada akhirnya akan terbongkar dan menemui kehancurannya sendiri. Di tangan Pramoedya, kisah ini diterjemahkan dengan penuh penghayatan sehingga menggerakkan perasaan dan kehendak pembacanya untuk melawan angkara dan penindasan.

Karya-karya sastra utama dunia yang diterjemahkan Pramoedya bagi anak-anak bangsanya itu mencerminkan sikap dan keyakinannya dalam menulis. “Menulis buat saya adalah perlawanan. Di semua buku saya, saya selalu mengajak untuk melawan,” ujarnya suatu kali.

Sumbangan Pramoedya Ananta Toer bagi anak-anak bangsanya melalui harta karun sastra dunia yang ia terjemahkan dengan tekun amat besar manfaat dan maknanya. Melalui karya-karya terjemahan itu kita bisa belajar dan menarik manfaat dari adikarya para sastrawan terkemuka dunia.

Karya-karya beberapa penulis itu hingga kini—saat gairah menerbitkan buku dan menerjemahkan sastra dunia marak kembali—tak ada lagi yang menggarapnya, misalnya karya-karya Mikhail Sholokov (1905-1984), pemenang Hadiah Nobel Sastra 1965 dari Uni Soviet. Untuk itu, penting artinya menerbitkan kembali karya-karya terjemahan Pramoedya di masa lalu agar bisa dibaca oleh generasi terkini tanpa terhalang oleh kendala bahasa dan sekat waktu.

Saya pribadi menemukan karya terjemahan Pramoedya untuk pertama kali secara tak sengaja di sebuah toko buku kecil di kawasan Palasari, Bandung, milik Pak Panjang (disebut demikian karena ia berasal dari Padangpanjang, Sumatera Barat) pada sekitar 1996.

Saat itu, di zaman yang masih penuh kekangan dan larangan, saya tengah mencari-cari otobiografi Tan Malaka yang sulit didapat, Dari Penjara ke Penjara. Tak dinyana Pak Panjang malah menawari saya sebuah buku agak tebal bersampul merah dengan halaman-halaman kertas yang telah agak menguning. Ibunda cetakan awal. Ditulis oleh Maxim Gorky, diterjemahkan Pramoedya Ananta Toer. Desainnya dikerjakan pelukis Lekra, Basuki Resobowo. Tanpa banyak pikir saya membeli buku itu dengan harga sepuluh ribu perak. Buku itu kemudian laris berpindah dari tangan ke tangan di antara teman-teman sesama aktivis mahasiswa, mengembara dari satu kamar kos ke kamar kos lain di sebuah asrama mahasiswa di kawasan Cisitu, Bandung. Beberapa kawan mengaku tergerak semangatnya dan tergugah kesadarannya oleh buku itu, termasuk beberapa orang yang sebelumnya hanya sibuk berkutat dengan buku-buku diktat dan laboratorium demi mengejar titel.

Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar kita, seorang pejuang gigih yang amat peduli pada bangsanya, telah pergi meninggalkan pusaka yang tak ternilai: buah pikiran dan karya-karyanya, termasuk karya-karya terjemahan. Selebihnya, berpulang pada kita untuk memaknai dan meneruskan perjuangannya, terutama kita angkatan muda—mereka yang selalu diharapkan Pramoedya sebagai pelopor perubahan, aktor revolusi total yang disebutnya sebagai jalan tunggal untuk menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran. Senada dengan sepotong sajak Chairil Anwar, penyair cemerlang yang seperti Pramoedya kini juga berumah di Karet, “Kami sekarang mayat. Berilah kami arti. Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian....”

* Anton Kurnia, penyunting tiga buku terjemahan Pramoedya Ananta Toer. Saat ini mengampuh buku-buku sastra di Penerbit Serambi Jakarta.



2 komentar:

Unknown mengatakan...

Bahasan yang cukup bagus mengenai Pramoedya, semoga banyak generasi yang mau mempelajari buku-bukunya dan terjemahannya..

Unknown mengatakan...

great ^^