Senin, 20 April 2009

Mata Pusaran: Yang Cacat, Yang Kembali

Oleh Muhidin M Dahlan

Dalam tahanan-alam Buru, Mata Pusaran lahir. Ia adalah trilogi kedua dari sekuel novel jatuh bangunnya kejayaan dan martabat Nusantara. Jika sekuel pertama Arok Dedes dan sekuel ketiga Arus Balik hidup tanpa cacat fisik, maka sekuel kedua Mata Pusaran lahir dengan kecacatan.

Ia tak hanya cacat, tapi juga pernah bertahun-tahun dinyatakan sebagai anak-ruhani Pram yang hilang tanpa harapan akan ditemukan kembali.

Dan kini si anak hilang itu telah ditemukan sekitar medio 1990 oleh seorang berkebangsaan Belanda di pasar buku loak Kwitang, Jakarta. Kisah Astuti Ananta Toer, kopi ketik Mata Pusaran bersama tujuh saudaranya yang lain disimpan oleh Kapten Heri di kesatuan Angkatan Laut yang kebetulan bertugas di Buru. Adapun master ketiknya dirampas Angkatan Darat dan sekarang lenyap. Tapi Kapten Heri pun tak bisa lolos dari teror. Keluarganya akan “diapa-apakan” jika tak segera menyerahkan delapan anak-ruhani Pram dalam waktu 1x24 jam.

Maka sesore itu, tutur Astuti Ananta Toer, mereka beramai-ramai mengopi naskah itu di beberapa fotokopi di kawasan Tugu Tani, Jakarta Pusat. Hingga pagi hari, hanya tujuh naskah yang selesai. Adapun Mata Pusaran “diikhlaskan” Pram dan keluarga lalu diambil kembali Kapten Heri untuk seterusnya pagi itu diserahkan ke pemerintah.
Hingga bertahun-tahun kemudian, anak yang terampas itu terdampar di Kwitang.

Tapi fisiknya sudah terlampau memprihatinkan dan kurus jika dibandingkan dua saudaranya yang lain yang jauh lebih gemuk. Bukan karena Pram malas menuliskannya, tapi Mata Pusaran terlalu lama tersiksa di jalanan kota jahanam dan hidup tanpa kasih dan perhatian orangtuanya karena direnggut paksa. Wajar kalau ia kembali dengan cacat bawaan yang abadi. Separuh tubuh halamannya hilang entah. Yang ada tinggal 130 halaman. Mulai dari halaman 232-362. Jadi, cerita awal dan akhir entah masih terselip di mana atau sudah terkubur mati dan tak bakal kembali.

Tapi dengan penuh kasih Pram lalu membedung anak-ruhani yang cacat tubuh itu dengan selapis selimut tebal. Dan siapa pun yang melihat motif kain bedungan anak cacat itu bakal tersenyum miris. Maklum, anak-ruhani yang hilang itu “hanya” bermantel pembungkus rokok Bentoel Royal Filter berwarna campuran kuning dan cokelat muda.

Di atas mantel sederhana itu kemudian tertulis judul dari coretan tangan: “II - Mata Pusaran”. Nama yang bertahun-tahun membikin penasaran ribuan pembaca karya Pram.
Tampangnya memang tak elegan sebagaiman buku-buku keluaran cetak mesin. Isinya masih ketik manual 1 spasi dengan kertas tipis seperti yang sering dipakai di kelurahan kalau lagi mengurus KTP atau surat pindah keluarga. Tapi ukurannya sudah seperti buku. Kertas kwarto dibagi dua, sebagaimana Pram selalu mengetik naskahnya. Header yang berisi judul buku dan nama pengarang serta nomor halaman pun sudah tertulis rapi di setiap halaman.

Karena naskah itu sudah berumur puluhan tahun, tinta ketikannya pun sudah aus dan kabur. Membacanya, mata mesti melotot awas di setiap baris ketikan dan perlu ekstrasabar untuk memamahnya.

Dalam Mata Pusaran “yang kembali” ini, hanya ada lima bab. Di mulai dari bab 10 sampai 14. Bab 10 bertitel “Arus dari Utara II” (232-262 hal), Bab 11: “Perang Lidah” (263-286 hal), Bab 12: “Bara Didalam Hati” (287-310 hal), Bab 13: “Arus dari Utara III” (311-336 hal), dan Bab 14: “Tuban” (337-362).

Memang tak sempurna dan tak laik untuk mengambil kesimpulan apa sejatinya isi novel ini. Lagi pula sebetulnya tak ada keterangan resmi bahwa novel ini kelanjutan dari Arok Dedes dan/atau novel sebelum Arus Balik selain di mantelnya tertulis: “II – Mata Pusaran”. Tapi dengan manuskrip yang cacat ini kita bisa merabai bahwa novel ini adalah sekuel kedua dengan mempertautkannya dengan urut-urutan periode sejarah Nusantara: Tumapel-Singasari (Arok Dedes), Majapahit (Mata Pusaran), dan Demak-Mataram (Arus Balik).

Dalam empat bab yang tersisa digambarkan saat-saat terakhir Majapahit meregang nyawa. Negeri yang berkuasa sangat luas bahkan sampai Burma itu harus megap-megap menahan serangan dari Utara hingga tumbang tak bersisa. Kalaupun tersisa, apa boleh buat, tinggal candi-candi yang hanya berguna untuk disembah-sembah sebagai bentuk pelarian dari kekerdilan diri yang terampas.

Dalam Arus Balik, Pram secara mengesankan berkisah bagaimana laut harus dikuasai jika ingin mengembalikan kejayaan. Sebagaimana dalam Arus Balik, maka di Mata Pusaran, Pram sudah terlihat sangat antusias membahas laut sebagai kekuatan utama menahan serangan Utara. Laut, laut, dan laut. Singasari bisa jaya dan mampu memukul armada Cina karena mampu menguasai laut. Bahkan membikin dua benteng laut yang kokoh yang kelak dinamai Dipantara. Laut, lain tidak. Laut kata kunci karena hanya dengan itu Majapahit bisa mempertahankan kejayaan leluhurnya.

Semangat itu bisa kita baca dengan jelas di lembar ketiga bab 10 Mata Pusaran, setelah Pram membinasakan tokoh Indung Mangil sang Penyihir oleh Saetu; karena irasionalitas memang harus ditumbangkan dari dalam kalau ingin menghadapi rasionalitas yang dibawa Utara dari semua jurusan laut.

“Para prajawan tak mengerti, adakah negara akan bisa bangkit kembali setelah perang lima tahun belakangan ini. Kekuasaan laut Majapahit telah ambyar bersama dengan busa. Bajak dan perompak dalam rombongan kecil merajalela di seluruh pantai. Sedang bajak dan perompak besar bergabung dengan armada pengiring dari Utara.

“Keamanan laut yang tak menentu membikin perdagangan sendat. Sisa angkatan laut yang tak seberapa dengan Laksamana Suradi ditarik untuk mempertahankan Kerajaan Majapahit atas kepulauan rempah-rempah karena dengan hilangnya kekuasaan atasnya akan berarti matinya perjuangan, matinya Gresik, dan akan membikin Majapahit kembali jadi negeri pertanian seperti pada awal berdirinya.”

Dengan demikian, Mata Pusaran adalah tafsir lain dan segar dari sejarah akhir jatuhnya Majapahit dan berdirinya Kerajaan Islam Demak yang tak disangka-sangka justru Pram memilih pusat setting pergolakan di Tuban sebagaimana kita baca di Arus Balik. Jawaban memilih Tuban itu mungkin kita dapatkan andai Mata Pusaran dibaca utuh. Tapi melihat pada bab 14 yang bertitel “Tuban” sekilas bisa memberi arah bahwa Tuban memang sudah menjadi pertimbangan pergeseran kekuasaan. Paling tidak pertahanan terakhir, walau hanya secauk pasir kejayaan.

Andai bagian tubuh Mata Pusaran itu tak ada harapan bisa kembali, tampaknya tak ada salahnya bila manuskrip yang “apa adanya” ini bisa diterbitkan. Tentu pembaca bisa memaklumi kecacatannya yang heroik dan historik ini. Inilah buku yang secara fisik dan ruhaniah digencet dan disiksa habis-habisan, sebagaimana nasib kelam yang dialami penulisnya sendiri. Tapi yakinlah, buku tak pernah bisa dihabisi oleh kekuatan zalim apa pun. Bahkan, dalam kecacatan akut seperti itu, Mata Pusaran masih sanggup memberi sejumput pencerahan.

3 komentar:

roistiawan.blogspot.com mengatakan...

apa anda mempunyai salinan buku ini dalam bentuk ebbok,,kalau ada sudilah kiranya dibagi ya

tomi hunter mengatakan...

Memang dasar manusia manusia tak memiliki rasa kebudayaan. Tak tahu tentang seni dan sastra. Kehidupan hanya berdasarkan perintah demi perintah. Manusia manusia orba busuk

MOCHAMAD YANI mengatakan...

Nasibnya seperti "Gadis Pantai"...