Senin, 20 April 2009

Menulis, Olahraga, dan Senyum

Oleh Muhidin M Dahlan

“Wah Muk, kau akan tumbuh jadi sekuntum bunga, bunga aneh. Setengah orang akan mencintai dan setengahnya lagi akan membencimu.” --Saidah, Ibunda Pramoedya Ananta Toer.

Pram tak pernah menduga usianya bisa sangat panjang dan melampaui kepala delapan. Sebab ia pernah memprediksi usianya tak lebih dari 30 tahun. Apalagi, salah satu hero dalam hidupnya, Ibundanya, meninggal di usia muda karena TBC.

Karena itu, berkejaran dengan ancaman mati-muda Pram berkarya sekuat-kuat-kuatnya, sebisa-bisanya. Dan memang ia lolos dari usia itu dan tumbuh menjadi sekuntum bunga yang aneh. Ibunya berpesan: “Ingat-ingat selalu kata-kataku: jadi orang bebas, Muk, jadi tuan atas diri sendiri, allround, bisa segala, tidak jadi budak orang lain, juga tidak memperbudak.… Jangan sampai jadi beban orang lain. Juga jangan menerima beban tanpa guna.” (Lihat Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, LD (edisi revisi), 2005: 418)

Dan menulis adalah usaha Pram untuk mengamalkan nasehat itu, yakni menjadi manusia bebas. Dengan menulis ia tak menghamba kepada orang lain dan juga tak menindas sebab tak punya alat-alat kekuasaan dan sederetan serdadu. Pilihan itu memang berisiko. Ia harus rela tak dapat kedudukan apa pun dalam pemerintahan dan kemapanan ekonomi, kecuali kebebasan dan pengakuan.

Spirit itu kemudian menjadi air bah yang menghembalang saraf Pram untuk menulis, menulis, dan menulis. Dan ia tak punya modal kejeniusan yang patut dibanggakan. Barangkali satu-satunya yang ia punyai adalah kerja keras dan keinginan untuk belajar.

Bayangkan, ia dua kali tinggal di kelas empat SD. Dan di kelas tujuh, kelas terakhir Boedi Oetomo di Blora, ia tinggal lagi di kelas. Oleh ayahnya yang juga kepala sekolah ia dikatai begini: “Anak goblok! Kalau kau sedikit saja cerdik… kembali, ulangi di kelas tujuh.” Saat itu Pram menjadi “pendendam”.

Untuk melawan kutukan “anak goblok” itu ia bekerja habis-habisan dengan sepenuh-penuh ketekunan menulis. Hal itu seperti mengiyakan ucapan Umberto Eco (2003: 672) bahwa genius adalah satu persen inspirasi dan sembilan puluh sembilan persen perspirasi (peluh).

Tak sedikit yang mencemooh karyanya sebagai karya rongsokan, dikata-katai sebagai karya pitjisan, dan sebagainya, oleh kalangan sastrwan di selingkungannya (baca: Balai Pustaka). Tapi Pram seakan tak peduli dengan semua itu. Sebab bagi Pram faktor pertama untuk bisa menulis (yang baik) adalah menulis dan terus begitu.

Oleh ucapan Pram itu saya teringat wejangan novelis William Forester kepada murid sekaligus sahabatnya yang masih duduk di SMU, Jamal Wallace, dalam film Finding Forester. “Faktor pertama dalam menulis adalah menulis. Banyak sekali orang tahu aturan menulis, tapi tak tahu caranya menulis. Profesormu itu (Robert Cramford, profesor penulisan di kelas Jamal), karena gagal bersaing denganku menjadi penulis dan novelnya ditolak oleh penerbit, akhirnya banting stir mengajar bagaimana cara menulis. Lebih mudah mengajar menulis dari menulis senyatanya. Jadi, problem menulis adalah menulis itu sendiri.”

Menjadi penulis berarti dituntut untuk berkarya. Menulis. Betapapun sangat rendah mutu karya, Pram tak pernah mau berhenti dalam kutukan atas diri sendiri. Sebab Pram sadar bahwa menulis, sampai pada titik “menulis yang baik”, membutuhkan proses yang tak sebentar.

Dan itu tak mudah. Berliku dan berdarah-darah. Terkadang banyak yang tak mau tahu dengan proses panjang yang mendaki dan berliku ini. Disebabkan ketiadaan cadangan asa yang memadai, akhirnya tak sedikit yang terjatuh di tengah kubangan jalan yang menikung. Lalu berlari keluar dan menyingkir jauh-jauh dari jalan kepenulisan.

Dari mana Pram mendapatkan ruh dan bahan menulis yang seperti tak ada habis-habisnya itu? Sepengakuan Pram, selain meriset (baca: mengliping koran), bahan dasar dari setiap tulisannya berdasarkan ketajaman perasaan menangkap pengalaman. Mengutip nasehat Prof Wertheim ketika bertemu di Belanda, Pram mengatakan bahwa bagi seorang pengarang sebaik-baik sekolah¬an adalah kehidupan, dan modalnya hanya berani bergaul, pergaulan yang disadari, dipilih, dicoba, dan dinilai.

Menurutnya, tidak mesti orang belajar dengan membaca buku. Belajar bisa dengan mengamati, memperhatikan, menghafal, mendengarkan. Tetapi banyak belajar (ilmu pengetahuan) tidak menjamin orang menjadi kreatif. Bagi Pram, orang yang cerdas dan kreatif adalah yang pandai menarik kesimpulan dari ilmu dan pengetahuannya dan pengalamannya.

Maka hemat Pram penting untuk menilai pengalaman secara seksama dengan ketajaman mata selidik. Sebab setiap pengalaman yang tidak dinilai, baik oleh dirinya sendiri ataupun oleh orang lain, akan tinggal menjadi sesobek kertas dari buku hidup yang tidak punya makna. Padahal setiap pengalaman tak lain daripada pondasi kehidupan. Oleh sebab itu, tegas Pram, belajarlah menilai pengalaman sendiri dan membentur-benturkannya dengan lingkungan tempat di mana pengalaman itu tumbuh.

“Beras menjadi putih bukan hanya karena tertumbuk alu, tetapi karena pergeseran dengan sesama beras karena tumbukan alu,” kata Pram mengutip ucapan salah satu srikandi pergerakan nasional awal abad 20, Siti Soendari.

“Tugasku Hanya Menulis”

Ya, menulis bagi Pram adalah profesi adalah hidup dan menjadi tugas nasionalnya. Menulis baginya sama sekali bukan ingin bersolek untuk mendapatkan pengakuan puja-puji dari parakritikus. “Tugasku hanya menulis. Kalau Penilaian apakah layak atau tidak, itu bukan urusan saya. Itu urusan kritikus, urusan pengamat….”

Pram memang tak hendak mencari-cari nama dalam usahanya yang sungguh-sungguh di jalan kepenulisan walaupun ia sungguh sadar bahwa menulis adalah usaha mengekalkan nama di ingatan publik.

“Aku sendiri tidak pernah mencari nama. Kalau aku kau anggap punya nama, nama itu tidak lain dari pemberian masyarakat. Nama bukan dicari, dia hanya imbalan. Kalau kau memberikan hasil kerjamu pada seseorang, dan orang itu suka, engkau pun akan mendapat nama dari dia. Nama adalah produk sosial. Juga dibutuhkan ausdauer untuk mempertahankan dan mengembangkannya. Tentu kau mengerti maksudku: nama adalah bangunan atas hasil karya. Orang tak perlu mencari-carinya.” (NSSB, 2005: 185)

Ya, karena Pram tak mengindahkan pujian dan “nama baik”, maka ia dengan bebas mengungkapkan apa pun yang dipikirkan dan dirasakannya tanpa harus takut dicela atau kehilangan nama. Sebab di arasnya yang sejati seorang penulis yang kreatif hampir selalu seorang individualis, berwawasan mandiri, sulit untuk menyesuaikan diri dengan orang lain, keadaan lain, apalagi bila keadaan itu sama sekali baru.

Maka sungguh mengherankan bila negara misalnya, takut akan keberadaan pengarang yang sepi sendiri ini dan dianggap merongrong dan membahayakan. “Saya memang makin bingung dengan Indonesia ini. Takut dengan pengarang dan dipenjarakannya saya selama 14 tahun tanpa pengadilan. Padahal di belakang saya selain sepi sunyi tak ada deretan tentara, persenjataan canggih, atau pembunuh-pembunuh bayaran. Heran saya.”

Menulis, Olahraga, dan Senyum

Siapa pun mengakui bahwa Pram adalah penulis yang tangguh dengan jam terbang yang fantastik. Dan jujur kita katakan tak banyak sastrawan kita bisa berkiprah selama ini, seproduktif ini, dan seberkibar ini. Telah lebih dari 60 karya dihasilkannya berupa novel, roman, cerpen, esai, terjemahan, maupun puisi (walau hanya tiga biji!). Mestinya, di usianya yang ke-80, misalnya, Pram sudah peyot dan pikun (sebelum akhirnya sangsai pada usia 82 tahun). Tapi ternyata tidak, ia masih tampak bugar, bersemangat, dan senang bercanda. Apa rahasianya?
Olahraga dan senyum!

Untuk mempertahankan gairah menulis, Pram memang rajin berolahraga. Dalam pandangan Pram, olahraga adalah salah satu syarat untuk pandai, maju. Dengan berolahraga tubuh menjadi sehat karena peredaran darah lancar dan baik. Dalam berolahraga semua bagian tubuh dilatih mendapatkan keseimbangan. “Olahraga membikin tubuh jadi lentur, tidak kaku. Tubuh yang kaku adalah sama dengan batang kayu yang telah lapuk, bila ditekuk dia patah. Juga tidak ada guna kepandaian kalau orang itu tidak bisa menggunakan karena kesehatan tidak mengijinkan,” kata Pram.

Kalau senyum? Aha, Pram memandang senyum (yang dilatih) sebagai bagian dari usaha mengendorkan otot dan merilekskan syaraf. Orang bisa saja terlihat tidur, tetapi syaraf dan otot-ototnya kadang tidak ikut istirahat. Tapi dengan latihan senyum, senyum yang rela, senyum tanpa suatu pamrih, kata Pram, jiwa menjadi damai karena semua ketegangan lenyap. Jiwa menjadi jernih. Dan olahraga membikin orang jadi optimis. Jiwanya tidak digelapi oleh pesimisme.

Olahraga dan senyum itu yang bikin usia Pram hingga genap 82 tahun setelah melewati ragam penjara dari 3 orde kekuasaan di Indonesia.

Tidak ada komentar: